Cermin-Cermin di Dinding

Cermin-Cermin di Dinding

Cermin-Cermin di Dinding

Oleh : Jeevita

 

Cermin-cermin di dinding, katakanlah siapa perempuan paling cantik di dunia ini!

Sebentar, jangan langsung menyimpulkan bahwa aku adalah penyihir yang terobsesi menjadi perempuan paling cantik, lantas berusaha membunuh anak tirinya dengan memberikan sebuah apel merah beracun ketika ia berada di pondok milik tujuh kurcaci kecil. Sungguh, itu bukan aku. Lagi pula aku tak akan mau mengubah penampilanku menjadi penyihir tua jelek demi memberikan sebuah apel pada seseorang yang kubencimeski ditujukan untuk membunuhnya. 

Sekilas, aku dan penyihir yang selalu kau ceritakan itu memang memiliki kisah yang hampir sama. Ya, kami sama-sama menikahi seorang pria beranak satu yang ditinggal mati istrinya. Namun, sekali lagi kukatakan aku bukanlah penyihir jahat ataupun ibu tiri yang kejam. 

Usiaku sekitar dua puluh tujuh, saat itu perempuan lain seusiaku sudah memiliki keluarga: memiliki suami dan anak. Namun, aku tidak begitu, aku lebih suka berkutat di hadapan cermin. Entah itu memoles gincu, memakai bedak, atau sekadar becermin sambil merapikan rambut menggunakan sela-sela jari. Setiap hari aku melakukannya, hingga Ibu mulai muak, dan mengatakan bahwa kecantikan yang kujaga selama ini tidak akan abadi. Akan ada banyak gadis muda yang lebih cantik dariku. Dan kelak saat aku menyadarinya, mungkin aku sudah menua dengan kerutan di seluruh wajah. Itu terlalu mengerikan. Aku tak ingin menghabiskan sisa hidup hanya dengan bercermin, memandangi bayangan wajah yang sudah mengendur.

Jika kau bertanya mengapa akhirnya aku menikahi pria beranak satu itu, maka akan kujawab bahwa aku mencintai hartanya. Iya, hanya harta. Dengan semua kekayaan yang pria itu miliki, aku bisa tetap menjaga kecantikan wajahku. 

Namun, semua itu tak bertahan lama, baru tiga tahun kami menikah, pria itu mati menyusul mendiang istrinya. Tentu saja bukan karena aku membunuhnya, sudah kukatakan bahwa aku bukan penyihir atau ibu tiri yang kejam. Lelaki itu mati karena serangan jantung, semua kekayaan yang dia miliki raib, hartanya habis disita oleh bank. Siapa sangka, dia akan ditipu habis-habisan oleh kawan karibnya.

Pada akhirnya, pria itu mati tanpa meninggalkan uang satu perak pun untukku. Yang tersisa hanyalah putrinya yang kini sudah beranjak remaja. Mau tak mau aku harus hidup dengannya. Setidaknya rumah pria itu masih bisa kutempati.

Kuakui, aku sama sekali tak menyukai anak tiriku, meski begitu aku tak pernah menyiksanya. Aku hanya menyuruhnya melakukan pekerjaan yang sudah sewajarnya dikerjakan oleh perempuan. Tapi dasar picik. Dia selau mengumbar kebohongan pada orang-orang bahwa aku menyiksanya. Memang benar aku benci karena dia lebih cantik dariku, dan benar juga bahwa aku berharap wajahnya yang putih bersih itu akan mengusam jika dia melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Tapi bukankah berlebihan jika dia mengatakan bahwa aku menyiksanya.

Cermin di hadapan terlihat berdebu, kurasa anak tiriku tak membersihkannya dengan baik. Aku lantas mengusapnya menggunakan kedua telapak tangan. Aku menatap bayangan dalam cermin itu beberapa saat. Oh, lihatlah … aku masih tetap cantik, kan, wahai cermin? Ah, bodohnya aku … cermin itu bukan cermin ajaib, mana mungkin bisa menjawab pertanyaan konyol itu.

Aku menghela napas, lalu mengambil selembar tisu dari atas meja kecil di sudut ruangan. Suara jarum jam yang bergerak lambat serasa berdenging menusuk-nusuk telinga, membuatku kembali teringat pada kata-kata Ibu, kecantikan yang kujaga selama ini tidak akan abadi. Akan ada banyak gadis muda yang lebih cantik dariku. Dan kelak saat aku menyadarinya, mungkin aku sudah menua dengan kerutan di seluruh wajah. 

Aku cepat-cepat menggeleng dan kembali ke depan cermin untuk menyeka gincu di bibir. Entahlah, sekarang aku merasa sangat kesal setelah memandangi bayangan dalam cermin itu. Meski tak mengungkapkannya dengan kata-kata, tapi aku merasa bahwa cermin itu mengolok-olok diriku, sama seperti anak tiriku. Aku yakin, dia selalu mengolok-olok dan membanding-bandingkan wajah jelitanya dengan wajahku yang terlihat semakin menua. Tidak … wajahku tidak menua. Cermin itu … aku yakin ada yang salah dengan cermin itu!

Prang!

Kedua tanganku gemetar. Suara olok-olokan dari cermin yang sudah pecah dan anak tiriku masih terdengar jelas di telinga, dan bahkan kini olok-olokan itu benar-benar memenuhi isi kepala. Sialan! 

Gegas kupanggil anak tiriku. Tergopoh, gadis itu datang sambil menenteng sapu dan serokan. Ia tersenyum dan menatapku sekilas lalu segera membersihkan beling-beling yang berceceran di lantai. 

Lihatkan, dia kembali mengolok-olok diriku! Aku muak! Aku muak kalah dari gadis itu! Haruskah aku menjadi penyihir jahat sekarang? Meracuninya menggunakan sebuah apel? Tidak … aku tidak akan melakukannya.

Dengan tangan masih gemetaran, kuambil pecahan beling di dekat kakiku, lalu menggoreskannya ke wajah gadis itu beberapa kali. Dia berteriak, jemari lentiknya meraba-raba wajah yang kini carut-marut penuh darah. Sekarang tak akan ada lagi gadis muda yang lebih cantik dariku, dan tak ada pula cermin yang selalu mengolok-olokku. Sekarang akulah perempuan yang paling cantik.

Jangan kau pikir ceritanya berakhir sampai disini. Meski aku sudah membuat Si Cantik itu menjadi buruk rupa dan kehilangan semangat, tetapi pangeran tampan tetap datang menjemputnya, memberikan ciuman pertama yang membuatnya merasa kembali hidup. Pangeran itu berjanji akan membuatnya cantik lagi seperti sedia kala. Dan seperti cerita yang selalu kau ceritakan, gadis itu akhirnya hidup bahagia: meski tidak benar-benar bahagia karena dia mandul.

Dan lihatlah diriku sekarang, ucapan Ibu selalu benar, kecantikan yang kujaga selama ini tidak abadi. Aku telah menyadarinya, wajahku kini menua. Namun, sepertinya penyihir yang sebenarnya adalah Ibu, dia mengutukku sehingga kini aku menghabiskan sisa hidup hanya dengan bercermin, memandangi bayangan wajah yang sudah mengendur di potongan-potongan cermin yang telah pecah. (*)

Nagrak, 7 April 2021

 

Jeevita. Perempuan berdarah Jawa, lahir di bulan Februari. Bertempat tinggal di Batang, Jawa Tengah, sudah sejak kecil gemar membaca. Mimpinya memiliki buku solo yang terpajang di toko-toko buku besar di seluruh Indonesia. Penulis biasa aktif di sosial media Facebook bernama Jeje, dan Instagram Jeevita_21.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply