Cermin
Oleh : Ayna Indiera
Sudah dua hari Tara mengurung diri di kamar. Jangankan mandi atau membuang hajat, untuk sekadar meneguk air dari botol di dalam lemari pendingin pun ia enggan. Tara menolak semua makanan yang ditawarkan ibunya. Meski begitu, ibunya tidak menanggapi serius hal itu. Mungkin karena sering menonton drama televisi atau sejenisnya, sehingga ia pikir apa yang dialami anaknya hanyalah perihal urusan cinta monyet biasa.
“Putus cinta itu sudah biasa, Tara,” kata ibunya. Ia berdiri di depan pintu kamar sambil membawakan semangkuk bubur. “Sewaktu gadis dulu, Ibu juga sudah berkali-kali putus cinta. Dan itu bukan sebuah masalah besar.”
Tara bergeming. Di dalam kamar, ia duduk menghadap meja rias dari kayu jati yang sisi-sisi cerminnya berukiran bunga. Semua alat makeup miliknya berhambur, hanya menyisakan sebuah cermin genggam berwarna putih dan bingkainya berentuk hati. Benda tersebut dibiarkan tergeletak di meja rias. Sementara lipen, bedak, dan kosmetik lain telah patah dan hancur.
Cermin itu diajaknya bicara serta digosok hingga mengilap. Jika ia jenuh duduk, benda mungil tersebut dibaringkan di bantal dan sesekali diselimuti bersamanya.
Air mata Tara menitik membasahi cermin. Kemudian ia mengelap cermin itu dengan tangannya yang juga telah basah. “Maaf,” katanya. Kata itu tidak benar-benar untuk si cermin, melainkan untuk seorang sahabatnya yang telah menghadiahkannya cermin. Tara merasa benar-benar harus meminta maaf kepada sahabatnya, tetapi ia tak sanggup jika harus bertatap muka.
Tara terisak. Air matanya telah membasahi seluruh permukaan bantal. Dari wajah ayunya, tampak sebuah kepedihan. Saking pedihnya, ia bahkan merasakan ngilu menjalar ke persendian. Tara teringat kembali kejadian beberapa hari lalu, ketika hatinya tengah berbunga-bunga karena resmi berpacaran dengan Hanif.
Tara dimabuk asmara saat itu. Cinta di hatinya meletup-letup sampai ke ubun-ubun, sehingga isi kepalanya keruh dan pikirannya kotor. Ia pikir cinta harus dibuktikan dengan perbuatan dan perbuatan itu bermula dari menggerakan tangan. Maka—saat sedang berduaan—tangan mereka bergerak ke mana-mana, menyentuh yang belum sepantasnya disentuh.
Tara dan Hanif berkencan di ruang komputer, tempat yang selalu sepi dan mereka pikir tidak akan ada seorang pun yang mengawasi, meski hanya dengan kedua mata ataupun sebuah kamera.
***
Kamis pagi—beberapa hari sebelum Tara mengurung diri di kamarnya—Guru Bahasa Inggris yang tengah hamil besar memberi kabar bahwa ia izin tidak mengajar. Tak ada guru pengganti, lalu para siswa diberi selembar soal yang harus dikerjakan.
Tara dan teman-teman sekelasnya bersorak gembira. Amanat guru itu serta merta diabaikan. Semua murid justru asyik bercerita, bahkan ada yang mengendap-endap melewati ruang kepala sekolah menuju kantin.
Sementara Tara … gadis itu membuka ponselnya lalu mengirim pesan singkat kepada Hanif.
Aku tunggu di tempat biasa.
Hanif membalas.
Jangan lupa semprotkan parfum kesukaanku, ya!
Tara berjalan pelan sembari tersenyum membaca pesan balasan dari pacarnya. Tetapi ketika sampai pada ruang OSIS yang tampak sepi, lamat-lamat ia mendengar suara seorang wanita merintih.
Tara berhenti. Matanya mengernyit memperhatikan ke dalam ruangan. Wajah dengan hidung mancung itu mendekat pada kaca jendela yang buram dan sedikit berdebu. Tiba-tiba mata Tara terbelalak. Ia melihat Hanun—sahabatnya—tengah meronta-ronta melepaskan diri dari kelakuan bejat Pak Haryanto, staf TU sekolah.
“Tara, tolong aku!” teriak Hanun, setelah berhasil menggigit telapak tangan pria bejat itu.
Pak Haryanto tersentak. Ia tak menduga jika perbuatan biadabnya dilihat Tara.
****
Jumat siang. Ketika semua siswa di sekolah telah pulang, Tara terpaksa tinggal dan harus menunggu kepala sekolah memanggilnya. Ia akan bersaksi atas sebuah kejadian yang telah dilihatnya.
Sekonyong-konyong Tara terserang demam. Ia terus mengelus sebuah “cermin genggam” di tangan, diiringi napas yang kian tak beraturan. Selama hampir seperempat jam menunggu, akhirnya kepala sekolah memanggilnya.
Di dalam ruangan yang beraroma jeruk itu telah duduk Pak Haryanto dengan raut wajah begitu tenang, serta Hanun yang telah bersimbah air mata. Tara duduk di samping Hanun, tetapi tak sedikit pun berani menatapnya. Kemudian tanpa diduga, dari mulut Tara meluncur sebuah pengakuan mengejutkan.
“Tentang apa yang dilakukan Pak Yanto kepada Hanun, saya melihatnya tidak seperti itu, Pak,” kata Tara. “Justru sebenarnya Hanun yang mencoba menggoda Pak Yanto. Mulanya ia menantang saya untuk membuka kancing baju di hadapan Pak Yanto, tetapi saya tolak. Ternyata Hanun malah nekat melakukannya sendirian.” Tara meremas roknya.
“Bohong! Jangan bohong kamu, Tara! Katakan sejujurnya apa yang sudah kamu lihat!” sergah Hanun. Ia seperti orang kesurupan dan ingin menjambaki rambut Tara. Tetapi segera dicegah oleh salah seorang guru perempuan.
Bibir Hanun yang tebal dan ranum mengumpat, segala sumpah serapah keluar, dan berhasil membuat Tara beberapa kali meneguk liur. Tara sadar kesaksiannya adalah sebuah kebohongan.
Di koridor sekolah, Tara menekur. Tangan kanannya tak lepas memegang dada yang terasa sesak. Tentu ia menyesal, tetapi juga sedikit lega. Setidaknya gadis itu tidak perlu menanggung malu atas sebuah video yang diperankannya bersama Hanif di ruang komputer.
Mengingat semua kejadian tersebut membuat air mata Tara kembali berderai-derai membasahi bantal. Dadanya sesak dan serasa hampir mati karena rasa bersalah. Tara bangkit, mencoba membebaskan diri. Ia menjerit sambil membanting cermin mungil pemberian Hanun hingga pecah dan bingkainya patah. (*)
Balikpapan, awal Oktober 2020.
Ayna Indiera, lahir di Bekasi dan telah belasan tahun hijrah ke kota Balikpapan. Penulis bisa dijumpai di Facebook @Ayna Indiera atau Instagram @Aynaindier.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata