Cerita tentang Dua Hati

Cerita tentang Dua Hati

Cerita tentang Dua Hati
Karya: Respati

Ini bukan cerita novel yang pernah kubaca saat SMA dulu. Ini kisahku yang mungkin juga ada dalam cerita-cerita novel. Terkadang fiksi itu tak sepenuhnya imajinasi. Banyak yang awalnya kukira khayalan, tapi justru real. Ya, contohnya kisahku ini.

Kenalkan, aku Bimo. Aku masih kuliah semester tiga. Mungkin karena aku rajin basket sejak SMP, aku tumbuh tinggi. Postur tubuhku menjadi daya tarik tersendiri para wanita di kampusku. Tubuh atletis dan kulit bersih, itulah aku.

Aku punya mantan yang baru setahun putus. Namanya Tiara. Walau sudah bukan kekasihku lagi, Tiara masih sering berkunjung ke rumah. Tiara dekat sekali dengan mamiku. Mereka cocok dan kompak satu sama lain. Belanja, nonton atau ke toko buku biasa mereka lakukan sambil menghabiskan waktu seharian berdua. Sementara aku tak merasa terganggu dengan kehadiran Tiara yang hampir setiap hari.

“Hai, Bim,“ sapa Tiara malam itu, “baru pulang?”
Tiara duduk di sampingku. Sementara aku masih menutup wajahku dengan kedua tangan sambil bersandar.

“Capek, Ya?” tanyanya lagi. Aku menarik paksa oksigen di sekitarku dan kemudian menghelanya.

“Belum pulang kamu?”

“Belum. Antar aku ya, Bim.”

Tiara menyandarkan kepalanya ke pundakku. Tak ada kata selanjutnya. Kebisuan melanda di antara hati kami. Hanya diam menatap langit warna gelap yang dihiasi bintang.

Aku tak berkutik. Aku kembali merasakan debaran tak menentu itu. Debaran yang dulu pernah menguasai relung jiwa. Menggores rindu demikian dalam bahkan mungkin sampai detik ini. Detik di mana Tiara hadir lagi menguak tabir cintanya kembali. Kedekatan Mami dan Tiara awalnya tak masalah, tapi tidak akhir-akhir ini. Denting irama cinta itu kembali terdengar.

“Aku antar kamu pulang, Ra. Sudah malam.”

Aku beranjak dari duduk dan mengambil kunci motorku. Tiara mengikutiku dari belakang. Tangan Tiara melingkar di perutku. Sangat erat. Kepalanya disandarkan ke punggungku. Rasanya ada yang hendak meledak dari dalam dadaku. Tak perlu lama membangkitkan rasaku yang telah lalu terhadapnya. Cukup dengan merebahkan kepalanya saja di punggung, aku bisa merasakan bilur cintanya masih ada untukku.

Tepat di depan pagar rumah Tiara, aku menghentikan motorku. Beberapa detik Tiara tak kunjung turun dari motorku. Aku melepaskan tangannya dari perutku.

Lirih aku berkata, “Kita sudah berakhir.”

Tiara turun dan berlalu tanpa kata. Aku pergi dari halaman rumahnya yang setahun lalu selalu kukunjungi. Memecah malam dengan deru motorku dan melaju membelah jalanan kota.

**

“Bim, besok ada acara?” tanya Mami suatu sore. Aku sedang tiduran di teras rumah. Aku menoleh keheranan.

“Mau ngajak ke mana, Mi?”

“Makan.”

Aku tersenyum dan mengiyakan. Sudah lama aku dan Mami tak pernah lagi makan bersama. Sibuk dengan urusan kami masing-masing.

Mami masuk ke dalam rumah setelah mendengar deringan suara ponselnya. Dan aku kembali memejamkan mata untuk melanjutkan tidurku. Membawa mimpiku ke masa setahun lalu mencari kesungguhan cinta. Aku masih ingat saat pertama kali kukatakan cinta, menyungging senyuman. Ada bahagia di sana.

“Bim…! Cepat!” panggil mami.

Aku secepat kilat terduduk karena terkejut. Aku pun bergegas ke depan.

**

“Langsung pesan, Mi?” tanyaku sesampanya kami di kafe.

“Tunggu, Sayang. Ada yang mau Mami kenalkan sama kamu.”

Keningku berkerut, kedua alisku bertaut. Bukankah acara makan malam ini hanya untuk berdua? Kenapa mami mengajak orang lain? Aku menyimpan semua tanya dalam benakku saja.

Tak berapa lama, seseorang yang sangat aku kenal berjalan menghampiri meja kami. Apa mungkin pria ini yang ditunggu Mami? Kalau melihat gelagat Mami, sepertinya benar.

“Bim, kenalkan Om Danu,” Mami lalu memperkenalkan pria itu. Aku tersenyum dan menjabat tangannya.

“Duduk, Mas.” Pria itu mengambil posisi di depan Mami. Mereka saling sapa dan berkisah. Sementara aku terdiam dengan sesekali memainkan ponselku.

“Nah, itu dia yang ditunggu sudah datang.”

Mami tersenyum lebar menyambut seseorang yang sejak tadi ditunggunya itu. Lengannya terbuka lebar menanti pelukan. Dan aku tetap tertunduk dan diam, tak sedikit pun terkejut. Karena aku sudah tahu, siapa yang Mami tunggu sejak tadi.

“Kena macet, Ra?” tanya Mami lembut.

**

Senja kembali memainkan perannya mengombang-ambingkan perasaan manusia. Aku duduk di atas batu sambil memandang langit yang mulai memerah. Aku seolah berada di kebimbangan hati dan perasaan. Mataku terus memandangi hamparan rumput lapangan sepakbola.

“Jadi kamu sutradara semua ini?” tanyaku tanpa menoleh.

“Aku ingin mereka bahagia,” ujarnya.

“Bahagia?” tanyaku.

Tiara mengangguk lemah.

“Menyatukan mereka adalah tindakan naif.”

Tiara mengusap pipinya. Seluruh sendiku seolah remuk mendengar ucapanku. Karena aku harus melepas rasa yang kupunya dan menukarnya dengan rasa yang lain. Cinta tak selamanya berakhir dengan sebuah janji setia: tak saling meninggalkan. Bukan pula menjadikan dua itu satu. Karena jika melupakan itu sulit maka aku lebih baik memilih menjadi yang sekarang, adikmu, lirih Tiara.(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita