Oleh: Dinni Alia
Aroma buku yang menguning menyeruak di hidungku. Suara gesekan kertas ketika aku membuka lembaran-lembaran buku itu cukup menenangkan. Namun, aku tetap merasa gundah. Alhasil, aku menenggelamkan kepala dalam lipatan tanganku di atas meja. Aku merasa dunia ini sangat membosankan. Hidup sudah tak ada artinya. Bahkan, tempat ini–Perpustakaan–mulai tak menyenangkan. Aku tidak bisa menemukan buku cerita yang sesuai dengan seleraku.
Kepalaku terangkat dengan punggung yang menegak. Mataku menyipit tajam kala melihat sebuah buku tergeletak di hadapanku. Tiba-tiba ada … benda aneh. Milik siapa dan dari mana? Aku mengamati sekitar. Tetapi, semua penghuni di sini tengah asyik dengan bukunya masing-masing. Jika aku bertanya, pasti percuma. Si kutu buku itu akan cuek. Huh, menyebalkan.
Akhirnya, pelan-pelan tanganku mulai membuka buku tersebut. Sepertinya, ini buku harian. Di bagian depannya terdapat tulisan ‘Tragis’ dengan spidol merah. Entah kenapa, aku berpikiran spidol merah itu seperti ingin menandakan bahwa itu darah. Lagi-lagi, mataku menyelidik keadaan sekitar. Tetap tidak ada tanda-tanda siapa pemilik buku ini. Ya, sudah. Aku putuskan untuk membaca buku yang cukup menarik ini.
Dunia ini terasa sangat menyenangkan. Di tempat ini, kamu bisa menemukan apa saja. Teman, kekasih, atau keluarga? Sungguh membahagiakan. Namun, semesta menciptakan sebuah kesedihan pula. Hal yang membuat diri menjadi lelah atau terpuruk. Katanya, kedua hal itu tak dapat dipisahkan. Jika ada kebahagiaan, di situ pasti ada kesedihan jua, atau sebaliknya.
“Apaan, nih?” bisikku pada angin.
Kalimat pembukanya sungguh basi. Hidupku selalu dipenuhi berbagai macam hal menyedihkan. Aku tidak setuju dengan kalimat di buku itu.
Tetapi, tunggu dulu. Aku tidak setuju dengan itu. Tempat aku tinggal ini seperti tak menyukai kehadiranku. Rasa capek atau terpuruk, dan ingin mengakhiri hidup yang selalu menempel pada pikiranku. Hidupku menyedihkan. Di sini tidak ada yang sudi membagi kebahagiaan padaku, seakan-akan kebahagiaan adalah sesuatu yang haram bagiku.
Sebelah bibirku terangkat. Ternyata, bukunya sangat menarik. Mataku menjadi ketagihan untuk terus menjelajahi isi buku ini. Semakin aku jauh membaca, semakin lebar pula senyuman yang terpatri di bibirku. Aku merasa punya teman, teman yang sesama merasa menyedihkan. Sayang sekali, buku ini seakan tanpa pemilik.
Pada satu halaman, aku mengernyit heran. Ceritanya terpotong.
Pada tengah malam ini, beberapa bagian tubuhku kembali lebam. Sedangkan, hatiku sudah berdarah-darah, sakit. Mamaku, lagi-lagi bermain. Beliau mengacak-acak semua barang yang ada di kamarnya. Rambutnya sudah tak tertata. Bahkan, banyak luka lecet ditangannya. Sungguh, aku tak kuat. Banjir sudah kedua pipiku ini.
“ARGH! JALANG, SIAL!” umpatnya.
Setelah tertawa keras, Mama keluar dari kamar. Tertinggal aku yang duduk memojok dengan lutut tertekuk serta suara tangisku yang melengking. Aku hampir tak sanggup untuk menulis dalam buku ini. Tapi, aku harus tetap menulis. Mungkin saja, ketika aku telah pergi dari dunia ini, ada seseorang yang hidupnya sama menyedihkan denganku, lalu membaca buku ini, dan bisa lebih semangat menjalani hidup daripada diriku.
“Ma … ma.” Tenggorokanku tercekat.
Kulihat Mama membawa pi —
“Sial,” desisku.
Ceritanya belum tuntas. Sebelumnya, aku melihat kata ketika aku telah pergi dari dunia ini, lalu setelahnya tak ada lanjutan. Seperti pertanda penulis buku ini berfirasat dirinya akan meninggal. Apa memang sudah meninggal? Kalau iya, sangat menyakitkan. Ck, ia berhasil membuatku penasaran. Sembari berpikir, aku mengetuk-ngetuk jari di atas meja. Berharap dapat pencerahan.
Eh, mataku menoleh ke arah tangan kananku. Tiba-tiba, ada sebuah pena. Aih, hari ini sangat aneh sekali. Namun, datangnya pulpen ini menimbulkan ide. Aku berniat melanjutkan cerita Tragis ini. Sebelum menulis, aku tersenyum lebar.
Kulihat Mama membawa pisau, sangat tajam. Kasihannya Mama. Beliau tertawa nyaring yang berhasil membuat telingaku sakit. Aku pun berpura-pura ikut tertawa dengan air mata yang mengering.
Mama berjalan maju mendekatiku. Refleks, aku berdiri tegap. Aku harus berjaga-jaga dengan permainan Mama kali ini.
OH, TIDAK!
Beliau menerjang diriku. Keringat dingin membasahi pelipisku. Mataku melotot, kaget. Hufftttt, napas ini terasa berat. Aku menunduk sedikit, betapa tegangnya tubuhku kala melihat bilah pisau hampir mengenai perutku jika tangan kananku tak menahannya.
Kutatap mata sayu Mama ketika ia berkata, “Ayo, bermain! Atau menyerah saja?”
Aku tersenyum masam. Dengan kecepatan kilat, aku membalikkan arah pisau itu. Tangan kanan yang gemetaran ini perlahan mendorong pisau itu mengarah pada perut Mama.
“Argh!”
Mama tergeletak ke lantai. Jantungku berdegup kencang. Perutku pun terasa ditusuk, menyebabkan aku mual. Sedangkan pisau? Jatuh bersama Mama.
“Ma … af, Ma.”
Aku terduduk sangat lemas. Namun, dengan bibir yang tersenyum puas.
“Keren!” sahutku antusias.
Aku tertawa-tawa sendiri tanpa menghiraukan tatapan tajam dari para kutu buku. Akhirnya, ‘aku’ dalam buku itu berhasil hidup. Aku telah menolongnya dengan menuntaskan isi buku tersebut.(*)
Dinni Dwi Alia Rahma atau kerap disapa Dinni Alia, merupakan remaja berusia 14 tahun yang menetap di antara Karawang-Bekasi. Penyuka matematika ini memiliki hobi menulis serta membaca novel fiksi remaja. Ia dapat disapa via email: dinnidar@gmail.com atau IG: @dinni.alia
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata