Cerita Seorang Penulis (Terbaik ke-13 TL16)

Cerita Seorang Penulis (Terbaik ke-13 TL16)

Cerita Seorang Penulis
Oleh : Medina Alexandria
Terbaik ke-13 TL16

 

Selalu ada perasaan tak nyaman saat orang-orang menyebut saya penulis. Saya tak punya kualitas yang menjadikan diri ini layak menyandang sebutan itu. Bukankah seorang penulis wajib memiliki wawasan yang luas dan imajinasi yang kuat? Saya tidak memenuhi satu pun syarat-syarat itu. Seseorang yang suka menulis, belum tentu dia penulis, bukan?

Imajinasi saya itu tak bisa liar seperti pengarang yang telah menelurkan buku-buku. Biasanya, yang saya tulis adalah cabutan-cabutan realitas kehidupan, baik yang saya alami atau yang saya lihat di sekitar, lalu saya tambahkan sedikit drama agar semua tampak fiksi di mata pembaca.

Seperti cerita pendek terakhir yang judulnya norak itu. Sebenarnya saya hanya mengubah kisah hidup seorang perempuan ke dalam versi tulisan saja, tentu dengan mengubah latar juga nama-nama tokohnya.

Dan saya akan menceritakan kisah sebenarnya di balik cerpen itu pada kalian.

***

Perempuan itu bernama Marina. Usianya sudah melewati angka 25. Teman-teman seusianya bahkan sudah ada yang beranak empat, tapi jodoh Marina belum sedikit pun terlihat.

Bukannya ia tidak laku karena buruk rupa. Temannya, si Lutfiah yang berkulit tanah basah dan berambut serupa sapu sabut kelapa itu bahkan sudah menikah lima hari setelah menerima ijazah sekolah dasar. Marina jauh lebih elok darinya.

Dan sebenarnya, Marina juga pernah jatuh cinta. Dulu, dengan seorang kusir delman—yang biasa ia tumpangi saat berangkat ke sekolah—bernama Mufik. Bila saja pemuda itu tidak putus sekolah, mereka berdua mungkin saja berada pada kelas yang sama. Dan kisah kasih mereka akan berjudul “Cinta Bersemi di SMA” bukan “Cinta Bersemi di Atas Kereta Kuda”.

***

“Saya rindu.”

Kata-kata itu keluar setelah berdetik-detik keheningan saat ia mendapati Mufik berdiri di depan pintu rumahnya. Dada Marina berdentam-dentam, gadis itu menduga jantungnya yang berdenyut cepat, memompa seluruh darah ke wajahnya yang mendadak terasa panas.

Mereka memang sudah lama tidak bertemu. Sejak penerimaan ijazah kelulusan tiga bulan lalu, Marina tak pernah menginjakkan kaki lagi di sekolah, tentu juga pada delman yang biasanya tiap hari menunggunya di pertigaan jalan. Ia tak pernah secara tegas mengatakan “perpisahan” itu pada Mufik, karena mungkin saja ia akan menangis dan perasaannya akan terbongkar begitu saja. Itu akan membuatnya malu.

“Jadi, kamu merindukan saya?” bisik Marina dalam hati.

Sejak dulu, walaupun dapat menduga perasaan lelaki itu terhadapnya, tapi tak ada yang dapat ia lakukan selain menunggu. Menunggu Mufik menyatakan cinta. Namun, tiga tahun berlalu, harapan itu tak pernah menjelma nyata.

“A-ayo, Masuk.”

Marina menepi, memberi celah untuk Mufik melewatinya.

“Di mana harus saya letakkan ini?”

Si gadis menoleh pada kantong plastik hitam yang tampak berat di tangan kiri Mufik. Isinya pasti langsat, Marina tak perlu menanyakannya. Dulu, Mufik sering membawakan buah-buah seukuran bola bekel itu untuknya. Menurut cerita kusir langganannya itu, dia punya beberapa pohon.

“Tidakkah kamu rindu sama langsat-langsat ini?” Mufik tersenyum.

Marina menatapnya sekilas. Tanpa menyahut, ia menyambar kantong plastik itu lalu melangkah cepat-cepat menuju dapur.

Kini, seperti gadis-gadis lain, malam Minggu adalah saat yang Marina nantikan, seandainya bisa, ingin sekali ia memutar jam di dinding agar Sabtu segera datang karena malam harinya, kekasihnya akan bertandang. Marina sungguh mabuk kepayang.

Pada kali kedelapan apel mingguan, Mufik datang lebih awal, membuat Marina gusar karena gadis itu belum berdandan.

“Ibu ingin bertemu denganmu. Apa kamu mau?” tanya Mufik.

“A-apa harus sekarang?”

“Kalau kamu bersedia,” pungkasnya.

Orangtua Marina sangat menyukai Mufik, mungkin karena pemuda itu sangat sopan dan penampilannya tidak seperti berandal. Jadi saat ia meminta izin, bapak si gadis langsung mengiyakan, dengan nasihat klise: jangan pulang terlalu malam.

***

Ora usah isin, Enduk. Jangan malu, pakai bahasa Jawa saja kalau bicara sama Ibuk,” kata perempuan di seberang meja.

Karakter kesukuan tampak jelas dari cara perempuan—yang membesarkan anaknya seorang diri—ini menata rambut, kebaya yang ia kenakan, serta tutur katanya yang lembut.

Jari-jari Marina saling meremas di pangkuan. Bertemu orangtua kekasihnya, ternyata bukanlah sesuatu yang mudah. Ia kikuk dan salah tingkah.

“Bu, Marina niki tiyang Medunten, mboten saget krama. Dia orang Madura, enggak bisa Jawa halus, Bu.” Mufik menjelaskan.

Tampak sekali di mata gadis itu, bibir perempuan yang sejak tadi tak pernah lepas dari senyum mendatar, tiba-tiba rahangnya mengeras. Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang sulit Marina artikan.

“Oh, maaf, Ibu enggak tahu, Enduk. Ya, sudah enggak apa-apa.”

Raut muka perempuan itu tampak melunak, senyumnya yang sempat hilang kembali mengembang.

***

Sembilan puluh menit yang sangat tidak nyaman. Walaupun ibu Mufik telah meninggalkan mereka berdua di ruang tamu beberapa saat setelah menghidangkan teh dan kudapan, tetap saja waktu terasa merangkak sangat lambat dan Marina ingin segera pulang.

“Kamu harus sering-sering ke sini, biar terbiasa.”

Pemuda itu tersenyum. Persis seperti ibunya, Marina mengangkat sedikit ujung bibirnya.

Raut muka ibu Mufik yang mengeras masih terus menghantui pikiran Marina, bahkan berhari-hari setelahnya. Gadis itu ingin menceritakan kegelisahannya pada Mufik, mungkin malam saat pemuda itu mengunjunginya nanti. Namun, sang pujaan hati tak kunjung datang, sampai saat ia harus menutup kelambu jendela.

Kekasihnya itu tak pernah lagi datang dan Marina masih menunggunya sampai saat saya ceritakan ini pada kalian.

Jika kalian bertemu Mufik, pura-puralah tak tahu apa-apa. Atau, kalau ia bertanya tentang Marina, jangan katakan bahwa air mata gadis itu masih menetes walau tak lagi deras. Katakan saja, saya baik-baik saja tanpa dirinya. (*)

Bondowoso, 21 Agustus 2020

Medina Alexandria, bidan yang suka menulis.

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply