Cerita Pengantar Tidur Ummi

Cerita Pengantar Tidur Ummi

Cerita Pengantar Tidur Ummi
Oleh: Evamuzy

“Awalnya Tsalabah adalah sahabat Nabi yang taat, kemudian ….”

“Kemudian apa, Ummi?” Aku dengan polos dan semangatnya menghentikan kalimat Ummi seenaknya.

“Sebentar, Nak. Kau memang putra Ummi yang paling pintar. Selalu tak sabar mendengarkan cerita-cerita Ummi. Dengarkan dulu ya, Sayang.”

“Baik, Ummi.”

“Tsalabah adalah salah satu sahabat Nabi yang cukup terkenal. Banyak sahabat yang tak meragukan lagi bagaimana ketaatannya kepada Allah, Islam dan Nabi Muhammad. Rajin beribadah. Dia adalah seorang makmum salat berjemaah yang diimami langsung oleh Sang Nabi, tepat satu saf di belakang beliau. Namun, ada satu hal yang disayangkan darinya,” Ummi mengambil jeda untuk sejenak bernapas.

“Apa itu, Ummi?”

“Tsalabah terlihat tidak pernah berzikir, Nak. Setiap selesai salat, ia selalu buru-buru meninggalkan saf untuk pulang lebih awal dari jemaah. Para sahabat yang ikut menjadi makmum salat bertanya-tanya dan mencoba menceritakannya kepada Nabi. Nabi tahu itu, tetapi beliau mendiamkannya dahulu sampai tiba baginya saat yang tepat untuk bertanya kepada Tsalabah.”

“Nabi marah, Ummi?”

“Tentu tidak. Marah bukanlah sifat beliau.”

“Oh iya. Lalu apa yang beliau lakukan?”

“Setelah beberapa hari, dan tetap sama, Tsalabah tidak ikut berzikir selepas salat, Nabi pun memangilnya, dan menanyakan dengan baik-baik kepada Tsalabah.”

“Lalu?”

“Tsalabah menjawab begini, ‘Maafkan hamba, Baginda, sungguh hamba adalah orang yang teramat tidak punya apa pun sampai baju yang hamba pakai adalah satu-satunya baju layak pakai yang hamba miliki. Saat hamba sedang salat bersama engaku ya Rasulullah, di rumah, istri hamba sedang menunggu kepulangan hamba agar dapat menggunakan pakaian ini untuk salat. Hamba tak ingin istri hamba tertinggal waktu salat. Maka dari itu hamba tak pernah ikut berzikir. Sungguh, maafkan hamba.'”

“Lalu Nabi menjawab apa?”

“Nabi menjawab begini, ‘Semoga Allah mengampunimu. Baiklah, saya berikan hadiah untukmu sepasang kambing betina dan jantan untuk kau rawat. Semoga akan berguna dan bermanfaat.’ Begitu kata beliau.”

“Lalu kambing itu beranak pinak sebab pemberian Kekasih Allah, Ummi?”

“Betul sekali. Dalam waktu beberapa bulan saja kambing Tsalabah sudah bisa menghasilkan susu yang terlezat dan paling bermanfaat. Sampai-sampai kelebihan susu pemberian Sang Nabi itu terkenal hingga ke beberapa kota di sekitar Makkah. Dalam kurun waktu yang tak lama, Tsalabah dan istrinya merubah menjadi saudagar kaya raya dengan jumlah kambing yang sangat banyak.”

“Tsalabah pasti semakin taat kepada Allah dan Sang Nabi.”

“Sayangnya tidak, Nak. Kekayaan dan harta yang melimpah ruah justru membuatnya lupa kepada Allah, semakin tak ada waktu untuk ibadah, bahkan saat beberapa sahabat datang ke rumah megahnya untuk meminta zakat dan sedekah atas harta yang dimilikinya, Tsalabah menolak mentah-mentah dan malah mengusir para sahabat tersebut.”

“Baginda marah? Allah marah?”

“Allah punya cara sendiri untuk menyayangi hamba-Nya, Nak. Dia jadikan Tsalabah kembali ke semula, miskin dan kumuh. Bahkan lebih parah dari sebelumnya. Kambing-kambingnya mati dan dia kehilangan semuanya.”

“Tsalabah malang sekali, Ummi.”

“Begitulah, Nak. Itu kuasa Allah. Coba saja kalau dia tetap taat kepada Allah, tetap taat beribadah dan memenuhi kewajiban zakat, pastinya Allah tak akan murka. Sebab kau tahu, di setiap harta yang kita miliki ada bagian dan milik mereka para kaum yang berhak menerima di dalamnya. Yang akan menjadi racun dan perusak milik kita. Ibarat busuknya daging buah yang tidak segera dibuang maka akan ikut busuk pula bagian lainnya, begitulah nasib bagian kita.”

“Insya Allah, aku akan mengingat ini, Ummi.”

“Tentu, Nak. Kau harus selalu mengingatnya. Tsalabah lalai, sebab bukankah kekayaan yang ia miliki adalah bentuk kesabaran Allah untuknya yang tidak mau berzikir namun tetap diberikan kenikmatan harta benda? Nanti ketika kau diberi kekayaan, jangan sekali-kali melupakan agamamu.”

***

Aku mengusap wajah pelan. Duduk termenung di atas ranjang kecil milik putra tunggalku yang telah menunggu lama kepulangan ayahnya untuk menagih sebuah janji, membacakan cerita pengantar tidur. Meski sebenarnya badanku sudah kelelahan, sebab waktu dan tenaga yang tersita untuk seharian bekerja.

Jagoan kecilku datang menghampiri dari meja kecil sudut kamar setelah meminum habis jatah susu hangatnya.

“Jadi, Ayah sudah siap bercerita? Aku sudah cuci kaki dan minum susu, aku siap mendengarkan Ayah.”

“Baik, Nak. Ayah siap bercerita. Akan Ayah ceritakan sebuah cerita yang biasanya nenekmu ceritakan dulu,” mantapku dalam hati.

“Ok, Sayang. Dengarkan Ayah, ya.” (*)

 

Evamuzy, penyuka dunia anak-anak. Cokelat muda adalah warna favoritnya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata