Cerita Lalu (Part 2)
Oleh : Nur Khotimah
“Karena apa, Bu? Ibu salah apa?”
Ibu hanya diam, tak menjawab pertanyaanku. Ia terus saja berjalan, langkahnya panjang-panjang, aku sampai kehabisan napas untuk bisa menyejajarinya. Ketika aku tetap memaksa, Ibu hanya menjawab, “Nanti lama-lama juga kamu tahu, Enduk.”
Ya sudah kalau begitu, kutunggu saja kapan masa itu tiba.
*****
Waktu terus berjalan, aku sudah semakin dewasa, begitu pun adikku Tias dan Taufan. Ibarat kepompong, kami sudah berubah menjadi kupu-kupu. Kami sudah bisa merawat diri, tak ada lagi beruntus di kulit yang selalu Lik Mur sebut gudik. Meskipun wajah kami—kata orang—biasa saja, tapi kulit kami putih bersih mewarisi kulit Ibu. Namun, tetap saja Lik Mur masih menyebut kami bocah gudikan. Kebenciannya seperti sudah mendarah daging, tak pernah berkurang sama sekali. Malah semakin bertambah, kurasa. Setiap hari ada saja bahan untuk mengejek dan menyindir kami.
Lik Mur masih tetap membenci kami, tetapi tidak dengan anak-anaknya. Mereka sudah bisa berlaku baik terhadap kami. Sudah mau menyapa, dan tak jarang kami berbincang, meskipun sekadar basa-basi. Mungkin karena sudah dewasa, sudah mulai mengerti mana benar dan mana salah, mereka tak lagi menuruti perintah ibunya untuk menjauhi kami.
Oh ya, aku belum bercerita tentang keluarga Lik Mur. Lik Burhan, suami Lik Mur, seorang lelaki yang sangat pendiam. Dari wajah, sepertinya usianya lebih muda dari istrinya; berkulit legam; untuk ukuran laki-laki ia termasuk pendek. Bagai kerbau dicocok hidungnya, apa pun perkataan istri, baginya sabda pandhita ratu, mutlak benar tidak bisa diganggu gugat. Suami yang tidak pernah menuntut apa pun, suami yang rela tidur di dapur setelah lelah seharian meladang. Entah benar atau tidak, karena aku tak pernah benar-benar melihatnya, tapi itulah yang kudengar dari tetangga saat tak sengaja mereka menggunjing keluarga Lik Mur di tukang sayur.
Lik Mur mempunyai tiga anak. Si sulung Busro, usianya dua tahun lebih tua dariku, Danang seumuran Tias, dan si bungsu Wati yang meninggal di usia enam bulan karena demam. Kalau saja Wati masih hidup mungkin sekarang jadi adik kelas Taufan.
******
“Ning ….” Terdengar suara Ibu memanggil. Aku saat itu sedang mencabuti rumput di halaman. Aku heran kenapa rumputnya tumbuh banyak sekali padahal biasanya halaman kami selalu bersih, Ibu rajin mencabutinya, dan tidak pernah memberi kesempatan rumput-rumput itu untuk tumbuh lebih tinggi lagi. Ah, aku lupa, Ibu sudah tiga hari ini tidak enak badan, pantaslah!
“Ada apa, Bu …?” Aku setengah berlari ke kamar Ibu. Mungkin ia membutuhkan sesuatu.
“Nanti tolong panggilkan Eyang Kaji, ya! Ibu pengen diurut. Kaki Ibu rasanya sakit sekali, kaku, ndak bisa digerakin.”
Eyang Kaji itu tukang urut di desa kami, usianya sudah sepuh, tetapi masih lincah melayani panggilan pijit dari pintu ke pintu. Sebenarnya yang sudah berhaji itu suaminya, tetapi warga ikut memanggilnya Eyang Kaji atau Eyang Haji, meski seharusnya dipanggil Eyang Hajah karena ia perempuan.
“Apa ndak sebaiknya kita ke dokter aja, Bu?”
“Ndak usah. Nanti diurut juga sembuh.”
“Baiklah, Bu, aku pergi, ya … kalau Ibu butuh sesuatu ada Tias di kamarnya.”
Bersyukur Eyang Kaji sedang ada di rumah, biasanya ia sangat sibuk dari rumah pasien satu ke pasien lainnya. Tanpa banyak basa-basi, aku mengajaknya ke rumah.
****
Sudah sebulan yang lalu kaki Ibu diurut, tapi sepertinya tidak ada perubahan. Ibu terus-terusan mengeluh sakit. Bahkan, kini Ibu tidak bisa meninggalkan dipannya karena kaki yang tak bisa dibawa jalan. Karena khawatir dengan kondisi Ibu, akhirnya Bapak memutuskan untuk membawa Ibu ke rumah sakit. Kata dokter, ada masalah dengan tulang belakang dan juga lutut Ibu. Untuk lebih jelasnya diperlukan serangkaian tes agar tahu penyakit Ibu yang sebenarnya. Kata dokter, Ibu bisa lumpuh kalau tidak segera ditangani.
Aku tahu, Bapak ingin Ibu sembuh, tapi kondisi keuanganlah yang membuat Ibu dibawa pulang tanpa sempat tahu apa yang dideritanya. Bapak pasrah. “Seandainya Ibu nanti benar-benar lumpuh, Bapak rela merawat Ibu seumur hidup Bapak,” ujar Bapak kepada Ibu suatu malam. Dan Ibu … seperti biasanya, hanya mengangguk, tersenyum menatap Bapak dengan mata berkaca-kaca.
Beberapa minggu setelah dari rumah sakit, Ibu benar-benar lumpuh, jangankan ke kamar mandi, untuk duduk pun Ibu harus dibantu. Pada siang hari Aku dan Tias yang bergantian mengurusnya, sesekali dibantu Taufan. Bapak bagian malam. Sebenarnya kasihan karena Bapak pasti capek setelah seharian meladang, tapi itu kemauan Bapak. “Bapak yang akan menjaga Ibu, seperti janji Bapak dulu.”
Ibu lumpuh, dan Lik Mur semakin senang karena punya bahan baru untuk mengejek dan menyindir kami. Hampir kepada semua tetangga dia bercerita, katanya Ibu kena karma. Entah maksudnya apa. Meski geram, aku tetap diam. Teringat kata Ibu, “Gusti Allah mboten sare, biar Gusti Allah yang balas.” Akan tetapi, tidak dengan Taufan. Meski usianya baru lima belas tahun, jiwa laki-lakinya tidak terima wanita yang mengandungnya selama sembilan bulan itu dihina terus-menerus. Selama ini ia menuruti Ibu, tapi menurutnya, ini sudah keterlaluan. Di suatu sore yang mendung—dengan membawa parang milik ayah—Taufan mendatangi rumah Lik Mur.
“Hey, Murtini! Keluar kamu!” Taufan berteriak di depan pintu rumah Lik Mur. Perempuan itu membuka pintu, keluar hampir bersamaan dengan tetangga yang mulai berdatangan ingin tahu apa yang terjadi. Aku yang tahu Taufan kalap segera menyuruh Tias untuk menyusul Bapak. Hanya Bapak yang bisa meredam emosi Taufan, pikirku. Aku berlari, dan memanggil salah seorang tetangga untuk menggantikan posisiku menjaga Ibu. Aku harus mencegah Taufan, jangan sampai ia berbuat nekat.
“Murtini! Mau kamu apa?!” teriak Taufan dengan muka merah menyala menahan marah.
Lik Mur gemetar melihat parang di tangan Taufan “Heh, bocah cilik, apa karepmu? Berani macam-macam sama Murtini? Kulaporin polisi, ngandang kamu!” Ucapannya memang bernada ancaman, tetapi mata Lik Mur menampakkan ketakutannya.
“Sudah, Taufan, kita pulang saja, yuk!” Aku yang baru tiba langsung mendekati Taufan, berusaha merayu untuk meredam amarahnya. Namun, sepertinya Taufan sudah berada di puncak kemarahannya. Kata-kataku tak didengarnya sama sekali. Beberapa tetangga ikut menasihati, tetapi pemuda tanggung itu tetap tak peduli. Ditatapnya perempuan itu dan yang ditatap bukannya semakin ciut malah kian garang.
“Ayolah, Dek, kita pulang! Percuma, Dek ….”
“Biar, Mbak! Aku cuma pengen tahu apa maunya perempuan ini.”
“Heh, perawan tua! Bawa pulang segera adikmu ini, kalau ndak, besok dia sudah ngandang di polres!”
Astagfirullah … sepertinya aku baru saja dapat julukan baru. Tega sekali Lik Mur berkata seperti itu kepadaku. Memang, di usiaku yang hampir seperempat abad ini, aku belum juga menemukan jodohku, tapi tak sepantasnya ia berkata seperti itu. Hatiku sakit, air mata mengalir tanpa sempat bisa kutahan.
Melihatku menangis, Taufan semakin garang, tiba-tiba ia mengayunkan parang yang digenggamnya. Bukan ke Lik Mur, melainkan ke daun pintu tepat di atas pundak kiri Lik Mur. Menancap sempurna. Lik Mur gemetar ketakutan.
“Nasibmu akan seperti ini kalau kamu terus menyakiti keluargaku!”
“Kamu pikir aku takut?” Lik Mur berkacak pinggang, matanya melotot, tapi dari suaranya dia tidak bisa bohong, ada ketakutan di dalam hatinya. Dia takut Taufan nekat.
“Oh … jadi kamu mau seperti ini?” Taufan mencabut parang yang menggantung di pintu. Ia mengacungkan parang ke wajah Lik Mur. Matanya menatap tajam perempuan setengah baya di depannya, rahangnya mengeras. Kemarahan jelas tergambar pada parasnya.
“Ayo kalau kamu berani!” Lik Mur menantang.
Taufan kalap, ia ayunkan parang di tangannya dan hampir saja mengenai leher Lik Mur andai Bapak tidak datang dan menahan tangan Taufan.
“Taufan!! Parang ini terlalu berharga untuk dikotori darah iblis macam dia.” Bapak menatap tajam Lik Mur, dan dengan segera merebut parang dari tangan Taufan. “Taufan! Kita pulang!” Bapak menarik tangan Taufan. Pemuda itu pasrah, memang sedari kecil ia tak pernah melawan bapak. Aku turut serta mengikuti mereka. Baru beberapa langkah, Bapak putar badan, kemudian berkata, “Dan Kamu Murtini! Aku benar-benar menyesal pernah mengenal kamu!”
Bersambung✍✍
Cikarang, 13 Juli 2020
*karepmu = maumu
*ngandang = masuk kandang (penjara)
*mboten sare : tidak tidur
Nur Khotimah, seorang bakuler yang punya hobi membaca, dan masih belajar menulis di sela-sela kesibukannya.
Untuk lebih mengenalnya bisa add FB Nur Khotimah.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.