Cerita di Balik Gaun Istimewa

Cerita di Balik Gaun Istimewa

 

Oleh Pupud Tatifa

 

Tidak cukup sekali, aku menyambangi tempat ini setiap harinya. Bisa dua atau bahkan empat kali, hingga wajahku tak asing lagi bagi mereka–para penjaga dan pemilik toko, yang aku datangi. Begitulah resiko profesiku. Demi kepuasan pelanggan, aku harus mondar-mandir bahkan hanya untuk urusan mencari warna benang dan retsluiting yang mirip dengan warna kainnya.

 

Kali ini Showroom dihebohkan dengan kedatangan Ibu Kepala Sekolah SMKN 3, sekolah yang terkenal favorit itu. Kabarnya, beliau juga saudara ipar dari Bapak Walikota. Tersanjung sekali, aku dan teman-teman menerima kunjungan beliau beserta keluarga yang hendak menjahitkan gaun pengantin beserta seragam keluarganya. Sekaligus deg-degan, ini seperti sedang mempertaruhkan nama baikku dan brand Fafifu Fashion.

 

Aku dan beberapa staf yang bisa sejenak meninggalkan pekerjaan, menerima dan menyambut kedatangan beliau. Kami salah tingkah. Bahkan, betapa canggungnya aku ketika mengambil ukuran badan. Tanganku gemetar dan dingin, sampai-sampai aku mengukur bukan dari metlin angka nol, tapi dari angka 150. Seketika satu ruang tertawa melihat kekonyolanku.

 

Wangi badan orang kaya memang berbeda. Kukira parfumnya pasti mahal. Aromanya tidak ada yang sama dengan wangi parfum di swalayan yang sering kucoba. Wangi dan lembut, sampai wanginya nempel di telapak tangan dan metlinku. Wangi rambutnya bahkan sampai tercium meskipun beliau memakai kerudung. Aku sampai salah tingkah, jangan-jangan saking wanginya beliau, aroma badanku tertangkap tak sedap di hidung bu kepala sekolah. Haduh, janji deh, kudu rajin keramas meski sibuk.

 

***

 

“Mbak, aku minta maaf. Sewaktu menjahit gaun ini, aku kurang kontrol ketika menginjak dinamo. Jadi, jarum mesinnya menabrak gerigi resleting-nya. Ada serep restluiting yang sama, nggak Mbak? Soalnya nanti sore, mau di fitting.”

 

“Sebentaaar, mana lagi? Salahnya seperti apa?” Aku mencoba menghadapi dengan tenang tanpa marah. 

 

Ini proyek besar. Semua pekerja Showroom, bekerja dengan ketelitian tinggi. Bu Bos bakal marah besar jika ini tidak berhasil atau ada komplain dari keluarga Ibu Kepala Sekolah. Benar-benar pertaruhan nama baik. 

 

Keluhan demi keluhan harus aku hadapi dan atasi: keluhan pelanggan, keluhan karyawan, dan keluhan Bu Bos. Hingga aku tidak sempat memikirkan urusan cinta, diusiaku yang ke-35. Kerja di sini, numpang tinggal di sini, dan hanya toko-toko itulah tempat piknikku. Mana sempat aku hang out dan cari gebetan? 

 

Siang itu juga, aku harus kembali ke pasar, demi sebuah resleting untuk gaun yang harga kainnya lima ratus ribu permeternya. Untungnya, matahari tidak terlalu terik menyengat kulit wajahku yang tanpa sunblock. Aku melihat Mbak Ginah sedang melintas di depan toko Pak Nyoto, penjual barang antik. Mang Udin penjual gula kapas juga masih nongkrong dekat gerobaknya, padahal biasanya jam segini dagangannya sudah habis dan pulang.

 

Aku memang harus menikmati menelusuri pasar ini dengan berjalan kaki, untuk menghindari berputar terlalu jauh karena jalan ini hanya satu arah. Tidak terlalu jauh, hanya berjalan sampai sejauh lima  toko dari tempatku memarkir sepeda motor, sampai di pertigaan depan belok kiri, disitulah toko langgananku. Semoga warna resleting yang aku cari, masih ada. 

 

Cuma satu sih, yang aku takutkan dari pasar ini. Tiang listrik yang berdiri di pertigaan jalan, dengan kabel-kabel besarnya, membuatku was-was dikala melintas saat hujan lebat. Juga jalanan tanpa trotoar, seringnya membuat was-was jika ada pengendara bandel yang ngebut di jalan ini.

 

“Wah, warna retsleting yang ini sudah habis, Kak.”

 

“Coba cariin lagi dong, Kak. Barangkali ada nyelip gitu. Ini penting banget soalnya.” Aku masih menggantungkan harap.

 

Tetapi nihil. Sampai lima toko aku datangi, warna resleting Jepang YKK warna dusty pink yang mirip, tidak ada. Aku lemas. Semangatku seketika langsung hilang. Pun badanku ini sudah lelah, belum sarapan, padahal ini, sudah menjelang waktu salat Dhuhur. Aku mencoba menenangkan diri, duduk di warung bakso dan es teler langganan. 

 

Sepertinya aku harus menunaikan hak badanku dulu. Perutku yang lapar, membuat otakku tak bisa mencari solusi. Perut lapar membuatku marah, marah, marah. Aku menggerutu sendiri sambil berpikir, “Pesan makan nggak, ya?”

 

Biasalah, aku sangat irit sekali. Pantang beli makan di luar, karena di showroom sudah ada jatah makan karyawan. Gajiku harus aku kumpulkan demi bisa menabung dan mengirimi ibu dan adikku. Bahkan untuk beli skin care saja, aku pelit sekali dengan diri sendiri. Mukaku sama sekali tidak terawat kecuali cuci muka dengan sabun mandi, memakai pelembab, dan bedak warna putih yang lebih cocok untuk kulit bayi.

 

“Bang, bakso telor satu sama es teler satu, esnya dikiiit aja.” Akhirnya aku relakan merogok kocek 25.000 dari dompet cokelatku, demi perutku bisa kenyang dan tidak marah-marah.

 

Saat lapar aku gampang marah dan saat kenyang aku baik hati. Unik, ya?

 

Sambil makan es teler, aku jadi ingat. Di dekat kosku dulu, kan ada toko alat-alat jahit. Dulu seringkali ketika aku sudah lelah berputar-putar cari bahan jahit, di sana malah aku temukan.

 

***

 

Itulah kesibukanku, 15 tahun silam. Kisah resleting yang membuatku harus dirawat di rumah sakit lantaran ditabrak lari oleh pengendara bandel. Dan Tina menjengukku segera ke UGD, bukannya menanyakan kondisiku, malah menanyakan resleting itu. Seandainya, pemilik gaun itu tahu cerita dibalik gaun istimewanya di hari pernikahannya kala itu. (*)

 

Pupud Tatifa adalah seorang ibu yang sedang semangat untuk belajar menulis.

Leave a Reply