Cerita di Awal Musim Dingin
Oleh : Freky Mudjiono
Terbaik ke-9 TL16
“Katanya, musim dingin akan tiba.” Kulepaskan tangan dari kain tipis yang terjuntai menutupi pinggiran jendela setelah merasa cukup menjelajahi pemandangan di luar sana.
Melalui jendela, aku bisa melihat lapangan kecil yang berbatasan langsung dengan trotoar yang tidak terlalu lebar. Terlihat juga beberapa pejalan kaki melangkah dengan tidak tergesa-gesa. Sebab jangkauan pandang yang terbatas, aku tidak tahu apakah mereka akan berbelok ke kiri di persimpangan sana, ataukah tetap lurus hingga ke jalan raya yang menghubungkan pemukiman ini dengan pusat Kota Iowa.
“Hmm, sepertinya begitu. Aku menantikan turunnya salju pertama kita,” ucap Philips yang sedari tadi hanya ikut berdiri di samping sambil melingkarkan tangannya di pinggangku. “Ini akan sangat menyenangkan.” Ia lalu merendahkan kepalanya untuk berbisik.
Benarkah? Pertanyaanku tertelan balik, ditekan udara yang seakan siap membekukan kata-kata yang berani meluncur keluar. Cuaca yang redup di luar sana membuatku ragu. Barisan pohon yang sengaja ditanam rapi sebagai peneduh jalan, terlihat tegak kaku tanpa terpaan cahaya matahari yang memadai. Kurasa, pepohonan itu pasti mulai merasa hampa tanpa tajamnya sinar yang biasa menyelinap dan menari di antara sela dahannya. Keberadaan mereka tidak terlalu berarti bagi pejalan kaki bila tiada terik mentari, bukankah begitu?
Ah, iya. Aku belum sempat memberi tahu Philips, betapa aku suka melihat sinar yang menerobos kaca jendela rumah kami di siang hari, terang, menyilaukan mata. Itu membuatku merasa hidup, sebagaimana saat kecil dahulu.
Philips semakin mengeratkan pelukan, sambil menguraikan hal-hal indah tentang musim favoritnya. Momen yang katanya tidak sabar ingin ia tunjukkan padaku.
Philips mulai bercerita, diawali tentang butiran salju yang halus dan segera lumer saat menyentuh bumi. Kemudian, ketika cuaca cukup baik, anak-anak dengan baju hangat mereka yang tebal, biasa bermain perang bola salju persis di lapangan yang tengah kami tatap—area terbuka satu-satunya di pemukiman ini. Senyumku tersungging, membayangkan keramaiannya membuat jantungku berdegup lebih cepat. Pasti sangat menyenangkan.
Aku suka permainan. Berlari, melompat, memanjat berkejaran. Apa yang tidak pernah kucoba? Tumbuh besar di kawasan Margoluwih, tepian Kota Yogyakarta membuat aku bebas melakukan apa saja. Wilayah yang terbentang dengan sedikit pembatas, hanya sejumlah kecil bangunan, dan jalan kecil yang hampir selalu terlihat lengang, bisa disebut membebaskanku. Berlari, melompat, merasakan diri melambung tinggi, dan jatuh di titik yang tidak pernah bisa diduga, aku menemukan cara sendiri untuk merasai hidup.
Apakah sebaiknya aku berhenti? Pertanyaan itu sesekali muncul di benak bila terdengar ucapan samar maupun jelas yang memintaku untuk tenang dan diam. Bersikap manis seperti anak-anak perempuan lainnya.
“Apakah kamu senang, Enduk?” Tatapan dan senyum Ibu kembali membuatku berani untuk bangkit, memacu langkah, melempar tubuhku ke titik yang paling jauh.
Terkadang aku tertawa sendiri, membayangkan bagaimana rupa mereka yang sering menyebutku anak nakal dan bodoh, saat melihat lompatanku di antara selokan-selokan yang mengalirkan air ke tanah persawahan, di antara meja dan bangku sekolah yang reyot, atau pada ruas jalan yang berdebu. Sering kali dengan kaki telanjang maupun sandal jepit lusuh yang terkadang lain sebelah.
Di sela peningkatan adrenalin yang membuat jantung dan ototku bergerak cepat, tanya sesekali berkelebat. Apakah aku telah berlari dan melompat cukup jauh? Namun, sebagaimana pertanyaan-pertanyaan lain, itu tidak lebih dari sebuah balok tumpu selebar dua puluh sentimeter yang membuatku melentingkan tubuh ke sebuah bak pasir dan mendarat yakin.
Aku suka berlari dan melompat. Merasakan nikmatnya sensasi mengurai tanya, ke titik mana kakiku akan menjejak. Perasaan yang sama saat aku memutuskan menerima lamaran Philips, meski kutahu, ia belum benar-benar mengenalku. Seberapa lama kami bisa bersama? Pertanyaan itu juga kerap hadir. Namun, tatapan dan senyuman Ibu kembali membuatku berani mengambil lompatan jauh. Membuatku merasa hidup.
“Apakah kamu senang, Enduk?” tanya Ibu sambil membantuku mengenakan setelan kebaya dengan bawahan kain batik yang melilit kakiku. Aku menjawab pertanyaan Ibu dengan anggukan, meskipun dalam balutan pakaian idaman setiap wanita itu aku kepayahan untuk melangkah, berlari, dan melompat.
Philips masih tetap bercerita. Sepertinya, ia senang membuatku mendengarkan kata-katanya. Sesuatu yang baru aku sadari akhir-akhir ini. Embusan napasnya yang lebih hangat dari udara sekeliling, menyapu daun telingaku, membawa angan mereka-reka banyak hal.
“Salju yang menumpuk di luar terkadang membuat kita terkurung berdua di dalam rumah. Hanya berdua. Mengisi hari dengan secangkir cokelat panas,” urai Philips. Kata-katanya kemudian muncul bagai sebuah gambaran.
Aku jadi teringat, bagaimana suatu waktu desa kami pernah mengalami banjir besar saat berada di musim penghujan. Kala itu cuaca terasa dingin dan basah, membuat Ibu memintaku merapatkan tubuh bersama adik-adik di dalam selimut tebal di atas dipan. Untuk pertama kalinya, Ibu tidak mengizinkanku berlari keluar. Ia menutup rapat-rapat telinganya, dengan tegas menolak rengekanku yang setengah mati ingin ikut Ayah melihat tanggul yang jebol. Malam itu benar-benar sangat dingin dan tidak menyenangkan.
Namun, keesokan harinya, cuaca kembali cerah, mengusir dingin bagai tidak pernah hadir sebelumnya. Ibu kembali mengangguk dan tersenyum, membiarkanku merasai hidup di bawah sinar matahari yang terang.
Perkataan Philips yang terus meluncur, membuatku mengira-ngira. “Berapa lama kita bisa terkurung?” selaku cepat tanpa sadar. Philips menghentikan ceritanya sejenak. Dari ekor mata bisa kulihat ia mengerling nakal.
“Well, bisa saja selama musim dingin,” ujarnya santai, seolah hal itu dapat saja terjadi atau memang pernah terjadi sebelumnya.
Ibaku terbit pada pohon-pohon yang berbaris diam di pinggir jalan. Selama apakah musim dingin itu? Apakah sama lamanya dengan musim penghujan di Margoluwih? Berapa lama mereka harus kaku menunggu sampai terik matahari hadir?
Philips terus bercerita, tentang hal-hal yang katanya membawa kesyahduan. Ia berbicara tentang waktu untuk diam dan introspeksi diri. Aku menyimak kata-kata Philips yang kembali membentuk gambaran dalam pikiranku. Gambaran dari wajah orang-orang yang dulu sering kali menyebutku nakal dan bodoh.
“Apa yang indah, bila hanya bisa meringkuk di sudut ruangan?” Suaraku terdengar gemetar.
“Ssstt. Diam dan dengarkanlah dulu.” Philips menatapku lekat.
Ah, aku tidak sempat mengatakan pada Philips, tatapannya tidak sama seperti milik Ibu.
Philips kembali bercerita. Tentang musim dingin yang akan tiba. Pria yang menikahiku beberapa bulan yang lalu itu pasti tidak bisa mengira, bahwa getar tubuhku bukanlah sebab panas tubuhnya, melainkan karena jalinan kata-katanya. Ia terus bercerita, membungkam segala tanya.
Ah, aku lupa memberi tahu Philips. Aku suka bermain, berlari, dan melompat. Itu membuatku merasai hidup. (*)
Medan, 20 Agustus 2020
Freky Mudjiono, adalah seorang wanita yang suka menulis dan membaca. Menjatuhkan pilihan untuk menekuni literasi sebab banyak ruang yang tidak pernah habis untuk dipelajari di sana.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata