Cemas
Oleh: ErienĀ
Saya belum pernah secemas ini sejak terakhir kali berhubungan dengan rumah sakit. Meski sudah memasrahkan semua yang akan terjadi pada Tuhan, tetap saja ada waswas yang berhasil menelusup serupa air dalam hati saya. Baru sampai di depan meja antrean pendaftaran saja lutut saya terasa lemas. Keringat dingin mulai keluar. Yang mulai terasa mengganggu, perut saya melilit, bak penderita cirit birit. Memang seperti ini jika saya cemas dan gugup. Saya pun duduk di ruang tunggu.
Seolah belum cukup, saya mulai merasa ada angin dingin dari sebelah kiri yang berhembus berjeda. Saat mengusap-usap lengan kiri, mata saya tanpa sengaja menangkap pendingin udara sebesar lemari es dua pintu di belakang deretan tempat duduk. Ternyata, benda itu penyebab angin dingin yang saya rasakan. Saya merasa konyol sekali.
Lalu, setelah mendapati satu kekonyolan itu apakah rasa cemas saya hilang? Tidak. Masih saja ada. Apalagi, saat akhirnya saya menyadari bahwa semua yang mengantre tidak ada yang sendirian seperti saya. Semua bersama seseorang. Atau dua orang. Atau tiga orang. Satu-satunya yang berdiri sendiri hanya satpam penjaga pintu yang tadi membantu saya memencet tombol asuransi di mesin pengambil antrean. Dan tentu saja saya tidak bisa menganggapnya sendirian seperti saya. Suami saya bukan tidak ingin menemani. Namun, ada segunung berkas yang harus diselesaikan di kantor setelah sepuluh hari dia istirahat di rumah karena sakit. Saya hanya mengabari kalau sedang mengantri di rumah sakit sendirian. Emotikon peluk dia kirimkan. Rasanya ingin sedih, tapi kecemasan ini jauh berlebih. Jadi, kesendirian saya ini bukanlah pilihan tapi keterpaksaan.
Yang membawa saya ke sini adalah perihal sakit kepala sebelah yang hilang timbul selama berbulan-bulan. Saya sampai lupa kapan tepatnya semua bermula. Yang saya ingat, setelah semingguan berulang kali minum obat, saya memutuskan berhenti dan hanya berharap sembuh dari olesan minyak angin, pijat ringan, dan tidur sesaat. Kadang-kadang berhasil, kadang-kadang gagal. Pada satu titik akhirnya saya pasrah dan memilih menikmati sakitnya. Ungkapan “seorang ibu tidak boleh sakit” menjadi alasan saya.
Saat mengurus suami saya yang sakit di rumah, sakit kepala itu sungguh mengganggu. Padahal, kemarin-kemarin saya sudah menjadi terbiasa dengan rasa sakit itu. Saya menyerah dan kembali minum obat serta tidur lebih lama dari sebelumnya. Konsekuensinya, rumah jadi sedikit berantakan. Ehm, sebenarnya bukan sedikit lagi. Banyak berantakan dan hampir tiap hari. Anak-anak hanya membantu sekadarnya. Saya pun bertekad memeriksakan diri setelah suami sembuh.
“Antrean nomor 21!”
Ah, nomor yang saya pegang sudah dipanggil. Proses pendaftarannya tidak terlalu lama, mungkin karena saya pakai jasa asuransi perusahaan suami. Hanya saja, rasa cemas seolah-olah menyambung waktu begitu panjang. Dengan sedikit lemas, saya memaksa kaki melangkah ke depan meja pendaftaran untuk dimintai data berikut surat rujukan. Saya diminta menunggu di depan ruang dokter spesialis syaraf untuk dicek tensi sebelum nanti dipanggil ke dalam.
Saya mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh. Saya tidak tahu apakah petugas pendaftaran itu merasakan kesungguhan hati saya. Namun, keramahannya membuat rasa gugup ini berkurang. Dan untuk saya, itu seperti mendapat teman yang mendampingi saya di rumah sakit ini.
Sebelum menuju deretan kursi di depan ruang dokter, saya berbelok ke bagian radiologi. Saya mengambil hasil CT scan yang pada kunjungan sebelumnya saya lakukan. Sempat heran juga waktu itu: kenapa hasil CT scan tidak bisa ditunggu saat itu juga? Yah, bisa apa saya selain menuruti prosedur rumah sakit ini.
Amplop cokelat yang sangat lebar disodorkan pada saya setelah petugas bagian radiologi mencari di rak tepat di sebelah dia duduk. Saya kembali mengucapkan terima kasih lalu menuju ruang tunggu.
Nama saya dipanggil hanya setelah lima menit saya duduk. Tensi pun dicek, syukurlah masih dalam batas normal. Saya berinisiatif menitipkan hasil CT scan pada perawat yang tadi mengecek tensi dan memutuskan untuk ke toilet. Perut masih melilit dan saya masih berkeringat dingin. Saya harap yang saya buang di kamar mandi akan membawa serta cemas dan gugup saya. Ternyata tidak. Tetap saja perut saya melilit.
Tiga deret kursi di ruang tunggu ini hampir terisi penuh. Saya duduk di deret kedua paling pinggir, dekat meja perawat. Yang kemudian membuat termangu adalah ketika saya menyadari bahwa kemungkinan besar sayalah pasien termuda di poli syaraf ini. Semua pasien sudah berumur dan ditemani anak atau pasangannya. Beberapa lansia itu tampak payah, bersandar di kursi seperti hendak melorot ke lantai. Dua lansia duduk di kursi roda.
Satu nenek tampak menaikkan kaki, meringkuk di kursi tunggu sendirian. Matanya terpejam. Apa benar nenek itu sendirian? Kami senasib? Meskipun iya, saya tidak berminat mendekat untuk menemaninya. Saya sedang tidak ingin berbasa-basi atau menjawab berbagai pertanyaan tentang alasan saya ada di sini. Apalagi, jemari kaki kanan saya ternyata sudah bergerak naik turun tanpa saya sadari. Itu salah satu ciri kecemasan.
“Ibu Nur!”
Saya kaget. Amplop cokelat besar yang saya pegang sampai meluruh ke lantai. Dengan gugup saya mengambilnya lalu langsung berdiri. Saat melangkah, kaki ini terasa berat sekali. Saya sampai menunduk untuk melihat apa ada yang menempel, kenapa berat sekali?
Entah bagaimana, tahu-tahu saya sudah duduk di hadapan dokter spesialis syaraf. Dokter perempuan itu masih cukup muda dan wajahnya terlihat teduh. Suaranya seharusnya menenangkan, tapi saya malah tidak konsentrasi. Keringat yang meluncur perlahan di punggung malah lebih mencuri semua perhatian saya.
Tangan gemetar saya saat menyodorkan hasil CT scan terlihat begitu jelas. Dokter itu menerima sambil tersenyum.
Suara kelepak lembaran hasil pemeriksaan CT scan terdengar nyaring. Apalagi, setelah itu tidak ada lagi suara. Dokter cantik itu mengamati lembaran hitam dengan banyak gambar bayangan otak saya. Dia memutar sedikit, lalu kembali lagi. Wajahnya berkerut, lalu datar, lalu berkerut lagi.
Saya ingin menangis saat mengamati raut wajah dokter itu. Tapi saya harus kuat. Tas selempang jadi korban cengkraman tangan saya.
“Ehm!”
Dokter itu batuk!
Saya tersentak dan merasa seluruh tulang dilolosi dari badan ini.
“Jadi, Bu. Hasilnya ….”
Saya menangis.
TamatĀ
Kotabaru, 25 September 2024
Erien. Adalah orang yang ingin bisa memeluk lewat kata.