Catatan Tentang Kebaikan

Catatan Tentang Kebaikan

Catatan Tentang Kebaikan
Oleh: Ardhya Rahma


Jam dinding baru menunjukkan pukul 05.00 saat aku menyibak tirai dan kain pelapisnya, serta membuka sebagian jendela kamar. Bau petrikor seketika menyeruak menembus dinding hidungku, memenuhinya hingga menembus saraf menuju otak. Aku menghidu berulang kali bau segar tanah basah yang sudah beberapa bulan dirindukan karena musim hujan terlambat datang.

Jejak hujan semalam yang berhenti sebelum subuh, tampak pada pucuk kelopak bunga yang berkilat terkena sinar lampu taman. Juga air yang menetes perlahan pada ujung-ujung daun. Terlihat segar sekali.

Air hujan memang membawa keberkahan, salah satunya untuk tanaman. Meskipun tiap hari tanaman tersebut disiram, tapi tetap terlihat berbeda saat hujan mengguyur tanaman. Itu karena sejumlah air ledeng cenderung lebih basa atau lebih asin, daripada yang lain. Sementara pH yang sedikit asam akan membuat nutrisi untuk tanaman lebih banyak dan juga lebih baik untuk kesehatan tanah secara keseluruhan. Begitulah yang pernah kubaca dari beberapa buku tentang tanaman. Oleh karena itulah hujan adalah karunia Allah yang akan selalu dinanti.

Aku kembali menutup pelapis tirai jendela yang tersibak dan tetap membiarkan jendela terbuka. Aku ingin memenuhi kamar dengan aroma tanah basah yang berbaur dengan bau harum aneka tanaman di taman.

Belum terdengar suara-suara di luar kamar, mungkin bapak, ibu, dan adikku masih di kamar masing-masing. Aku pun memutuskan kembali bergelung di balik selimut. Bukan ingin tidur kembali, karena seorang muslim sebaiknya tidak tidur setelah subuh, melainkan akan melanjutkan membaca buku yang baru kubaca sebagian semalam.

Belum setengah jam aku tenggelam dalam bacaan, terdengar suara kelinting lonceng yang terpasang dekat pagar. Terkadang bel pintu memang bermasalah saat hujan turun, itu sebabnya dipasang lonceng sebagai pengganti bel. Meskipun suaranya tidak sampai ke belakang rumah dan hanya bisa terdengar sampai ruang tamu dan dan kamar depan, tapi cukup membantu ketika ada tamu.

Dari jendela kamar tidak tampak siapa yang sudah bertamu di pagi ini, tapi aku mendengar suara terbatuk-batuk dari pintu pagar. Gegas aku keluar kamar dan menuju pintu rumah. Kalau dugaanku benar, dia adalah Simbah. Tukang sayur dan buah langganan Ibu.

Dengan kunci gembok di tangan, aku melangkah tergesa menuju pagar. Suara batuk makin jelas terdengar dari balik pagar.

“Mbah ….” Aku memanggil sebelum membuka pagar.

Terdengar suara batuk sekali sebelum dia menyahut, “Nggih, Ning.”

Simbah memang selalu memanggil ning kepadaku. Bukan panggilan hormat pada anak kiai, tapi sebagai ganti menyebut mbak.

“Hari ini bawa apa aja, Mbah?” tanyaku sambil membuka gembok.

Kathah (banyak), Ning. Macam-macam,” sahutnya dari balik pagar.

Aku seperti mendengar suaranya gemetar, tapi batinku menepis karena orang seusianya terkadang memang seperti itu. Namun, saat memintanya masuk kulihat ada geletar di bibirnya yang kisut.

“Sebentar, Mbah. Duduk dulu. Saya panggil Ibu,” kataku sambil menyuruhnya duduk di kursi teras. Biasanya dia selalu menolak, tapi kali ini aku memaksanya karena melihatnya kedinginan.

Aku bergegas masuk memanggil Ibu dan menuju dapur. Saat keluar rumah, aku melihat Ibu sudah berjalan di depanku menuju teras. Aku menyusulnya sambil membawa segelas teh manis hangat untuk Simbah.

Usianya tak lagi muda. Bahkan lebih tua dari usia ibuku yang 68 tahun. Namun, semangatnya luar biasa. Tak kenal lelah, hampir setiap hari bakda subuh, dia berjalan membawa pikulan yang berisi sayur dan buah. Penuh, di kedua keranjangnya. Begitu penuhnya sampai bahu kanannya terlihat lebih pendek dari bahu kiri. Herannya lagi dia tidak terlihat kesulitan berjalan, meskipun membawa barang berat dan menggunakan jarit.

Aku memanggilnya Simbah karena setiap ditanya umur, jawabannya lahir bersamaan ayahnya menanam pohon jambu. Tentu saja aku tidak tahu itu tahun berapa. Ketika ditanya nama pun, dia menyebut sederet nama julukan di kampungnya. Daripada bingung, aku memutuskan memanggilnya “Simbah” saja.

Biasanya setiap lewat rumahku, dia akan berhenti untuk menawarkan dagangannya. Seperti biasa, Ibu akan membeli satu atau dua buah sayur atau membeli pisang yang Simbah bawa. Tidak pernah sekali pun Ibu menolak membeli, itu sebabnya tidak jarang apa yang Ibu beli tidak bisa langsung dimasak karena masih banyak stok di lemari es. Bahkan, Ibu sering memberikan sayur tersebut ke Mbak Siti, ART yang tiap hari datang untuk membantu membersihkan rumah.

Pernah aku bertanya pada Ibu, “Kenapa sih, Bu, selalu membeli dagangan Simbah? Kan, Ibu masih punya banyak sayur yang belum diolah di lemari es. Sampai sering dikasih ke orang biar enggak rusak.”

“Kasihan,” jawab Ibu singkat. “Coba kamu perhatikan. Simbah berhenti di rumah mana saja di gang kita?” tanya Ibu.

“Cuma rumah kita, ” jawabku. “Habis … dia kalau jualan mahal,” sambungku dengan nada menyalahkan.

“Apa salahnya lebih mahal kalau barangnya bagus. Sayuran Simbah itu kebanyakan tanamannya sendiri, lho. Begitu dipetik langsung dijual. Makanya segar-segar. Wajar kalau lebih mahal.

“Lagipula, tidak ada salahnya memberi kelebihan 500 atau seribu pada yang membutuhkan seperti Simbah. Itu bikin harta kita berkah karena ada doa mereka untuk kita.”

Aku hanya terdiam mendengar semua penjelasan Ibu. Dalam hati membenarkan penjelasan tersebut.

Sampai sekarang, pelanggan Simbah hanya Ibu. Itu membuat Simbah memperlakukan Ibu dengan berbeda. Kalau Ibu yang membeli dagangannya selalu diberikan bonus sayuran. Bahkan sering juga memberikan sayuran yang masih tersisa sepulang dari pasar dan menggantungnya di pagar kalau Simbah terburu-buru.

Katanya, kebaikan itu menular, dan aku melihatnya sendiri di depan mata. Ibu berbuat baik kepada Simbah, sementara Simbah pun berbuat baik pada Ibu. Sesederhana dan semudah itu kebaikan. Siapa pun bisa melakukannya. Tak perlu memutar otak dan mengerutkan kening untuk mencari cara sempurna berbuat baik.

Seperti kali ini, menyeduh teh hangat bagiku perbuatan biasa saja. Namun, ketika melihat bibirnya tersenyum saat menerima secangkir teh itu, meminumnya hingga tandas, dan tak lama kemudian bibir kisutnya membisikkan ucapan alhamdulillah. Aku tahu sudah membahagiakan Simbah.

Surabaya, Desember 2020


Ardhya Rahma, nama yang ingin ditorehkan dalam setiap buku yang ditulis. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Tulisan yang lain bisa dijumpai di akun FB @Ardhya Rahma.

Editor: Fitri Fatimah

Leave a Reply