Catatan Hati (2016-2019)
Oleh : Imas Hanifah N.
Sebuah Pagi dan Sampai Jumpa Lagi
Aku tak peduli, jika pagi ini, tungku api membakar luka-luka yang selalu mengingatkanku akan lagu kesedihan. Lagu yang diputar ulang tanpa jeda sebentar pun.
Aku akan membiarkan diriku bersedih, meratapi kegagalan dan menatap sendu pada semut-semut yang menggali dinding kamar. Mengajak berdebat pada secangkir teh yang duduk manis di meja, atau meremas kertas dan melemparkannya ke luar jendela.
Betapa itu menyenangkan, ampuh mengusir rasa sedih yang mungkin lagi akan pergi.
Jika kau berkata, aku sedang bercanda, tidak kawan! Kesedihan tidaklah lucu untuk ditertawakan.
Kesedihan begitu sakral dan berbahaya. Betapa mudah ia menghancurkan sebagian harapan dan tak menyisakannya sama sekali.
Sebisa mungkin, keadaan mencoba mempertahankan kesedihan ini. Membunuhnya, dan membangkitkannya dari kubur. Semacam hantu saja. Begitulah, berkali-kali ia bangkit berdiri dan menginjak tubuh serta harga diri.
Bukankah kesedihan yang kuat itu tercipta, karena aku atau kamu, pernah merasakan bahagia yang paling bahagia? Ia tidak lahir begitu saja, benar kan?
Mungkin kesedihan harus masuk daftar alasan untuk disyukuri.
Sekarang, apa yang lebih menyedihkan selain berbicara tentang kesedihan itu sendiri? Adakah topik yang lebih keren dari ini? Misalnya, jatuh cinta?
Cinta. Kata yang mengingatkanku pada banyak hal. Terlalu banyak, dan malas kuceritakan, haha. Tapi, pernah kau mencintai sebuah cerpen atau puisi? Hingga membacanya lebih dari puluhan kali?
‘Dermaga Malaga, Sepanjang Angin Masih Berembus’ karya Sungging Raga, entah berapa kali aku membacanya. Kapan aku bosan?
Atau puisi M. Aan Mansyur berjudul ‘Sejam Sebelum Matahari Tak Jadi Tengelam’
Kutemukan puisi itu dua tahun lalu dan selalu membacanya, bahkan sampai sekarang. Aku tak habis pikir, betapa hebat mereka bermain kata.
Pagi dengan rintik hujan, pagi yang sempurna meracik perasaan-perasaan. Membiarkan segalanya melebur bersama apa yang kutuang.
Apinya hampir padam dan lagunya berhenti. Sungguh, secangkir teh yang sangat manis sedang kucicipi. Padahal, aku tidak memberinya gula sedikit pun.
Kesedihan, sampai jumpa di lain kesempatan.
2016
Tetap
pagi seperti aroma daun jambu yang tak sepenuhnya kaucium
juga tak sepenuhnya kaukenali
sebagai seseorang yang baru saja terbangun
ini dimana? atau kau baru kembali dari mana?
malam telah habis, setengah kematian menyertaimu beberapa saat lalu
apakah ada yang bisa kautemu?
orang-orang terlalu sibuk dengan pemikiran paling dewa
uang dan kuasa.
kau juga mulai terseret menyibuki diri sendiri
seberapa besar angka di buku rekening
atau sepenuh apa itu tersembunyi di dalam perut, lemari dan rak sepatu.
pukul setengah tujuh, tapi jam dindingmu rusak, tak ada yang tak bisa diperbaiki oleh mesin dan orang jenius
kecuali masa lalu dan hatimu.
ini dimana? dan jam dinding itu tertawa sedikit lebih keras dari biasanya.
“Adalah waktu, salah satu yang paling cepat di antara segala yang Tuhan ciptakan. Apa yang kaupilih, berhenti atau bergerak, ia tetap berdegup.”
2016
Empat Puisi Pendek
1. Salam Kenal
kau tak usah mempertanyakan namaku
sebab mengenalku, tidaklah sesederhana isi KTP.
2. Cermin
maukah kau berkenalan denganku?
cermin itu bicara setelah aku memandangnya
dua ribu menit tujuh belas detik
tanpa berkedip.
3. Perhatian!
kepada para penumpang (zaman) kita sekarat!
4. Terminal
ada sisa suasana terasa.
kita di dekat pasar
tapi aku tak mendengar apa apa.
selain napasmu.
2017
Orang Pertama
Ada seseorang yang tidak kau tahu
Hidup di dalam diriku
Ia pohon yang tinggi menjulang
Pandai membaca pikiran, bahkan menebak apa yang akan kulakukan
Ia hidup di halaman depan sebuah rumah
Jatuh cinta kepada lampu jalan yang penyok
Menyukai gerimis dan membenci jam-jam sibuk setiap hari
Ia menginginkan keheningan
Demi berbicara dengan lampu jalan
Yang baginya selalu terlihat mempesona
“Jangan, gelap itu berbahaya.”
Suatu ketika, ia mendengar lampu jalan mengatakan itu
Ia menatapnya lekat, “Tidak. Kesedihan lebih berbahaya dari kegelapan.”
Maka, lampu jalan bersedia menerima cinta Si Pohon
Sebelum akhirnya sebuah mobil menabraknya sekali lagi
Dan kegelapan itu benar-benar datang
Ia ambruk dan tak lagi menyala
“Kesedihan dan kegelapan. Dua kali lipat lebih berbahaya,” gumamnya sebelum ia sendiri bunuh diri.
Aku tak bisa berbuat apa-apa
Meski pohon itu hidup di dalam diriku
Pandai dan tinggi menjulang
Tapi harus tetap kurelakan
Pohon, lampu jalan, kegelapan, kesedihan yang katanya dua kali lipat lebih berbahaya.
Orang Kedua
Aku ingin pergi dan tidak ingin pergi
Aku ingin berhenti dan tidak ingin berhenti
Kau ingin pergi dan tidak ingin pergi
Kau ingin berhenti dan tidak ingin berhenti
Kita, dua orang yang tak pernah selesai.
Orang Ketiga
Dua mata yang kehilangan tatap
Dua kaki yang mengabaikan arah
Dua rasa yang kehilangan tuju
Dua impian yang menjadi kenang
Aku tahu.
Meski kau tak lagi utuh
Tapi berani terbang
Dengan satu sayap kiri
Dan sebuah balon di tangan kanan
Tinggal menunggu hitungan
Sampai balon itu pecah
Kau jatuh ke tanah
“Aku tidak menyesal, setidaknya aku pernah terbang. Tidak sepertimu.”
Aku menganggap itu sebagai pujian
Sebab, tindakan itu terlalu konyol untuk seseorang di usiaku
Mungkin kau harus mengajak remaja tanggung
Untuk bersama-sama melakukannya
Tertawa tanpa takut jatuh terluka
Berani melakukan segala hal
Asalkan berdua
Apa kamu sudah menemukannya? Kapan waktu yang tepat untuk mengucapkan ‘selamat’?
Tasikmalaya, 2018
Di Suatu Pagi
Suatu pagi yang bolong
Matahari ikut berdemo di alun-alun
Kau masih terpejam, tentu saja
Ibumu mencuci piring
Adikmu bermain game
Ponselmu beberapa kali berbunyi
Ayahmu menonton berita
Pukul setengah delapan
Kau menggeliat
Matahari masih berdemo
Memanas-manasi
Di alun-alun
Kau menguap
Sarapan apa pagi ini?
Langkahmu pelan ke kamar mandi
Kembali ke kamar, lihat notifikasi
Kemudian membuka jendela
Eh, ini sudah pagi? Ke mana matahari?
Kau keluar
Masih sedikit gelap dan dingin
Di rumah sudah tak ada siapa-siapa
Sampai kau menyadari
Hari ini, semua orang akan berunjuk rasa
Menuntut hak-haknya sebagai penghuni bumi
Eh, matahari juga?
Kau merasa sedikit lucu
Mengambil sebungkus mie instan, merebus isinya, dan membuang cangkangnya ke selokan
Mungkin besok, selokan akan ikut demo juga
Kau juga melihat seekor kucing dan menendangnya
Besok, kucing ini akan demo juga, pikirmu
Tapi kau merasa sedikit sakit karenanya
Entah kenapa
2019
Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing dan kelinci. Keinginannya menulis berawal dari kebiasaan sang Ibu yang terus memberinya buku bacaan ketika masih di Taman Kanak-Kanak. Majalah Bobo, Mangle, dan bacaan lainnya.
Ia bisa dihubungi via sosial media di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata