Cara Memasuki Dunia Dalam Novel

Cara Memasuki Dunia Dalam Novel

Cara Memasuki Dunia Dalam Novel

Oleh: Reza Agustin

“Salah satu formula paling umum seseorang bisa masuk ke isekai[1] adalah; kita membaca novel berlatar fantasi, umumnya kerajaan di Barat, lalu kita menyeberang jalan, lalu tertabrak truk atau mobil lalu kita akan bereinkarnasi ke dunia di dalam novel. Voila. Kita masuk ke dalam sana dan bisa menjadi penjahat atau karakter figuran tidak penting, tapi secara ajaib kita akan menjadi dekat dengan tokoh utama. Kalau begitu secara tidak langsung, kitalah yang menjadi tokoh utama bukan?”

Chae Soobin mungkin tidak mendengarkan instruksiku untuk mengerjakan soal-soal tes yang keluar ketika ujian masuk universitas tahun lalu. Kalau bukan karena diminta ibunya menjadi tutor, tentu aku lebih senang menghabiskan tahun awal mahasiswa baru dengan berburu pacar. Sesuatu yang tak sempat kulakukan semasa sekolah menengah atas.

“Lalu, apakah formula umum itu akan membantumu masuk universitas? Jangan baca novel lagi sampai kau selesai tes.” Aku merebut ponselnya, aplikasi novel daring bertema reinkarnasi lagi-lagi mengambil alih dunia kecilnya.

“Ah, Hwayoung! Kau sama sekali tidak punya sisi santai, ya? Dasar orang pintar! Pasti di kepalamu isinya kiat-kiat mendapatkan nilai bagus dan merebut hati dosen. Kau pasti sama sekali tidak kepikiran mencari pacar.” Soobin bersungut-sungut.

“Kau yang hanya suka laki-laki 2D tidak berhak bilang begitu padaku!” Mataku bergerak memutari kamar Soobin sejenak. Sepanjang dindingnya tertempel karakter 2D yang disebut-sebut tampan. Hanya orang aneh yang menyebut gambar gepeng itu tampan.

Soobin merajuk setelah ponsel miliknya kusita. Ia tidak sudi melirikku maupun buku-bukunya. Alih-alih mengamuk, ia justru menenggelamkan wajah ke lantai dan menjerit dengan posisi wajah menempel. Kalau sudah begitu, ia bisa melakukannya sampai bosan.

“Soobin, kau sudah cukup besar untuk memahami bahwa kau bukan lagi anak-anak yang tergila-gila pada kartun,” ujarku sengit.

Teringat akan masa kecil kami yang diisi dengan banyak membaca komik dan menonton animasi sepulang sekolah. Kendati aku satu tingkat di atasnya, tetapi kami berdua satu-satunya di lingkungan yang memiliki usia berdekatan. Mau tak mau aku menjadi teman bermainnya, pun dengan Soobin yang hanya memiliki diriku sebagai tempatnya bertukar cerita. Entah sejak kapan dinding membatasi kami hingga jarang bertemu.

Soobin bangkit dari posisinya. Ia menatapku dengan wajah merajuk dan merengut. Sudah tidak mempan lagi untukku.

“Soobin, kau tidak lupa kalau kau akan dijodohkan kalau tidak bisa masuk universitas bukan? Aku hanya tidak ingin ditinggal menikah teman yang lebih muda dariku. Dan lagi aku juga belum punya seseorang yang diajak datang ke pernikahanmu.”

“Hwayoung yang selalu sibuk dengan nilai-nilainya pasti lebih memilih menikahi buku daripada orang.”

“Sembarangan.”

Pada akhirnya sesi belajar pertama kami tidak berjalan dengan baik. Banyak hal diperdebatkan, tidak ada satu pun soal terjawab, dan lagi-lagi dinding tebal di antara kami semakin tebal. Tentang dirinya yang terobsesi memasuki dunia fantasi dari novel dan diriku yang mencoba menjaga kewarasan sebelum terpengaruh kembali menyelam ke dalam dunia kecil Soobin. Kami pernah sama-sama memimpikan menikahi tokoh komik, bahkan memperebutkannya.

Tak ingin kalah, Soobin memiliki inisiatif membuat karakter tampan sendiri. Ia mengalah karena paham bahwa aku tak akan pernah bisa menggambar sebaik dirinya. Soobin yang memang pada dasarnya lebih menonjol di bidang seni rupa, sialnya memiliki orang tua kaku. Apa gunanya pintar menggambar tapi nilai matematikanya jelek! Kalau menggambar bisa menjadikanmu PNS lebih baik kau menggambar saja sampai mati! Anak berbakat yang lahir di tengah keluarga salah. Maka tak heran dengan tekanan yang datang dari segala penjuru itu, Soobin sering kali berangan masuk saja ke dunia fantasi dalam angan-angannya.

Terkadang ia ingin menjadi tokoh antagonis wanita yang memiliki keberanian melakukan apa saja, toh tidak semua wanita memiliki keberanian melakukan hal-hal di luar zona nyaman. Kadang kala juga ia berharap menjadi tokoh figuran, alasannya karena tokoh figuran tidak memiliki peran berat dan cenderung bisa bersantai-santai daripada protagonis atau antagonis. Atau pernah sekali ia berharap memasuki dunia impian yang dibuatnya sendiri. Ia akan menjadi Tuhan atau Dewa dalam dunianya lalu akan menikahi karakter-karakter tampan. Sungguh… aku pun pernah berangan-angan demikian, tetapi segera kutimbun lagi dalam-dalam.

Pada akhirnya, angan-angan itu tak lebih pelarian atas kejamnya realita kehidupan modern. Betapa pun aku juga membenci dunia ini, aku tetap harus kembali dan menjalaninya.

***

“Hwayoung, Ibu dengar kalau Soobin sulit sekali kamu ajari,” ujar Ibu pagi itu ketika aku tengah bersiap berangkat ke kampus.

“Ya… bisa dibilang begitu. Tapi itu karena orang tuanya memaksa Soobin masuk ke universitas yang agak sulit dan memaksakan jurusan tidak sesuai kemampuannya Soobin. Kalau orang tuanya menerima saja Soobin pintar menggambar, ia bisa dengan mudah masuk jurusan seni rupa. Hanya saja orang tuanya yang kolot. Mereka ingin dia jadi PNS suatu hari nanti.” Aku tak bermaksud menjelek-jelekkan orang tua Soobin, tapi memang begitu kenyataannya. Sengaja kukatakan dengan gamblang agar Ibu pun tidak salah paham tentang perempuan yang lebih muda dariku itu.

Ibu menghela napas, ia lantas memintaku duduk di sofa bersamanya. “Kamu pasti belum tahu ini karena beberapa hari ke belakang menginap di kampus. Tapi kamu harus tahu kalau orang tua Soobin mencopoti semua poster dan membakar koleksi komik serta novel Soobin kemarin. Dia sama sekali tidak bicara apa pun padamu?”

Aku mencelus, Soobin bahkan sama sekali tidak membaca pesan yang kukirimkan sejak kemarin lusa. Mungkinkah ponselnya juga ikut disita? Kalau memang begitu, wajar jika ia tak membaca pesanku. Selagi aku terbengong, Ibu lantas melanjutkan lagi ceritanya, “Soobin benar-benar sudah tidak bisa lari lagi. Orang tuanya memutuskan menikahkan saja anak itu dengan orang yang disebut-sebut orang tuanya.”

Oh, Tuhan. Tanpa sadar, aku sudah berlari menuju rumah Soobin. Bel pintu ditekan berulang-ulang, tak peduli jika nantinya tombol merah itu rusak. Ibu Soobin berlari tergesa-gesa menyambutku. Ia mungkin sedang di tengah-tengah berdandan jika melihat rol rambut dan sisa-sisa masker di wajah. Ekspresinya kesal dan galak, wajar saja.

“Bibi, apakah Soobin ada di rumah?” tanyaku sembari berusaha mengintip ke dalam. Ada drum besar dan sisa-sisa pembakaran di sana. Potongan wajah tampan karakter 2D favorit Soobin mengintip dari drum gosong itu.

“Soobin sedang berdandan. Kami akan pergi ke pertemuan keluarga hari ini, jadi dia tidak bisa diajak main. Kau kembali nanti sore atau besok saja, Hwayoung,” jawabnya tampak dongkol.

“Tapi, Bi—”

Ucapanku terpotong oleh jeritan kencang ibuku dan bunyi berdebum kencang dari halaman belakang rumah Soobin. Ibuku berlari terbirit-birit menuju kami sembari menjerit, “Soobin, Soobin, melompat dari lantai dua!”

Itu adalah pagi yang cukup mengejutkan di kompleks perumahan kami. Ibu Soobin menjerit dan menangis sejadi-jadinya, para warga berbondong-bondong menghampiri, mobil polisi dan ambulans datang tak lama kemudian. Tubuh Soobin yang berdarah-darah diangkut pergi. Pada saat itulah aku tercenung. Mengapa ia memilih cara lain memasuki dunia fantasi novel? Bukankah melompat dari lantai dua lebih menyakitkan daripada langsung tewas karena tertabrak truk?

Isekai yang selama ini menjadi pelipurnya ketika ditekan dari berbagai arah bukan tujuan akhir, bahkan tokoh yang masuk ke dalam novel akan kembali ke dunia nyata. Soobin juga selalu kembali ke realita, dunia novel dan karakter-karakter tampan tipis itu tak lebih dari hiburan ketika lelah. Namun, ketika pelipurnya sudah tidak ada, ia hanya perlu mencari cara mengakhiri tekanan itu untuk selamanya. Kalau sudah mati … mereka tidak akan kembali, ‘kan? Alih-alih bertemu dengan tokoh tampan dalam novel sebagai karakter di dalamnya, iblis menanti di depan pintu neraka.(*)

 

[1] Dari penelusuran Tribun Sumsel, Isekai adalah kata yang berasal dari Bahasa Jepang yakni I Sekai (異世界) yang artinya “Dunia Berbeda”.

Reza Agustin, penulis platform yang tidak berkualitas.

Editor: Respati

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply