Cantik Itu Luka, Have Fun and Enjoy it

Cantik Itu Luka, Have Fun and Enjoy it

Cantik Itu Luka, Have Fun and Enjoy it
Oleh: Uzwah Anna

Judul: Cantik Itu Luka
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama,
cetakan keenam: Februari 2015
Tebal: 479 halaman


Sebuah novel yang sangat kompleks. Penuh adegan erotis, romantis, surealis sekaligus realis yang absurd, dendam, cinta, sejarah, dan filsafat. Sebuah karya yang sangat menarik, karena sang penulis mampu menata adegan per adegan dengan sangat mumpuni. Sehingga menghasilkan sebuah karya yang sangat ciamik.

Cantik itu luka merupakan novel kedua Eka Kurniawan yang kubaca setelah sebelumnya menyelesaikan membaca Lelaki Harimau. (kelak jika waktunya memadai, aku juga akan membuat sedikit ulasan mengenai novel ini, semoga).

Spoiler Alart!

Jika kalian belum membaca Cantik Itu Luka, dan tak ingin terganggu oleh ulasan yang terlalu banyak membocorkan isi cerita, silakan pergi untuk membacanya lebih dulu, kemudian balik lagi ke sini setelahnya.

Jika dilihat dari judul, mungkin beberapa orang akan menganggap bahwa novel ini merupakan novel pop yang penuh dengan kesedihan atau cerita yang mendayu-dayu penuh tangis-air mata dan kisah yang mengharu kelabu. Nyatanya tidak. Sama sekali tidak! Memang tak dipungkiri, di dalamnya dipadati dengan kesedihan yang dialami oleh para tokohnya, terutama Dewi Ayu, sebagai seorang Indo, perempuan yang dihasilakan dari perkawinan incest. Ayahnya yang bernama Henri Stemmler melakukan persetubuhan dengan saudara tirinya, Aneu Stemmler yang lahir dari perempuan pribumi yang diambil paksa untuk menjadi gundik, Ma Iyang. Sebelum menjadi gundik, Ma Iyang sendiri telah memiliki kekasih yang usianya lebih tua empat tahun darinya, Ma Gedik: 19 tahun. Meski mereka saling menaruh rasa satu sama lain dan merencanakan masa depan bersama, tapi apa boleh buat jika seorang Belanda pemilik perkebunan cokelat, Ted Stemmler, menginginkan Ma Iyang sebagai selingan–pemuas berahi–di antara dia dan istrinya, Marietje Stammler.

Kisah dibuka dengan cerita yang cukup horor, di mana mantan pelacur, Dewi Ayu, bangkti dari kematiannya setelah 21 tahun ditanam di tanah pemakaman. Dia keluar dari lubang itu hanya untuk satu tujuan: menyelesaikan perkara yang belum sempat dia bereskan semasanya hidup dulu, menghentikan kutukan hantu yang sudah kesumat dendam akibat kekasihnya dulu dirampas oleh Ted Stemmlar, kakeknya. Hantu itu merupakan Ma Gedik, pria tua, yang lebih pantas menjadi kakeknya, tapi justru menjadi satu-satunya suami yang sangat disayangi oleh Dewi Ayu.

Jika biasanya penulis lebih suka menggunakan alur maju atau alur mundur, di novel ini alurnya justru loncat-loncat. Loncatan ceritanya tak kira-kira. Dari satu periode ke periode lain yang sangat jauh. Di satu bab bisa menceritakan kisah setelah kematian Dewi Ayu, eh, di bab lain tiba-tiba penulis menyeret pembaca jauh ke masa di mana terjadinya skandal incest hingga Dewi Ayu lahir. Lantas di bagian berikutnya pembaca ditarik maju ke cerita yang memaparkan mengenai cinta segitiga antara mertua-menantu-anak gadis Dewi ayu maupun cinta segi tiga di antara ketiga cucu Dewi ayu beserta tragisnya akhir hidup mereka karena peristiwa biadab itu sendiri, kemudian ditarik mundur kembali, dibawa ke masa cinta segi tiga antara Ted Stemmler-Ma Iyang-Ma gedik.

Sangat elastis, bukan?

Kisah-kisah sejarah mulai dari zaman kolonial, penjajahan jepang, hingga berdirinya republik Indonesia juga kerap mewarnai sepanjang jalan cerita. Bahkan kisah mengenai tragedi pembantaian komunis juga dipaparkan dengan sangat mengerikan. (Di sini, aku seperti tak membaca cerita, tapi justru menonton film. Kekuatan showing dalam cerita, membuat pembaca dapat mengimajinasikan adegan per adegan pembantaian tersebut). Saking banyaknya korban dari pihak komunis, kelak, akan bermunculan hantu-hantu di wilayah Halimunda itu sendiri yang membuat sang Shodanco–salah satu militer hasil didikan Jepang yang membelot mendukung pemerintahan republik, dan kini menjadi pimpinan militer yang paling disegani di Halimunda–menjadi setengah gila. Bahkan tak jarang dia senewen gara-gara hal kecil, serupa: Nurul Aini yang sering mengadu bahwa di tenggorokannya bersarang biji kedondong. Atau ketika ajag-ajag yang tersebar di seluruh kampung menggonggong di tengah malam. Sang Shodanco lantas menghubung-hubungkann hal-hal semacam itu dengan hantu orang-orang komunis yang sengaja meneror dirinya.

Lain Shodanco, lain pula dengan Maman Gendeng.

Sekilas kisah, dulu Maman Gendeng pernah patah hati kerena mencintai seorang perempuan berumur tiga belas tahun yang ternyata telah memiliki suami. Dari situ dia berkelana ke mana pun kakinya melangkah. Hingga suatu ketika dia mendengar kisah seorang gadis cantik jelita yang diperebutkan banyak lelaki bernama Rengganis (kelak di kemudian hari nama ini dia sematkan pada putri semata wayangnya: Rengganis Si Cantik). kisah tersebut ternyata telah memengaruhi lika-liku hidupnya. Hingga dia berlayar ke Halimunda, menantang semua jagoan yang ada di sana, dan menjadi preman terminal paling ditakuti di Halimunda setelah menenggelamkan dan melempar mayat Edi idiot sebagai camilan hiu.

Dewi Ayu, Shodanco, dan Maman Gendeng lahir dan hidup nyaris di era yang sama. Dewi Ayu, sebagai keturunan Indo, merasakan pahitnya kependudukan Jepang, yang membuat dirinya dan beberapa perempuan Belanda lain dipaksa menjadi pemuas berahi serdadu Jepang di rumah Mama Kalong. Meski lain cerita, namun akibat kependudukan Jepang pula yang membuat Shodanco dan Maman Gendeng bergabung dalam militer, bergerilya menggempur tentara Jepang demi kata merdeka. Tapi meski sama-sama pejuang rakyat, pada akhirnya kedua pria ini memiliki garis takdir yang berbeda setelah Jepang minggat akibat Nagasaki dan Hiroshima dijatuhi bom atom oleh pihak sekutu. Shodanco memilih tetap pada bidang militer, menjadi pemimpin yang disegani oleh masyarakat dan seluruh prajuritnya. Sementara Maman Gendeng juga tak kalah disegani setelah menjadi ketua preman paling ditakuti karena berhasil menyingkirkan pemimpin sebelumnya dengan sangat brutal.

Sama-sama sebagai seorang pemimpin tertinggi di kelompoknya, tentu saja baik Shodanco maupun Maman Gendeng merasa perlu menampakkan taringnya pada lawan-lawan mereka. Sehingga timbullah konflik ketika keduanya bertikai memperebutkan Dewi Ayu yang kelak dikemudian hari menjadi ibu mertua mereka.

Setelah pernikahan Alamanda dan Shodanco yang sedemikian mengejutkan bagi banyak orang, maka, demi menjaga keselamatan putri bungsunya, Dewi Ayu meminta Maman Gendeng untuk menikahi putrinya, Maya Dewi, yang saat itu masih berusia dua belas tahun. Meski awalnya bersikukuh dengan penolakan, karena pria itu mencintai ibunya bukan anaknya, tapi akhirnya Maman Gendeng bersedia menjadi suami Maya Dewi.

Pada bagian ini, tak urung aku mesti beberapa kali berhenti membaca, sebab aku dibuat tak tahan untuk tak tertawa. Bahkan aku harus membekap mulutku sendiri karena khawatir orang lain akan terganggu dan menganggapku gila karena tertawa tanpa sebab.

Maman Gendeng yang kala itu sudah berusia sekitar tiga puluhan tahun menjadi suami gadis dua belas tahun. Di malam pengantin mereka tak melakukan ritual layaknya pengantin pada umumnya. Maman Gendeng berkilah karena dada istrinya masih rata dan belum tumbuh rambut di kemaluannya. Jadi, terhitung sejak malam pertama menjadi pengantin hingga lima tahun kemudian, Maman Gendeng hanya akan mendatangi kamar istrinya untuk menceritakan dongeng-dongeng sebelum tidur layaknya seorang bapak pada putrinya. Kemudian dia akan membetulkan selimut gadis itu dan keluar kamar ketika melihat Maya Dewi benar-benar pulas.

Serius, itu adegan lucu banget!

Bayangin, seorang preman, yang biasa ngegebukin orang, piting-piting kepala orang, bentak-bentak orang, bahkan bisa mengerahkan massa untuk bertanding dengan prajurit shodanco, jika mau, malah luluh di hadapan gadis dua belas tahun. Gaharnya hilang pas dia di rumah. Ironis banget, iya enggak sih? LOL.

Sebagai keturunan Indo, Dewi Ayu mewariskan kecantikannya pada ketiga putrinya. Tapi bagaimanapun juga kecantikan mereka membuat dirinya khawatir. Meski dirinya seorang pelacur teristimewa di Halimunda, tapi bukan berarti Dewi Ayu akan membiarkan putri-putrinya mengikuti jejak dirinya. Wanita itu baru bisa bernapas sedikit lega ketika putri sulungnya, Alamanda, menikah dengan Shodanco pemimpin militer tertinggi di Halimunda. Putri Bungsunya, Maya Dewi, dinikahkan dengan preman terkuat pula di Halimunda, Maman Gendeng. Dan akhirnya, putri keduanya, Adinda, menikah dengan Kamerad Kliwon, mantan pimpinan komunis tertinggi yang juga disegani di Halimunda sekaligus mantan kekasih Alamanda. Jadi, selain dirinya sendiri sangat disegani karena pesonanya yang bisa memikat setiap pria, Dewi Ayu juga makin disegani karena ketiga menantunya sama-sama orang tertinggi di komunitasnya. Namun meski begitu, dia sama sekali tak menggunakan pengaruh menantunya. Dewi Ayu merupakam perempuan mandiri, cerdas, dan pandai membawa diri. Jadi, meski dia pelacur, dia bukan sesosok yang jahat melebihi iblis, seperti di sinetron-sinetron azab. Atau sebaliknya, perempuan yang baik hati melebihi malaikat. Sama sekali bukan seperti itu. Dewi Ayu, terlepas dari dirinya sebagai seorang pelacur, dia digambarkan sebagai wanita pada umumnya. Wanita normal yang selalu berusaha melindungi putri-putrinya. oleh karena dia tak mau pernikahan putrinya terpengaruh oleh citra buruknya sebagai pelacur, maka dia memilih untuk tak tinggal dengan ketiganya setelah masing-masing dari mereka telah bersuami.


Pemaparan konfliknya sangat menarik.

Selain konflik karena perebutan kekuasaan di saat transisi pemerintahan kolonial-kependudukan Jepang–yang pada akhirnya membuat Dewi Ayu terjerumus pada dunia pelacuran–juga terjadi konflik antara sesama menantu-menantunya: Shodanco berkoflik dengan Maman Gendeng; Shodanco berkonflik dengan Kamerad Kliwon; konflik sesama cucu-cucunya, terjalin cinta segitiga antara Rengganis Si Cantik (putri Maman Gendeng)-Krisan (putra Kamerad Kliwon)-Nurul Aini (Putri Shodanco); konflik antara pendahulunya Ma Gedik-Ma Iyang-Ted Stemmler; konflik perkawinan incest antara cucu Dewi Ayu (Krisan) dan putri keempatnya (Si Cantik); konflik mengenai dendam Ma Gedik pada seluruh keturunan Ted Stemmler (kecuali Aneu Stemmler); konflik dengan Kyai Jahro–meski cuma sedikit, tetapi kemunculan tokoh Kyai Jahro sangat vital, karena dari sini pembaca dikasih tau bahwa Dewi Ayu merupakan wanita yang unik dan memunculkan kisah sebagaimana yang sering yang terjadi di sosial masyarakat kita: mudah sekali menuduh tanpa tahu akar permasalahannya; juga konflik-konflik lain yang bertabur di setiap bab.

Meski tokoh dan konfliknya bejibun, tapi inti ceritanya tetap bermuara pada satu tokoh: Dewi Ayu. Dan ending dari kisah ini, meski tak membahagiakan tapi cukup melegakan. Sebab, ketiga putri Dewi Ayu yang tak pernah bertemu dengan si bungsu yang buruk rupa, akhirnya mereka bersatu dan saling mengisi sebagai keempat janda yang ditinggal mati oleh suami dan anak, juga sebagai saudari dari satu ibu yang sama: Dewi Ayu.

Dari sekian banyak hal yang menarik, ada satu hal yang menurutku paling menonjol untuk dibahas: Putri bungsu Dewi Ayu yang lahir jauh setelah pernikahan kakak-kakaknya. Dia merupakan anak yang paling tak diharapkan oleh Dewi Ayu. Oleh sebab itu, semenjak dalam rahim, Dewi Ayu berusaha memusnahkannya. Hingga nyaris dua kali nyawanya sendiri ikut melayang. Tapi ternyata keinginan si bungsu untuk dilahirkan sangat kuat. Sehingga membuat Dewi Ayu menyerah untuk mencekiknya. Tapi meski begitu, Bukan berarti Dewi Ayu menerima begitu saja, dia selalu berharap agar anak yang keeempat ini tidak terlahir sebagai mana kakak-kakaknya. Dia berharap wajahnya akan sangat jelek. Karena dengan begitu, Dewi Ayu berpikir bahwa putri keempatnya ini akan selamat dari semua tragedi akibat laki-laki.

Permintaan Dewi Ayu terkabul. Putri keempatnya terlahir dengan layaknya bukan manusia. Bahkan dukun bayi yang membantu proses persaliana Dewi Ayu saat itu sempat dibuat bingung, dia bayi atau tai? Tapi ternyata onggokan yang dianggap tai tersebut bergerak. Oleh karenanya sang dukun yakin bahwa itu merupakan bayi. Meski enggan melihat bayinya sendiri, Dewi Ayu memberikan nama Si Cantik pada bayi keempatnya yang buruk rupa itu. Ironis.

Ada juga kisah haru yang cukup mengena bagiku sebagai pembaca: 23 September 1945, ketika Shodanco menemukan sebuah tulisan yang berisi proklamasi kemerdekaan republik Indonesia dari mulut seorang mayat pribumi di dekat tempat persembunyian gerilyanya. Dengan cepat Shodanco memerintahkan truk-truk pengangkut prajurit untuk menyebarkan selebaran bahwa republik telah merdeka. Lantas banyak kisah heroik, unik, dan komedik yang mewarnai kemerdekaan itu.

Ketika membaca novel ini, tak ada keinginanku seperti pengalaman membaca beberapa buku sebelumnya: pengen cepet kelar! Aku justru menikmati bab per babnya. Seperti yang kubilang di atas tadi, konfliknya sangat rumit, alurnya maju-mundur, jalinan ceritanya meloncat-loncat. Namun, kepiawaan penulis justru membuat pembaca semakin bisa menyelami cerita dan penokohannya. Meski di beberapa bab sebelumnya telah ada bocoran bahwa si ini akan begini, si itu bakal begitu, tetap saja pembaca tak bisa menerka-nerka konflik apa saja akan terjadi di depan nanti. Oleh karena penasaran yang berlebih, hal ini justru menyeret pembaca untuk menekuni lembar per lembar novel ini hingga habis. Hingga pada titik di mana Krisan (putra Kamerad Kliwon) menemukan jawaban bahwa: cantik itu luka, sebagai mana yang menjadi judul di novel ini.

So, enjoy Guys …


Sh-Tw, 13 Juni 2021

Uzwah Anna. Lahir, tumbuh, dan besar pelosok Malang. Penyuka Warna: hitam, biru, dan hijau. Fans berat Werkudoro dan ketiga putranya: Ontorejo, Gatotkoco, dan Ontoseno.

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kotributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply