Buta Hati
Oleh: Fitri Junita
Lani, seorang wanita yang telah memiliki suami, tengah menatap serius ke layar ponselnya yang sedang menyala.
“Kelas menulis? Wah … menarik ini,” gumamnya sembari terus membaca dengan saksama sebuah info yang lewat di laman akun media sosialnya.
“Harus ikut, nih,” ucap Lani kepada dirinya sendiri.
***
Malam kian larut, tetapi mata wanita yang hampir berusia tiga puluhan itu, tak dapat terpejam. Ponselnya masih ada dalam genggaman. Ia bahkan memainkan ponselnya itu sambil di-charge. Ia masih asyik dengan kesibukannya di dunia maya. Sibuk bersenda gurau dengan teman-temannya yang belum pernah ia temui.
“Tidur, Dek.”
Suara berat dari sosok yang berada di sampingnya, mengingatkan ia untuk segera beristirahat.
“Hem,” jawabnya acuh tak acuh tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang tengah menyinari wajah cantiknya, bak rembulan malam.
Entah sejak kapan, tetapi sejak mulai menekuni dunia literasi, Lani mulai kehilangan ritme jam tidur malamnya. Bagai ABG yang sedang merasakan jatuh cinta.
Jatuh cinta? Wanita yang selalu membuat postingan kebaikan di akun media sosialnya itu memang sedang jatuh cinta. Lani jatuh cinta dengan dunia literasi.
Hari berlalu dengan cepat, bahkan berganti bulan. Lani makin giat mengikuti kelas menulis. Hampir semua kelas menulis yang ia ketahui, ia ikuti. Mulai dari yang free biaya belajarnya, sampai berbayar. Meskipun ia harus berutang demi mengikuti kelas tersebut.
“Kapan bikin solo, Lan? Ilmunya udah meluber, tuh.”
Nur, salah seorang teman Lani yang sama-sama menyukai dunia literasi, mengomentari status Lani yang sedang mengulas sebuah kelas menulis yang telah ia ikuti. Kelas yang sangat membekas di hatinya, karena sosok pematerinya yang karismatik telah membuat Lani merasa tenang dan nyaman, meski hanya mendengar suara sang mentor.
“Tungguin aja, Mbak Nur. Aku pasti bikin, kok.”
Lani membalas komentar Nur dengan perasaan tak menentu. Ia tak suka jika ada orang lain yang selalu menanyakan kapan dirinya akan menghasilkan karya solo. Meski ia sangat ingin, tetapi ia sedang sangat menikmati kekagumannya terhadap sosok yang tak halal baginya. Ya, mentornya sendiri.
Lani sadari hal itu, walaupun terkadang ia menyangkal jika itu tidak benar.
Suara pesan masuk dari aplikasi WhatsApp membuat Lani yang sedang rebahan di dalam kamarnya yang nyaman, segera mengambil benda pipih yang berada di samping kanan bantalnya, dan bergegas membuka aplikasi tersebut.
“Ah … pada pamer semua.” Lani berkata dengan nada tak suka, saat matanya membaca chat di sebuah grup literasi kotanya.
Jari telunjuknya langsung mencari sebuah nama seseorang di aplikasi yang sama, tempat ia berbagi cerita.
Sedetik kemudian, jarinya mulai menari dengan lincah di atas layar papan keyboard.
[Di grup itu lagi pada ngapain sih, Sar? Aku nggak suka.]
[Grup yang mana, Kak?] tanya Sari membalas chat pribadi Lani.
[Itu … yang pada bahas buku solo. Tau nggak, aku ngerasa dikucilkan kalo semuanya pamer buku solo. Pake acara ngetag aku pula.]
[Harusnya Kakak termotivasi, bukannya malah suudzon. Kebanyakan online nggak jelas, sih.]
[Aku kan sedang menghibur diri sendiri, Sar. Daripada aku pusing, mending dunia maya buat senang-senang.]
[Stalking akun orang yang nggak halal buat kita, bukan menghibur diri, Kak. Ingat suami. Mending Kakak nulis, daripada ngelakuin hal yang unfaedah gitu.] Sari mencoba mengingatkan dan memberi solusi kepada Lani.
[Iya, iya. Nanti aku nulis.]
Sari mulai merasa enggan melanjutkan obrolan bersama Lani. Meski usianya lebih muda, tetapi Sari merasa Lani tak berbeda jauh dengan anak remaja yang sedang mencari jati diri dan tidak bisa memahami kondisi yang sedang ia alami.
***
Detak jantung Lani bekerja dengan cepat. Matanya berkedip tak percaya dengan apa yang ia baca. Sebaris komentar dari sebuah postingan seseorang yang berkaitan dengan mentor kesukaannya, sukses membuat Lani harus menahan rasa kesal.
“Apa-apaan ini, orang. Nggak seneng banget ama gue,” ujar Lani saat membaca komentar seseorang yang tidak ia sukai karena Lani selalu merasa di-bully oleh orang tersebut.
Dengan emosi yang sedang ia tahan, Lani langsung membuka aplikasi WhatsApp.
[Sar, tuh orang kenapa, sih? Kayaknya ngajak gelud mulu!] Lani mengirim pesan berupa teks dan sebuah link tautan kepada Sari.
[Gelud gimana, Kak?] tanya Sari beberapa menit kemudian setelah ia membuka link tautan yang dikirim oleh Lani.
[Kamu nggak baca komennya Laraswati? Aku tau, komen dia buat aku, Sar.]
[Percaya diri boleh, Kak. Tapi jangan terlalu kepedean. Kakak nggak baca, komen semua orang? Kan, nggak beda jauh kayak komen Kakak. Jadi komen Mbak Laraswati nggak hanya ditujukan buat Kakak aja.]
Sari makin tak mengerti dengan jalan pikiran sosok yang telah ia anggap sebagai kakak sendiri. Dulu, Sari menganggap Lani adalah teman yang bisa saling mendukung. Kini … ia hampir tak mengenali sosok itu lagi. (*)
Fitri Junita, seorang penulis yang berdomisili di Kota Padang. Penulis yang sudah memiliki dua buku solo dan puluhan antologi ini, lebih menyukai perannya di dunia literasi di balik layar sebagai proofreader di D’Best Publishing, editor, dan ghost writer. Ia bisa dihubungi lewat E-mail: v3.junita@gmail.com
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: pixabay
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata