Burung Pipit (Terbaik ke-8 LCL)

Burung Pipit (Terbaik ke-8 LCL)

Burung Pipit
Oleh: Ksiti Hanna
Pilihan Gambar: Gambar 6
Terbaik ke-8 Lomba Cermin Lokit
#Menerjemahkan_Gambar

 

“Bang, itu, tuh!” seru El, menunjuk ke langit.

“Mana? Batunya mana?” tanya Al, menyodorkan telapak tangannya dengan wajah masih mendongak menatap langit.

“Ini, Bang,” jawab Dul, menyerahkan batu sebesar telapak tangan.

“Aiiih! Besar kali!” seru Al, langsung berjongkok mengambil batu kerikil setelah membuang batu sebesar telapak tangan tadi. Ia kembali mengarahkan ketapelnya sambil melangkah hingga berlari.

Ketiga anak itu berlari-lari sambil melihat ke langit, mengejar burung yang terbang rendah. Terik cahaya matahari menerpa wajah-wajah kecilnya yang telah mandi keringat. Namun, tidak ada kata lelah bagi mereka.

“Itu, Bang!” tunjuk El dengan napas mulai tersengal.

Al bersiap mengarahkan ketapel dengan batu kerikil sebagai pelurunya. Ia menargetkan seekor burung pipit sebagai buruan mereka, tetapi meleset. Batu itu tidak sampai mengenai si burung yang terbang begitu cepat.

“Aaah, Abang payah!” celetuk Dul dengan mimik memberengut. Sementara tangan kecilnya mengusap peluh.

“Apa payah-payah? Coba kau yang lempar pasti tak bisa pulak!” Al membuang ketapelnya ke tanah dengan wajah masam. Kemudian, ia berjalan mendekati pohon mangga yang berbuah lebat. “Tengoklah, banyak kali buahnya, oi!”

Kedua adiknya yang masih menatap langit untuk mengincar burung, segera menoleh ke arah abang mereka. “Mana, mana?” Keduanya berlari, saling susul-menyusul agar tiba di dekat pohon terlebih dahulu. “Mana buahnya, Bang?”

“Tengoklah. Ayo, kita ambil satu buah!” Al mengira-ngira ketinggian buah yang sanggup ia jangkau dengan ketapel. Burung tak dapat, mangga pun jadi, begitu pikirnya. “Kemanakan ketapel tadi, woi?”

“Di sana tadi, Bang,” jawab Dul menunjuk ke arah padang rumput sambil matanya terus memandangi mangga ranum di atas kepalanya.

“Ah, bodoh kali kau! Kenapa tak kau bawa?” Al berbalik ke arah padang rumput luas. Ia mencari ketapel yang dibuangnya tadi ke tanah. “Ketemu!”

Ketapel itu tertutup rumput-rumput yang cukup tinggi. Biasanya peternak kambing atau kerbau membiarkan ternak mereka merumput di padang tersebut. Kala sore hari, anak-anak akan bermain layangan di sana bila musim angin tiba. Sementara Al, El, dan Dul tidak pernah main layangan bersama anak-anak yang lainnya.

Ketiga anak itu merupakan anak penggembala kambing. Bapak mereka hanya buruh, membantu pemilik ternak untuk merumput. Mereka membantu menjaga kambing-kambing di pagi hari, sementara bapak mereka memandikan kerbau di kali.

Usai merumput, bapak mereka mengembalikan ternak ke kandangnya, sementara ketiga anaknya masih bermain-main di padang rumput hingga senja menjemput. Seperti siang itu, mereka asyik memandangi pohon mangga yang lebat buahnya.

“Panjatlah, Bang!” seru El, membuat Al sedikit gusar.

“Kenapa bukan kau saja sana!”

“Aku mau naik, Bang.” Justru Dul yang menawarkan diri dengan mata bulatnya yang berbinar-binar.

“Eit, jangan!” Al dan El berteriak dengan wajah antara takut dan cemas. Bisa gawat kalau bapak mereka tahu kalau sampai Dul terjatuh. Rotan akan mendarat di kaki mereka.

“Biar kuketapel buah itu, ambilkan batu, El!”

“Siap, Bang!” seru El sambil mengambil sikap hormat ala tentara.

El mengambil beberapa buah kerikil di tanah. Kemudian, ia menyerahkan satu kepada Al. Al menerima tanpa melihat ke mana-mana lagi, ia hanya fokus pada targetnya.

Ketapel diarahkannya ke arah buah yang menggantung paling dekat. Dengan mata memicing, Al fokus hendak menembak.

Buk! Satu buah mangga terkena batu, terdengar suara mangga jatuh diiringi sorak-sorai Dul. Padang rumput yang sepi menjadi ramai karena suara cemprengnya.

“Abang, keren! Horeee, aku makan mangga!” Dul jingkrak-jingkrak dan berlari memutari Al.

Al nyengir tatkala melihat rona bahagia dari adik bungsunya tersebut. Sementara El mengambilkan buah yang jatuh tadi. Ia mengangkat tinggi-tinggi buah itu sambil memamerkan giginya yang berderet rapi.

“Ayo, kita makan mangga bertiga!” seru El dengan antusias.

Mereka duduk di bawah rindangnya pohon mangga. Al menggigit kulit mangganya, kemudian mengupasnya. Ia mahir mengupas buah tanpa pisau. Setelah kulit terkupas sempurna, secara bergantian, mereka menggigit mangga yang matang dari pohonnya itu. Rasanya begitu manis, dan berbau harum. Usai menghabiskan mangga, Dul berbaring di tanah. Ia memandangi rindangnya dedaunan pohon mangga yang menaungi mereka. Tak lama terlihat seekor burung Pipit terbang di antara dedaunan itu. Dul langsung bangkit, tangannya teracung ke atas. Kedua abangnya mengikuti arah tangan Dul, mereka melihat sarang burung pipit di salah satu dahannya. Al langsung berdiri sambil menggenggam erat ketapel dan batu kerikil. El turut berdiri memandangi ke arah yang sama dengan kedua saudaranya.

“Apa ada telur burung di sana?” tanya El seraya memicing.

“Tak tahulah, kau mau tengok?” sahut Al.

“Aku mau tengok, Bang!” teriak Dul sambil melompat-lompat.

“Tinggi kali. Aku tak berani, Bang.” El bimbang, wajahnya menyiratkan keengganan.

“Biar aku ketapel saja!” Al mengarahkan ketapelnya lagi. Ia memicing agar bisa melihat lebih fokus targetnya.

Batu kerikil terlontar tepat mengenai pinggir sarang burung. Sarang tersebut jatuh beserta isi di dalamnya. Dul bersiap menengadahkan tangan sambil sedikit membungkuk untuk menangkap sarangnya. Dul berhasil menangkapnya. Ketika ia melihat ke dalam sarang, ada tiga ekor burung kecil yang baru menetas. “Tengok, Bang. Tak ada telur di sini!”

Al dan El menghampiri adiknya. “Wah, iya, ini anak burung.”

“Kasihanlah, Bang.” Dul merajuk, meminta kedua abangnya untuk mengembalikan sarang ke atas pohon.

Al dan El hanya bisa garuk-garuk kepala yang tak gatal.

Majalengka, 21 September 2022

Ksiti Hanna, ibu dari dua orang anak perempuan yang cantik. Ingin menjadi penulis fantasi Indonesia. Bisa dihubungi melalui FB Ksiti Hanna, Ig @Ksiti_Hanna, email. Ksitihanna0@gmail.com.

Komentar juri, Lutfi Rosidah:

Seru, satu kata yang menggambarkan petualangan ketiga bocah dalam cerpen ini. Ksiti menyajikan kepolosan anak-anak yang sering membuat keputusan berubah-ubah, terasa natural dan apa adanya. Lalu cerita ini ditutup dengan ending yang apa adanya. Khas anak-anak. Dan sikap Dul yang mudah berubah, memberi pesan yang kuat bagaimana seorang anak selalu memiliki hati yang tulus.

Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami

Leave a Reply