Buram
Oleh : Dhilaziya
Sundari paling takut jika harus melewati rumah itu. Bangunan besar yang paling bagus di kampungnya. Sebenarnya, seperti juga semua penduduk desa Wonorejo, Sundari mengagumi dan ingin tahu isi rumah megah milik Pak Dayat. Sayang, baru berpikir harus melintasinya saja sudah membuat perut gadis belia berkulit langsat itu mulas.
Tidak ada jalan lain untuk bisa mencapai rumah Desta, dia harus melintas di samping rumah Pak Dayat. Teman sekelas Sundari yang paling pintar itu tinggal persis di belakang rumah Pak Dayat. Maka Sundari, bocah perempuan sembilan tahun itu segera mengambil ancang-ancang. Dia harus berlari sekencang mungkin.
“Hayo! Hayo! Mau kemana? Hayo!”
Musnah. Lenyap sudah harapan Sundari bisa lolos dari hardikan Pak Dayat. Selalu seperti itu, setiap kali lelaki berkumis lebat itu memergoki Sundari berada di sekitar rumahnya. Mulutnya berteriak menggebah, kaki dientakkan dengan tangan dipukul-dipukulkan ke pahanya sendiri. Sebuah isyarat bahwa dia tak menghendaki melihat Sundari.
Gadis berambut ekor kuda itu berlari tanpa menoleh, tidak berani lebih tepatnya. Dia yakin, mata Pak Dayat sedang memelototinya. Bola matanya yang besar itu menjadi semakin besar, membuatnya seolah berkata bisa menelannya sekali santap.
Mengerikan!
Meskipun ada banyak hal lain yang bisa membuat Sundari takut, tapi Pak Dayat adalah monster mengerikan. Celakanya, dia sungguh tidak berdaya menghadapi alasan mengapa tuan tanah yang amat dihormati warga kampung mereka itu bisa amat membencinya. Sundari amat lega ketika akhirnya memasuki rumah Desta.
“Main apa kita?”
Desta menanyai Sundari yang belum selesai minum. Dada gadis yang masih terengah selepas berlari itu turun naik dengan cepat. Gerakan itu menghalanginya segera mengosongkan gelas, sebab akan membuatnya tersedak. Desta sudah hafal dengan situasi Sundari, sehingga selalu segera memberi minum setiap kali temannya datang dengan cara seperti tadi. Berlari kencang sampai kedua pipinya seolah berlompatan sambil mengangkat roknya tinggi-tinggi.
“Masak-masakan aja, yuk. Aku punya jantung pisang, yang muda sudah dimasak emak. Kulit luarnya kita pakai buat daging. Jualan bakso kita.”
Desta menjawab pertanyaannya sendiri. Gadis kecil yang tampak manis memakai bando merah muda itu mengoceh, sambil menatap Sundari yang masih berjuang menetralkan nafas.
“Iya. Mi-nya kita cari di pekarangan kosong Mbah Kromo aja. Banyak merambat di pagar teh-tehannya. Sekalian manggil teman biar rame.”
“Baksonya kerikil atau beluluk.”
“Kegedean kalo beluluk kelapa biasa. Kelapa puyuh yang beluluknya kecil-kecil. Adanya di halaman Mbak Haji.”
“Ya. Nanti kita sekalian ke sana. Kan deket rumah Tiwik. Ajak main sekalian.”
Puas dengan rencana mereka, kedua gadis itu berangkat. Berpamitan dengan orangtua Desta yang seperti biasa berpesan agar mereka berhati-hati. Takut anak-anak itu menginjak pecahan beling atau bertemu ular, hal yang lumrah ditemui di kebon kosong.
***
Selembar pelepah daun pisang sudah digelar. Di atasnya berjejer berbagai macam barang yang oleh Desta dan temannya dianggap sajian bakso lengkap. Sundari berperan menjadi penjual bersama Desta. Sementara empat anak lain menjadi pembeli dan penjual es.
Memegang sebuah batok kelapa berbentuk setengah bola, di mana buahnya telah digunakan untuk membuat santan, Sundari tampak sibuk. Jemarinya meracik mi, rajangan daun entah bunga apa, menambahkan tiga butir beluluk, lalu menyiramnya dengan air. Kemudian sambil tersenyum ramah menyodorkan kepada Dian, pembelinya.
“Bocah jadah!”
Sebuah raungan yang segera saja menghantarkan keheningan. Sunyi tiba-tiba seolah mencekik semua anak yang tengah menikmati dunianya.
Seorang perempuan setengah baya, dengan rambut yang sebagian telah berubah warna dan awut-awutan sebab ikatannya longgar, menghardik. Bukan kepada mereka semua, suara kerasnya ditujukan pada Sundari semata. Semua maklum karena telah terbiasa. Meski bocah-bocah itu tidak sepenuhnya mengerti, arti kata yang selalu dilontarkan kepada temannya.
“Pulang sana! Bocah haram. Anak jadah. Jangan bermain dengan anak-anak ini. Nanti mereka ketularan kotor kayak kamu. Bisa-bisa mereka semua bernasib sial! Pergi!”
Yu Kesih, begitu perempuan itu bernama, terus mengumpat. Dengan langkah lebar dia mendekat. Telunjuknya menuding lantas digunakan mendorong kening Sundari hingga bocah itu nyaris terjengkang.
Tanpa perlu diulang, dengan penuh ketakutan Sundari bangkit lantas kembali berlari, kali ini menuju rumahnya. Air matanya berderaian, malu yang ditanggungnya sebesar ngeri yang dirasa. Terlebih bukan sekali-dua kali dia mengalami hal serupa. Yu Kesih, seperti Pak Dayat, amat membencinya. Kapan pun mereka tidak sengaja bertemu, dunia seolah berubah menjadi neraka bagi Sundari.
Yu Kesih, selalu mengatakan hal yang sama. Anak jadah. Bocah haram. Bahkan di tempat ramai sekali pun, saat mereka berpapasan di warung atau pasar, perempuan itu selalu mendesiskan kata makian yang sama. Awalnya Sundari tak memahami makna kata itu, sampai Desta memberitahunya.
Makian, umpatan atau sekadar tatapan tak suka adalah bagian keseharian Sundari. Bagi orang di kampungnya, dia adalah aib. Noda hitam bagi kehidupan yang harus dijauhi. Tak sedikit anak-anak yang ikut mencacinya, mengikuti orangtuanya. Itu sebabnya Sundari tak punya banyak kawan. Hanya Desta sahabatnya. Kebetulan ibu mereka berteman sejak kanak-kanak.
Sundari menendang pintu rumahnya dengan keras. Sambil meraung keras menyuarakan tangis, gadis itu terus berlari memasuki kamar, lantas menjatuhkan diri di atas ranjang. Tengkurap menyurukkan kepalanya ke bantal.
“Kenapa? Bertengkar sama teman-teman? Wong pulang main kok malah nangis. Main kan harusnya seneng.”
Lembut tangan Asih, membelai rambut Sundari. Meski perempuan itu sudah bisa menerka apa yang terjadi, dia seringkali mencoba mengalihkan persoalan.
Sundari tidak menjawab. Masih tangis yang memenuhi kamar. Asih menggigit bibir, berusaha menahan agar air matanya tidak ikut mengalir.
Tiba-tiba Sundari bangun. Duduk dengan tegas menghadap ibunya yang terkejut.
“Kenapa cuma aku yang disebut anak haram? Anak jadah? Tiwik juga nggak punya bapak! Sama kayak aku!”
“Bapaknya Tiwik meninggal. Ingat, kan? Waktu kalian masih kelas satu.”
“Terus kenapa aku nggak punya bapak? Aku malu, Mak! Setiap hari diejek orang!”
“Kamu punya bapak, Ndari. Semua orang punya bapak.”
“Mana? Siapa? Nggak apa-apa kalau bapakku sudah mati. Kasih tahu aku, siapa bapakku. Biar aku nggak dihina lagi, Maaakkk!”
Sundari melolong. Deritanya nyaris tak tertanggung lagi. Asih meraih buah hatinya, berusaha merengkuhnya dalam pelukan. Namun, kali ini Sundari menolak. Badannya mengejang bertahan dari tarikan tangan ibunya.
“Aku mau punya bapak! Aku mau lihat bapak! Aku mau kayak orang-orang. Mana fotonya? Mana foto bapakku, Mak?”
Sekarang Asih yang tersungkur menutup wajahnya dengan bantal. Meredam raungan yang bisa jadi lebih keras dan lebih menyakitkan dari Sundari. Meratapi luka, yang tak bisa dibagi dengan siapa jua.
Seperti biasa, jika menyaksikan ibunya menangis, Sundari kalah. Dia tak punya siapa pun di dunia ini. Gadis belia itu hanya punya Asih, pusaran hidup satu-satunya. Kali ini dia membiarkan tangan sang ibu meraihnya, mendekapnya di dada, berbagi lara.
***
Sundari sudah terlelap usai puas melahap bakso yang mereka beli di ujung kampung. Sejak kejadian siang tadi, gadis bermata bulat itu tidak mau keluar rumah. Tidak mau makan, meski ibunya terus merayu. Aksi ngambeknya luluh setelah Asih menawarinya bakso dan es campur.
Asih membenarkan selimut yang mendekap tubuh kurus putrinya sebelum keluar menemui seseorang di dapur. Ayah Sundari datang.
“Aku sudah nggak kuat, Pak. Biar aku dan Sundari pergi. Kasihan Ndari seperti ini. Temanku menawari kerja di rumah bosnya, jadi pembantu juga. Sundari boleh kubawa katanya.”
Laki-laki di depannya tidak menjawab. Tetap asik dengan rokok yang dihisapnya dalam-dalam. Memenuhi ruangan dengan aroma kretek yang ikut dihidu Asih.
“Nggak usah. Aku bisa membiayai kalian. Kalian nggak pernah kekurangan, kan? Soal Kesih, nanti aku bilang Bejo, suaminya. Paling nggak punya uang.”
“Bilang padanya nggak usah nganggu Ndari.”
“Biarkan saja. Dia marah karena mengira Bejo adalah bapaknya Sundari.”
“Aku ndak tega liat Sundari begitu. Kasihan dia.”
“Aku juga kasihan. Nanti kalau sudah gede, biar sekolah di kota. Sementara sabar dulu, jaga dia baik-baik.”
“Njur nasibku gimana?”
“Ya nggak piye-piye. Seperti biasa, kamu kuurus. Aku tanggung jawab mbiayai Ndari. Yang penting jaga rahasia. Jangan sampai ada yang tahu kalau Ndari anakku. Bisa hancur semua. Istriku ngamuk, habis semua hartaku. Kita mau makan apa? Biar saja orang mengira kamu sama Bejo.”
Pembicaraan yang selalu berulang setiap kali Asih mengadu kepada Pak Dayat. Pria yang mengaku mencintai juga dicintainya, ayah Sundari.[]
#DZ. 25012021.
Dhilaziya, Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata