Bunyi Suara

Bunyi Suara

Bunyi Suara

Oleh    : Ning Kurniati

Bunyi klakson yang didominasi oleh kendaraan roda dua terdengar begitu nyaring, seolah berlomba unjuk kelengkingan. Jam lima sore, semua mahasiswa beranjak untuk kembali ke indekos atau ke rumah. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing tidak saling memedulikan, kecuali mata saling bertemu dengan orang yang dikenal. Beberapa akan memilih untuk bersapaan sebentar. Selebihnya memilih hanya melempar senyum. Begitu juga aku, tidak jauh berbeda dengan yang lain.

“Apa kamu begitu sibuk?” ucap sebuah suara di shubuh tadi, sesaat sebelum kesadaranku benar-benar pulih dari tidur yang hanya empat jam, kurang lebih.

Suara itu terbesit begitu saja. Menyembul di pikiran ketika aku mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Kedengarannya nyata, tetapi aku tinggal sendiri di kamar itu. Suara tetangga, tidak mungkin. Aku hafal betul bagaimana jenis suaranya. Itu bukan dia, bukan pula di sampingnya dan di sampingnya lagi, bukan pula bapak keamanan.

Mendadak aku menjadi khawatir, tadi pagi sama sekali tidak acuh akibat berlekas-lekas. Sekarang malah … tetapi tidak mungkin juga ada makhluk halus yang bisa bersuara senyata itu. Pikiran seperti ini harus terusir. Mendatangi tukang siomai di depan asrama bukan pilihan yang buruk. Paduan saus kacang dengan saus cabe akan terasa menggigit di lidah setelah seharian dijejali materi.

***

Pertengahan sampai akhir semester adalah keadaan dimana waktu untuk bernapas dengan tenang saja terasa sulit. Bukan disebabkan oksigen di kotaku yang semakin menipis karena kurangnya pepohonan atau kebakaran hutan, bukan pula karena jumlah manusia yang terlalu banyak, tak lebih karena berleha-leha barang sejenak saja tidak bisa. Jangankan berleha-leha, tidur dengan nyenyak adalah sebuah anugerah yang tak terkira. Aku tidak melebih-lebihkan, tidak! Sebagai seorang yang bergelut dengan jadwal kuliah yang padat dan berbanding lurus dengan jadwal lab, seperti itulah keadaanya. Terlebih di sela-sela itu semua, kami mesti mampu mengatur jadwal asistensi dengan para asisten dosen, mencari sampel untuk bahan praktikum, dan tentu saja meluangkan waktu untuk berorganisasi baik tingkat departemen maupun fakultas. Ini tidak lebih melelahkan dari jadwal kewajiban sebab keberadaan kami di dalam kampus.

“Hei, Jum!”

“Oh, hei! Dari kuliah?”

“Yah, sudah dapat pesan kalau kamu dimasukkan ke dalam panitia BLT Basic Leadership Training? Semacam latihan kepemimpinan yang dikhususkan untuk para muslimah.”

“Oh, ya. Aku belum lihat pesannya. Nanti aku cek.”

“Musyawarahnya besok. Pastikan kau tidak lupa.”

“Sepertinya aku tidak bisa. Maksudku bukan hanya untuk musyawarah besok, tapi juga untuk menjadi panitia.”

Arina menghela napas, lalu mengangguk. “Ya, sudah! Secepatnya laporkan. Mmm …semoga dimudahkan, jangan lupa baca Qur’an, jangan sekali-kali tinggalkan solat! Aku tahu kamu begitu sibuk, tapi ….”

“Terima kasih, semoga dimudahkan juga urusannya.”

Aku melangkah masuk ke area asrama, meninggalkan Arina yang masih mengantri membeli makanan andalan oleh kebanyakan mahasiswa untuk mengganjal perut. Nasihatnya barusan menjadi tamparan untukku, rasanya seperti sedang dipergoki makan ketika puasa di masa kecil dahulu. Aku tidak ingat kapan membuka kitab suci dan membacanya. Aku tidak ingat kapan terkahir muhasabah, mengoreksi diri sendiri. Waktu bergulir tanpa menjeda. Memangnya siapa juga yang mampu menjeda. Ini kehidupan nyata bukan cerita fantasi.

Asramaku terdiri atas beberapa gedung. Setiap gedung dibedakan berdasarkan kode abjad yang masing-masing terdiri atas tiga lantai. Kamarku sendiri berada di lantai satu. Kamar pertama yang berdampingan dengan kamar mandi. Kamar yang oleh sebagian orang tidak akan menjadi pilihannya karena alasan berdekatan dengan kamar mandi. Aku kira tidak ada yang salah dengan hal ini. Dan terbukti selama ini memang tidak pernah terjadi apa-apa, kecuali tadi pagi itu.

Langkahku pelan—selayaknya langkah orang yang kelelahan—menuju kamar sampai ketika terdengar suara yang berdebat dari dalam. Aku terhenyak. Seperti suara bisik-bisik. Masih terus mendengar, pelan-pelan aku merogoh kunci dari dalam tas. Memasukkan ke dalam lubang kunci di pintu dan memutarnya dua kali. Namun, ketika pintu kubuka bersamaan suara itu pun menghilang. Tak ada siapa pun dan tidak ada apa-apa. Semua benda masih seperti tadi pagi.

Tidak mau mengambil pusing, aku memilih menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Segala sesuatu yang buruk harus luruh bersama air. Air yang pada waktu-waktu tertentu berbau kaporit. Agaknya hal itu tidak menjadi masalah bagi para penghuni asrama, asal tidak menimbulkan efek berarti pada kulit. Tidak ada tempat yang lebih baik dari ini, setidaknya. Tentu saja, itu adalah sebuah pembenaran-pembenaran kecil yang kulakukan dan tentu saja ada tempat di luar sana yang lebih dari pada ini. Jadi, mungkingkah selain kondisi air yang membuat mereka keluar atau karena suara seperti yang kudengar barusan?

Lekas-lekas aku mengakhiri membersihkan diri. Berada dalam ruangan sempit ini membuat pikiran dipenuhi hal yang tidak-tidak. Aku tidak mau kepalaku dipenuhi racauan-racauan yang ganjil. Mendekat ke pintu, lagi terdengar bunyi suara. Tetangga sebelah kamarku belum kembali, begitu juga yang disampingnya. Sebuah kebetulan semua tetanggaku aktivis kampus yang waktunya lebih banyak habis di luaran ketimbang di indekos. Suara-suara itu semakin membesar, saling menyela. Perlahan aku merapatkan telinga di pintu dan terdengarlah sebuah percakapan.

“Dia hanya sibuk untuk beberapa bulan saja. harusnya kamu maklum!”

“Kenapa harus maklum! Aku itu kitab sucinya. Tidak seharusnya dia memperlakukanku seperti ini. Percuma dong dia beragama, memercayai Tuhan kalau tidak membaca aku. Aku itu kumpulan perkataan Tuhannya. Aku itu pedoman hidup. Ya, masa pedoman tidak sering dibuka. Toh, masalah datang bergantian tiap hari. Lalu, bagaimana dia menyelesaikan? Apa membacamu dia akan mendapat solusi?”

“Jadi, menurutmu aku ini bacaan yang buruk, tidak berguna sama sekali?”

“Bukan, bukan begitu maksudku! Maksudku bila dia memiliki waktu untuk membacamu, harusnya juga aku begitu. Bahkan, mesti lebih. Di akhirat kelak akulah yang akan memberinya syafaat. Sedangkan kamu, kamu hanyalah kumpulan teori yang akan berguna bila digunakan pada jalan kebaikan, untuk kebaikan manusia juga alam. Lebih dari itu, apa? Dan tujuan penciptaannya bukan mengejar gelar, melainkan beribadah pada Tuhannya.”

“Jumrianiii!” Mendadak aku tersentak.

“I-iya, Kak. Kenapa?”

“Kamu mengkhayal, ya?” Aku menelan ludah. Duh, ketahuan. “Masa satu pun klasifikasi dari tumbuhan itu belum ada? Nama marga, spesies?” Asisten itu mengangkat kertas jawabanku. Alisnya berkerut, lalu beralih menatap nyalang.

“Mmm, iya, Kak. Aku tahu.” Perlahan kertas jawaban tersebut kutarik dari tangannya. Tak lupa cengengesan dengan senyum seolah sedang mengiklankan pasta gigi. Dia menatapku sebentar, lalu membiarkan kertas itu lepas setelah dia tahan ujungnya. Untung, kertas itu tidak segera dibawa ke depan. Seadainya iya, nilaiku tamat di bawah nilai standar.

Lelah-lelah begini, hal yang tidak-tidak mudah sekali merasuk di pikiran. Kitab berdebat dengan buku-bukuku, ada-ada saja. Hal-hal seperti itu tidak akan pernah terjadi. Tapi, memang sudah lama sekali aku tidak membuka kitabku apalagi membacanya, lebih-lebih mengahafal, murojaah. Kadang-kadang aku berpikir lebih baik menjadi seorang penulis atau sutradara, sehingga bisa mengatur adegan sekehendakku.

“Juuum!”

Bulukumba, 14 Agustus 2019

Ning Kurniati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah setiap harinya. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply