Bungkusan Sutra Kuning (Terbaik ke-12 TL16)

Bungkusan Sutra Kuning (Terbaik ke-12 TL16)

Bungkusan Sutra Kuning
Oleh : Uzwah Anna
Terbaik ke-12 TL16

 

Badai salju tak menyurutkan minat orang-orang untuk datang ke pelataran istana. Dengan mengeratkan mantel dari bulu domba ke tubuh dan mengikat kain penutup yang menyelubungi sebagian besar kepala, meraka berduyun-duyun dan merapatkan diri ke sana setelah mendapat kabar bahwa pasukan pembasmi pemberontakan telah tiba dengan berkantung-kantung karung berisi potongan kepala orang-orang yang berniat menggulingkan kekuasaan sah Raja Alfreth. Pemberontakan ditengarai oleh ketidakpuasan beberapa ksatria dan pejabat istana pada keputusan raja yang berniat mengangkat menantunya untuk meneruskan estafet kepemimpinannya kelak. Mereka menganggap bahwa menantu Alfreth tidak kompeten dan justru sering berbuat onar. Lagi pula, ada yang lebih berhak menjadi putra mahkota dan memimpin rakyat Clapa jika nanti Alfreth turun tahta, yaitu putra bungsunya, Eric.

Para pendukung Eric seakan bisa menerawang bahwa Kerajaan Clapa akan jauh lebih sejahtera di bawah pimpinannya. Dia sudah banyak melahap pengalaman di lapangan. Tak hanya ongkang-ongkang di dalam hangatnya istana, pria bertubuh tinggi tegap layaknya sebagian besar prajurit ini telah sering terjun dan mendapat banyak luka dalam bengisnya peperangan. Meski belum sematang Alfreth, karena usianya bisa dibilang masih cukup muda, tetapi Eric paham berpolitik, membuat kesepakatan, dan mengelola sebuah wilayah sebesar Clapa. Tak terhitung lagi sudah berapa banyak kerajaan-kerajaan kecil yang takluk dan memilih bergabung dengan Clapa karena invasi yang dilakukan oleh pria berjuluk “Sang Penakluk” itu, baik dengan mengangkat pedang maupun diplomasi budaya dan pendidikan. Eric merupakan satu-satunya orang yang bisa diandalkan untuk mengurus Clapa di masa depan, menurut para pengikut setianya. Tetapi tidak menurut penasihat raja beserta kroni-kroninya. Mereka menolak Eric karena pria itu terlahir dari rahim seorang selir, bukan permaisuri yang dalam dirinya mengalir darah dari raja-raja. Menurut pendapat dari pihak yang mendukung menantu Alfreth, hanya orang-orang yang lahir dari rahim permaisuri yang berhak meneruskan tahta. Dan kebetulan menantu Alfreth merupakan putra permaisuri dari Kerajaan Glasir. Mereka lebih mengutamakan garis keturunan daripada kecakapan dalam memimpin.

Seperti sebuah pagar, kepala-kepala pemberontak itu ditusukkan pada sebuah garpu besi yang ditancapkan di depan istana, berderet-deret. Helaian rambut mereka yang panjang, tergerai tak keruan hingga menutupi wajahnya dan lengket oleh darah, melambai-lambai tertiup angin yang disertai butiran salju. Beberapa pria tua tersedu-sedan meratapi kepala putranya terpancang di sana. Wanita-wanita tua histeris hingga tubuhnya terjatuh ke tumpukan salju. Mereka menepuk-nepuk dada, meracau, meminta putranya pulang untuk makan malam sekaligus mengutuk penjagal putranya. Sementara wanita-wanita muda langsung menutup mata anak-anaknya, menggendong, dan pergi menjauh disertai isak tangis setelah mengetahui suaminya mati terpenggal.

Brida berjalan pelan sembari mengamati satu per satu wajah-wajah dengan seringai yang berbeda-beda, seringai yang tertinggal ketika nyawa tercabut paksa. Beberapa kali dia harus menelan liur serta menundukkan wajah ketika menemukan dan mengenali kepala dari orang-orang yang dikenalnya. Perempuan itu menggenggam erat kalung salib di dadanya, menguatkan diri dan berharap bahwa dia tak akan menemukan kepala kekasihya di sana. Sebenarnya Brida sudah tidak tahan dengan aroma anyir darah yang menetes dari potongan-potongan tubuh itu. Si Jelita itu memejam sembari menahan mual. Dia mengutuk musim dingin yang tak mampu membekukan cairan merah itu dan gagal meredam baunya. Meski sesak, setidaknya Brida masih mampu bernapas karena sampai deretan kepala kesekian dia belum menemukan kekasihnya. Atau mungkin saja kepala kekasihnya sudah terlewat karena Brida kurang awas dalam mengamati, penglihatannya sedari tadi telah tergenang air mata. Bisa jadi.

Tinggal beberapa kepala lagi yang mesti perempuan itu amati. Makin ke ujung, dadanya makin berdebar. Langkahnya kian memberat. Dia limbung ketika pundaknya tersenggol oleh pria tua yang berusaha memapah istrinya yang histeris untuk kembali ke rumah. Pria tua itu menunduk sebagai permintaan maaf. Brida juga menunduk sebagai respek. Tepat di urutan kepala nomor tiga dari ujung, langkahnya terhenti. Dia tidak lagi menatap kepala yang berada di hadapannya. Tetapi langsung fokus pada kepala di bagian paling ujung. Dadanya berdesir. Dia berharap bahwa penglihatannya salah.

Meski seluruh wajahnya tertutup oleh rambut yang menjutai ke depan, tetapi Brida tentu sangat mengenalnya. Tatapannya tak mungkin dusta. Kepala itu merupakan milik kekasihnya. Lututnya lemas seketika. Dia jatuh terduduk sembari merapal kata, “tidak mungkin”, dan menolak kebenaran di depan mata. Kini tangannya tak lagi menggenggam salib. Tetapi meremas salju dan meninjunya berkali-kali. Melampiaskan kebengesin takdir pada dirinya dan kekasihnya.

Air matanya menetes lebih banyak dari pada butiran salju.

Desau angin musim dingin yang menyelusup di antara ranting pepohonan mengingatkan Brida pada malam terakhir ketika dirinya dan kekasihnya saling bertelanjang bulat di atas sebuah kasur. Keduanya saling menukar posisi, menikmati desir-desir asmara yang menjalari seluruh tubuh. Lantas mereka terkapar kelelahan. Sang kekasih menjulurkan lengan kirinya untuk dijadikan bantal oleh perempuan itu. Sementara lengan kanannya menelusuri seluruh tubuh Brida, hingga terhenti pada dua buah dadanya yang busung, meremas, serta memilin-milin putingnya. Pria itu juga menggigit nakal telinga Brida. Membuat perempuan itu menggeliat layaknya cacing terjemur matahari.

“Eric ….”

“Ehm?”

Brida menggenggam erat tangan Eric yang dijadikan bantal lantas menciuminya berkali-kali. “Tidakkah kau merasa bahwa kau berjalan terlalu jauh, kau sudah melewati batas?”

“Oh, ayolah, Brida. Kali ini aku hanya ingin menghabiskan malam denganmu. Tolong jangan merusak suasana.”

Brida terduduk dan berbalik menatap putra bungsu Alfreth itu. “Tapi aku tak bisa membiarkanmu mati, Eric. Kau bisa meminta pengampunan pada Raja Alfreth. Kau putranya.”

Eric menarik kembali Brida ke dalam rengkuhannya, mengunci gerakan perempuan itu sehingga dia tak bisa berkutik dan menyerah. “Diamlah. Aku tak ingin membicarakan hal ini.”

“Eric, aku mengkhawatirkanmu?”

“Aku tahu”

“Lantas?”

Eric menghela napas. “Jalan sudah telanjur terbuka.”

“Kau bisa berbalik dan kembali. Mintalah pengampunan pada ayahmu.”

Eric melepas rengkuhannya. Dia terduduk frustrasi. Muak dengan kalimat yang entah sudah berapa kali diucapkan oleh Brida.

Brida menangkupkan sepasang tangan pada wajah kekasihnya dan menatap lekat mata Eric. Suaranya melembut, “Aku tak ingin dunia menyematkan kata pemberontak dan durhaka padamu. Aku tak rela. Sungguh, aku tak rela.”

Tatapan Eric yang sebelumnya penuh amarah, kini turut melembut.

“Kumohon, sebelum semuanya makin rumit, mintalah pengampunan pada raja. Jika raja tak mengampuni dan membuangmu, kita tinggalkan tempat ini. Bawa ibumu sekalian,” pinta Brida sembari mencium tangan Eric. Ketulusan terpancar jelas di matanya. “Eric, tolong, berhentilah sampai di sini.”

Eric menggeleng. “Tidak Brida. Aku tak bisa berhenti sebelum semuanya selesai.”

“Karena kekuasaan?”

“Bukan sekadar kekuasaan. Tetapi lebih dari itu, ini masalah harga diri, karena aku putra dari selir, aku selalu diijak-injak. Aku juga tak bisa meninggalkan orang-orang yang loyal padaku. Demi sumpah setianya padaku, mereka rela meninggalkan keluarganya. Jadi bagaimana bisa aku pergi begitu saja?”

“Eric, pasukan kerajaan jumlahnya jauh lebih besar daripada prajuritmu. Kau dan orang-orangmu bisa mati. Pikirkan itu!”

“Jika takdirnya begitu, setidaknya kami akan mati sebagai kesatria di medan laga sembari menggenggam pedang. Bukan sebagai pecundang yang meminta pengampunan raja.”

Brida mendengkus kesal, membuang muka. “Jadi kau lebih memilih orang-orangmu daripada aku?”

Eric mencium pundak Brida.

“Kau tidak bisa membandingkan dirimu dengan orang-orangku, Sayang. Kalian dua hal yang berbeda.” Eric menggamit dagu kekasihnya dan akan segera melumatnya. Tetapi Brida menolak.

“Tapi kau lebih memilih mereka.”

“Bagiku kau bukan pilihan. Tapi ketetapan. Kau takdirku.”

Brida mengembus napas panjang. Luluh.

“Eric, bawa aku ke medan laga.” Eric mengangkat alis, dahinya berkerut. “Aku pernah belajar ilmu pedang. Aku bisa mengangkat pedang dan memegang perisai.”

“Kau memang bisa mengangkat pedang, tapi yang kutahu pedang itu bukan untuk membunuh musuh, melainkan mengupas apel. Sementara perisai … aku tak rela perisaiku kau jadikan landasan untuk memotong sayur.” Eric mendekatkan bibirnya pada telinga Brida. “Harga sebuah perisai lebih mahal daripada telanan.”

Brida melotot. Dia kesal karena di saat serius seperti itu Eric menanggapinya dengan candaan. Dia melempar sebuah pukulan pada dada bidang pria itu. Eric mengaduh manja, puas menggoda kekasihnya. Dia menatap lekat wajah Brida yang berusaha membuang pandang darinya. Hingga pada akhirnya Brida turut tersenyum meski tetap kesal. Pria itu kembali merebahkan Brida, mengulurkan lengannya sebagai bantal.

“Kelak, sekembalinya dari peperangan, aku akan mengajakmu ke altar dan menikahimu. Kau akan jadi ratuku. Ratu Kerajaan Clapa yang dipimpin oleh Raja Agung Eric Haliq.”

Angin kembali mendesau. Menggoyangkan api pada beberapa obor yang digunakan sebagai penerangan pada malam berdarah itu. Juga menggerakkan helaian rambut pada potongan kepala Eric yang terpancang pada sebuah garpu besi. Brida tergugu tanpa suara mengingat kenangan terakhir bersama kekasihnya. Kenangan yang sangat manis tetapi berbanding terbalik dengan kenyataan di depan mata saat ini. Miris.

Segerombolan orang berjalan mendekat. Brida segera beringsut, bersembunyi di balik pohon oak. Mereka lantas berhenti tepat di depan kepala Eric yang terpejam dengan berbagai goresan luka dan cemong oleh lumpur serta darah. Sekilas coreng-moreng itu bisa menutupi kulitnya yang tak berwarna, karena pada dasarnya dia memang memiliki kulit sangat pucat. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian bangsawan histeris sembari meneriakkan nama Eric. Dia bersimpuh, memeluk garpu besi yang ujung-ujungnya menyangga kepala pimpinan pemberontakan itu. Brida yakin bahwa dia merupakan ibu dari kekasihnya. Eric selalu bilang, dari sekian banyak anggota keluarga kerajaan, hanya ibunya seorang yang menganggap dirinya sebagai manusia. Sementara permaisuri, putri permaisuri, bahkan sampai ayahnya sendiri, tak pernah menganggap keberadaannya. Eric sadar diri, bahwa memang begitulah nasib dari seorang putra selir. Oleh karenanya, dia merasa beruntung memiliki seorang ibu yang selalu membesarkan hatinya. Sering Eric berujar pada Brida bahwa kelak jika dirinya sudah menjadi raja, dia akan membangun ruang makan khusus yang sangat besar dengan meja berlapis emas agar bisa makan bersama istri, anak-anak, dan juga ibunya. Sebab, Eric dan ibunya tak pernah makan dalam satu meja makan bersama anggota keluarga kerajaan yang lain. Keduanya selalu tersisihkan.

Seorang pria tua dengan rambut dan janggut kelabu, menoleh pada para pengawalnya. Dia merupakan Raja Agung Alfreth Haliq, ayah Eric. Alfreth meminta pengawalnya membawa ibu Eric yang sudah lemas, tetapi bibirnya masih menggumamkan nama sang putra dengan sangat pelan, ke dalam ruangannya. Dia sendiri masih berdiri di depan Eric sembari menatap lekat wajah putranya. Sebentar tadi, Alfreth terlihat sangat tegar. Tetapi setelah ibu Eric dan para pengawal tak ada, dia meneteskan air mata. Tergugu sembari mengusap-usap wajah putra bungsunya. Mengulurkan lengan bajunya untuk menyingkirkan noda darah dan lumpur di wajah yang sangat mirip dengan dirinya itu. Terlihat jelas bahwa Alfreth menyesali apa yang terjadi pada Eric.

Seorang pengawal datang menghadap. Alfreth segera menjauhkan tangannya dari Eric dan mengusap tetesan air matanya. Wajahnya kembali sedatar semula. Alfreth menanyakan kondisi ibu Eric. Pengawal itu berkata bahwa ibu Eric sudah ditangani oleh tabib istana. Lantas, ragu-ragu pengawal itu juga melapor bahwa besok, setelah matahari tergelincir ke barat, kepala-kepala ini akan diberikan sebagai santapan anjing. Termasuk kepala Eric. Darah Brida berdesir. Dia terkejut sembari menutup mulut. Begitu pula dengan Alfreth, raut wajahnya langsung berubah, menegang. Bibirnya terkatup. Setetes air mata jatuh. Tetapi dia buru-buru menghapusnya dan kembali memasang wajah tegas, seperti tak peduli, sembari berkata. “Laksanakan saja!” Lantas dia menegapkan pundaknya dan masuk ke istana diikuti sang pengawal.

Tentu saja Brida tak akan membiarkan kepala Eric jadi santapan anjing. Meski tak bisa menguburkan jasad kekasihnya, perempuan itu berpikir akan menguburkan kepala Eric secara layak. Brida menunggu malam makin larut dan penjagaan berangsur melemah karena prajurit tertidur. Lantas dia mencuri kepala Eric, menyembunyikan di balik gaunnya, sehingga dia terlihat seperti perempuan yang tengah hamil besar.

Brida kembali ke rumah saat tanah mulai terang, mengambil bekal seperlunya, dan membungkus kepala Sang Penakluk pada sutra kuning pemberian Eric sebelum berangkat perang. Pria itu tahu bahwa Brida suka warna kuning dan lembut serat sutra. Makanya dia sengaja memesan pada saudagar yang sering bepergian ke negeri seberang. Sebelum mengikat simpul pada ujung-ujung sutra kuning itu, Brida mengelus serta menciumi wajah kekasihnya.

“Eric, seharusnya kepulanganmu menjadi kabar bahagia karena kau akan segera memiliki putra.” Perempuan itu mengelus perutnya. “Di sini telah tumbuh benihmu.”

Brida terhempas di atas lututnya. Sesenggukan. Dia tak tahu bagaimana mesti menjawab jika putranya nanti menanyakan ayahnya. Lamat-lamat terdengar derap kaki kuda menuju ke rumahnya. Brida bergegas menyambar perbekalan dan merengkuh bungkusan sutra kuning lantas meloncat ke kudanya.

Sepanjang jalan terjadi kejar-kejaran antara dirinya dengan prajurit kerajaan. Brida tak mungkin lari ke kota, karena pasti prajurit lain sudah disebar di sana. Dia membelokkan kudanya masuk ke hutan yang cukup lebat agar lebih mudah menghindar. Di dalam hutan, Brida melepaskan kudanya. Dia tak membawa apa pun kecuali bungkusan sutra kuning dengan noda darah di bawahnya. Namun sial, prajurit itu bisa mengendus keberadaannya.

Brida lari sebisanya hingga dia terjebak di bibir jurang. Dia tak bisa kabur lagi karena di belakangnya sudah diblokade oleh prajurit. Pemimpin prajurit meminta agar dia mengembalikan kepala Eric yang sekarang tengah direngkuhnya. Brida menolak dan berdalih bahwa itu bukan kepala manusia melainkan semangka yang baru dibelinya dari pasar. Dia mengaku tak mengenal Eric. Tetapi pimpinan prajurit itu mengatakan bahwa semalam ada yang melapor bahwa dirinyalah yang mencuri kepala Eric.

“Nona, perbuatanmu sudah melanggar hukum. Aku janji, jika kau menyerahkan kepala Tuan Eric pada kami, aku akan memintakan ampunan untukmu. Pegang sumpahku!”

Seperti seorang ayah yang tengah membujuk putrinya agar tak bermain pisau, pimpinan prajurit itu berusaha mendekati Brida dengan sangat hati-hati. Dia tahu bahwa perempuan di hadapannya sekarang merupakan kekasih Eric. Wajar jika Brida tak akan menyerahkan kepala Eric untuk jadi santapan anjing. Tetapi hukum tetaplah hukum. Pimpinan prajurit itu terus membujuk. Dia tak akan menyerah. Dia bertekad akan mendapatkan kepala Eric sebagaimana dia berhasil menjagal Eric di medan tempur.

Brida gugup melihat jurang di belakanganya yang tak tampak sama sekali dasarnya. Hanya telihat gelap dan berkabut. Pimpinan prajurit itu meminta Brida agar tak bertindak bodoh. Dia mengulurkan tangannya. Brida tampak berpikir. Lantas, ragu-ragu dia menerima uluran tangan prajurit itu dan dalam sekejap menyeretnya terjun ke dalam jurang bersama janin dan kepala kekasihnya, Eric.(*)

Sh-TW, 13 Agustus 2020

 

Uzwah Anna, lahir, tumbuh, dan besar di pelosok kampung di Kota Malang. Penyuka warna hitam, biru, dan hijau. Fans Werkudoro sekaligus ketiga putranya: Ontorejo, Gatotkoco, dan Ontoseno.

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply