Bunga yang Membenci Purnama
Penulis: Ika Marutha
Penghuni makam kota ini mencintai purnama, aku tidak. Bukan soal purnamanya, tetapi suasananya. Bulan penuh mengubah hening jadi gaduh. Para makhluk yang biasanya diam bersembunyi dalam liang, akan bermunculan, berdesakan menempati batang-batang pohon. Mereka yang biasanya bergentayangan di bangunan kosong, berbondong-bondong kembali ke makam.
Kalau bisa, ingin rasanya migrasi dari tempat suram ini. Apa daya, sebagai bunga kemboja yang tersemat sejak lahir pada ranting pohon, aku hanya bisa pasrah menanti embusan angin. “Aku mau pergi dari sini!” teriakku hampa.
“Berisik sekali kau, Mungil! Santai saja lah kau di sana,” hardik Hantu Tanpa Wajah yang bergoyang-goyang di dahan pohon tak jauh dariku.
“Abaikan saja! Dia memang selalu uring-uringan setiap datang bulan purnama. Persis seperti manusia wanita.” Pohon Asem di sebelahku terkekeh, ranting-rantingnya bergoyang.
Bersamaan dengan itu, melintas seorang manusia, yang tentu saja, langsung pucat pasi menyadari pohon di dekatnya bergoyang meski tak ada angin. “A-ampun, Mbah, ampun. Permisi, kulonuwun, asalamualaikum, numpang lewat, Mbah.” Dia berkata dengan suara gemetar sambil berjalan menunduk-nunduk takzim.
“Lihat! Kau sudah menakutinya, Pohon Tua!” Kuntilanak muncul dari balik rimbun semak sambil cekikikan dengan suaranya yang khas. Andai aku punya telinga, aku pasti akan menyumbatnya.
Manusia malang itu juga tampaknya mendengar suara cekikikan Kuntilanak yang pastinya menaikkan bulu roma karena dia langsung lari tunggang-langgang. Pohon Asem Tua terbahak, beberapa makhluk tak kasatmata yang nangkring di atasnya sampai terjatuh dan mengaduh.
Begitulah kira-kira suasana saat malam bulan purnama. Ada yang tertawa, ada juga yang tak berhenti menangis. Seperti Hantu Juliet yang tersedu-sedu di kaki pohon.
“Juliet, bisakah kau mencari pohon lain untuk menangis?” tanyaku.
Hantu Juliet menangis lebih kencang. “Ada Romeo di pohon sebelah dan dia sibuk merayu Sundal Bolong! Hei, Kemboja, katakan padaku siapa yang lebih cantik? Bukankah aku juga memiliki lubang?” Hantu Juliet memamerkan lubang menganga yang masih mengalirkan darah di dadanya.
Aku tak tertarik untuk menjawab. Tak ada jawaban yang benar atau salah untuk kasus ini. Sesuatu yang kau kira cantik, indah, bisa jadi sangat buruk bagi orang lain, tergantung bagaimana perasaan yang melihat.
Seorang manusia lainnya lagi melintas. Pakaiannya lusuh, wajahnya kotor oleh debu. Dia menyeret langkahnya tertatih-tatih, sampai akhirnya ambruk ke tanah.
“Manusia, kau tak apa?” tanyaku spontan.
“Aku, aku tak berdaya. Aku sudah lupa kapan terakhir kali makan atau tidur. Aku lelah, tolong jangan usir aku. Biarkan aku tidur sebentar di sini,” ujarnya mengiba.
“Kau bisa mendengar suaraku? Kau tahu siapa aku?” tanyaku lagi.
Manusia biasanya tak mampu mendengar suara kami, kecuali untuk hal-hal yang berlebihan, seperti misalnya suara tawa Kuntilanak.
“Tentu saja. Itu kau, Kemboja. Aku bisa mendengar semuanya sejelas aku mendengar keroncongan perutku sendiri.” Manusia itu, seorang lelaki muda, menunjukku dengan jarinya yang kurus dan lemah.
“Kau pasti yang mereka sebut indigo, bisa bercakap-cakap dengan makhluk halus seperti kami,” timpal Hantu Tanpa Wajah yang rupanya sedari tadi memperhatikan.
“Bukan. Aku manusia biasa. Mungkin karena aku sekarat, makanya bisa melihat semua yang tadinya tak terlihat, mendengar semua yang tadinya tak terdengar.” Lelaki itu tersenyum lemah. “Lucu sekali. Kenapa justru di saat kami akan mati, tabir gaib baru terbuka.”
“Ceritakan pada kami kisahmu,” ujarku.
“Aku adalah korban fitnah keji manusia. Mereka mengambil semua hartaku, memisahkanku dari istriku yang cantik. Minah, oh, Minah, istriku tersayang, maafkan suamimu ini ….” Laki-laki itu meratap. Isak tangisnya begitu memilukan, membuat Hantu Juliet merona malu.
“Manusia, mereka pikir kita adalah makhluk paling menakutkan. Padahal ….” Hantu Tanpa Wajah berdecak prihatin. “Mestinya mereka melihat bayangannya sendiri di cermin.”
Aku menatap nanar, bergantian pada si lelaki, yang napasnya tinggal satu-satu, kemudian pada Hantu Tanpa Wajah, yang senantiasa penasaran seperti apa pantulannya di cermin.
Setiap kali Hantu Tanpa Wajah bertanya seperti apa rupanya, dia tak pernah puas dengan jawabanku.”Kau tidak memiliki rupa, kau hantu tanpa wajah.”
Pohon Kemboja yang kudiami, yang kukira tidak dapat bicara, tiba-tiba saja berkata, “Manusia malang, kau sudah kembali ke rumah. Tanah tempat kau berbaring tak akan berkhianat. Terlelaplah dan semua deritamu akan berakhir.”
Sisa malam bulan purnama selanjutnya, hening, tak lagi ramai seperti biasa. Aku suka, meski ada kedukaan yang tak biasa menyelimuti seantero makam. Memang sudah seharusnya. Bukankah makam adalah tempat untuk berduka?
Keesokan paginya aku tak lagi di atas menjadi bagian dari ranting Pohon Kemboja. Angin mungkin menerbangkanku atau takdir yang membawaku, jatuh, melayang ke gundukan tanah, tempat si lelaki berbaring semalam. Kuhiasai pusara baru tanpa nama.
(IM)
Ika Marutha, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret angkatan tahun 2000, mulai aktif menulis setahun terakhir. Beberapa cerpennya pernah dibukukan dalam antalogi bersama penulis lainnya.