Bulan untuk Matahari
Oleh : Diah Estu Asih
Aku tidak tahu kenapa akhirnya memilih menghentikan mobil di tempat ini: pantai dengan pasir putih, warna air biru, debur ombak yang terdengar keras, dan langit berwarna keemasan karena matahari akan segera tenggelam. Pantai ini bukan pantai wisata karena lumayan sulit dijangkau.
Aku berjalan-jalan mengelilingi pasir, sesekali memasukkan kakiku ke dalamnya dan membuat lubang tak beraturan. Warna keemasan terlihat memantul di air laut yang gelap, lalu membias pada tebing-tebing di pinggiran pantai hingga warna tebingnya menjadi jingga.
Aku duduk tidak jauh dari tebing, membiarkan warna keemasan itu ikut menyirami badanku. Mataku terpejam dengan napas teratur. Tidak ada burung yang berisik, tidak ada suara daun-daun yang terkepak terkena angin. Hanya suara ombak laut dan aroma air laut berpadu dengan aroma pasir dan aroma langit keemasan. Aroma itu adalah aroma paling menenangkan sepanjang aku hidup.
Aku merasa ada yang menendang-nendang kakiku. Kulihat seorang anak lelaki tanpa baju, dia hanya memakai celana pendek hitam dan kulitnya sangat hitam. Dia seperti penghuni laut ini.
“Kau ibuku?” Dia bertanya.
Aku memandangi wajahnya yang sendu. Pandangannya tepat mengarah padaku, tetapi aku tahu bahwa matanya itu tidaklah normal. Dia mengedip sangat cepat sehingga aku tidak bisa memperhatikan betul bagaimana bentuk matanya.
“Aku… laki-laki,” jawabku, dan anak lelaki itu langsung berwajah murung.
“Bisa beri tahu di mana ibuku?”
Aku menatap sekitar dan tidak menemukan siapa pun di tempat ini.
“Dia membawa bayi,” katanya, tapi masih tidak ada siapa pun di pantai ini. “Dia duduk dan menggendong bayi itu.”
Aku mengajaknya duduk di sampingku dan melihat cahaya keemasan yang melingkupi langit. Dia diam dengan tenang, matanya masih terus berkedip cepat.
“Dia datang setelah cahaya itu hilang,” kata anak lelaki itu, menunjuk langit yang warnanya semakin menguning dan hampir memerah.
Aku tunggu hingga cahaya itu menghilang dan langit sepenuhnya berubah menjadi gelap. Kemudian, perlahan-lahan sekali langit berubah menjadi begitu terang hingga cahaya bintang pun tak terlihat. Hanya satu sumber cahaya itu, bulan bulat seperti pingpong dengan lukisan abadi di dalamnya.
Aku sempat tertegun melihatnya. Aku ingat betul, bahkan menyaksikan sendiri bagaimana lukisan di bulan itu dibuat oleh Ibu. Waktu itu malam sangat pekat, gelapnya bahkan sampai membuatku tidak bisa bergerak. Ibu duduk di sampingku, dia sedang berusaha keras mencari cara agar aku segera mendapat penerangan walau hanya setitik.
Dia berlari ke sana kemari tanpa tahu arah. Aku tidak tahu apakah dia menabrak tebing, apakah dia tidak sengaja memasuki palung laut, apakah dia tidak sengaja tersandung batu dan mencelat ke langit. Tapi begitu dia kembali, dia membawa sebuah benda bulat seperti pingpong, sinarnya sangat terang, warnanya putih polos.
“Ibu mau buatkan satu untukmu. Kelak, sampai Ibu meninggal, bulan ini akan tetap tinggal bersamamu,” ucap Ibu kala itu. Dia melukis sebuah gambar dengan pasir di atas bola itu. Bentuknya menyerupai Ibu sendiri dan seorang anak lelaki yang duduk di pangkuannya.
“Kamu adalah Matahari. Kamu yang menjadi sumber cahaya Ibu, tapi baik kamu dan Ibu tidak akan pernah bersama. Matahari dan bulan akan selalu jauh.”
Dia meletakkan bulan itu ke pasir putih, lalu dia memasuki lukisannya sendiri.
“Matahari, kamu harus meletakkan Ibu di langit malam ini. Letakkan di tempat yang membuat kamu merasa sangat terang walaupun sedang malam.”
Aku merasa bahwa keberadaan Ibu di atas pasir ini sudah cukup membuatku terang, bahkan silau. Makanya aku tetap membiarkan dia berada di sana sampai hampir pagi. Aku hanya memandanginya, mengagumi sinarnya. Ibu bilang aku adalah Matahari, maka aku tidak akan masuk ke lukisan bersama Ibu. Aku takut jika aku masuk ke sana, maka sinar Ibu akan langsung menghilang.
Namun semakin pagi, sinar Ibu semakin redup. Aku diserang ketakutan kalau Ibu akan benar-benar hilang. Maka aku mengangkat Ibu dan meletakkan di langit. Namun, rupanya masih sama. Ibu semakin redup dan ketika matahari sudah muncul, Ibu benar-benar menghilang.
Aku merasakan patah hati yang teramat dalam. Rasanya kehilangan Ibu lebih menyakitkan dari apa pun yang pernah aku rasakan. Aku meninggalkan tempat itu. Aku mengunjungi banyak sekali tempat, berharap di sana akan ada cahaya bulan lain yang menerangiku. Tapi hingga aku tumbuh menjadi dewasa, tak ada satu pun bulan yang kutemukan.
“Itu ibumu,” ujarku menunjuk bulan yang sedang bersinar itu. “Mau aku ambilkan?”
Anak lelaki itu mengangguk semangat. Bibirnya mengukir senyum lebar.
Lalu dengan sangat hati-hati aku ambil bulan itu, memutarnya perlahan dan mengamati baik-baik permukaannya. Hanya ada lukisan abadi di sana, tidak ada wanita yang akan tersenyum lembut ketika aku menatapnya
“Siapa namamu?” tanyaku pada anak lelaki itu.
“Matahari.”
Aku terdiam lagi. Lalu setelah beberapa lama, aku menyerahkan bulan kepadanya. “Pakailah di matamu.”
Anak lelaki itu menurut. Dia memasangkan bulan ke matanya dan otomatis kedipan matanya berhenti.
“Apa yang kamu lihat?”
“Ibu dan aku,” jawabnya.
Aku terdiam lagi. Dahulu, sebelum Ibu masuk ke bulan, dia berpesan padaku dengan suara lembutnya, “Matahari, Ibu memberimu nama itu karena matamu hanya sebelah. Kelak, kamu harus mendapatkan sebelah mata lagi untukmu sendiri.”
Sampai sekarang aku tidak mendapatkan mataku yang sebelah. Aku berkedip sangat cepat sampai orang lain tidak bisa melihat bola mataku. Aku menatap anak lelaki itu dengan sebelah mata saja. Dia sedang tersenyum begitu bahagia. Aku tidak tahu apakah dia dan aku adalah sama atau berbeda. Tapi, ibu kami sama. (*)
Lampung, 05 Desember 2020
Diah Estu Asih, biasa disapa Diah, masih berstatus sebagai mahasiswa jomlo. Tinggal di Lampung bersama kedua orang tua, dua kakak lelaki, dan satu adik perempuan.
Editor : Fitri Fatimah