Bulan Mati
Noery Noor
Juara 1 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)
Petang merambat pelan di Desa Selatumpang. Cahaya merah di langit barat telah lama memudar. Selapis awan hitam menggantung, menutup cahaya putih. Gelap merayap, tanpa kilauan rembulan.
Bulan mati, bisik lelaki yang berdiri di halaman sempit sebuah rumah, yang lebih tepat disebut gubuk. Bangunan bambu beratap dan berdinding anyaman daun kelapa. Terlalu sempit untuk menampung lima orang, Sartam–lelaki itu–dengan istri dan tiga anaknya.
“Mak, aku lapar!” Terdengar suara Kipli, anak keduanya.
“Aku juga lapar,” kata Menuk, anak sulungnya.
“Berdoalah, semoga besok ada yang bisa dimakan.” Suara Cenil, istrinya terdengar menghibur kedua anaknya. Sejak tadi ia membujuk bayi yang terus merengek minta susu.
“Umbinya sudah matang,” teriak Menuk beberapa saat kemudian. Suara kayu beradu dengan logam terdengar diiringi desah lega Menuk saat selesai memindah umbi ke dalam piring seng atas perintah emaknya.
“Makanlah, Pli!” teriak Menuk pada adiknya.
“Hanya itu yang bisa dimakan!” sahut Cenil, istrinya. Sepertinya Kipli menolak makanan yang diberikan kakaknya.
“Ush ush ush …!” Cenil sibuk membujuk bayinya agar diam. Sesekali terdengar jeritan lirih Cenil karena gigitan si bayi pada putingnya. Saat tak ada air susu yang bisa disedot, bayi Cenil akan mengunyah, menggigit, lalu menarik puting emaknya.
Sartam baru saja hendak melangkah masuk saat melihat kelebat langkah seorang perempuan mendekati rumahnya. Tangannya menjinjing sebuah cumplung sebesar kepala manusia. Cumplung adalah batok kelapa yang dipangkas ujungnya hingga menyerupai sebuah mangkok.
“Kamu, Buh?!” Istri Sartam menyambut di depan pintu.
“Iyya, Nil. Aku ada sedikit makanan untuk anak-anak dan bayimu,” katanya.
“Terima kasih, masuklah!” pinta Cenil pada tamunya.
“Tidak, aku langsung pulang, takut ketahuan para penjaga,” katanya tergesa. Cepat-cepat diserahkannya cumplung itu pada Cenil, kemudian segera berbalik arah. Setengah berlari melintasi halaman. Cenil menggumam tak jelas saat perempuan itu berlalu, menghilang di keremangan malam.
“Ternyata daging, Le,” kata Cenil sambil meletakkan cumplung itu di amben bambu. Harum makanan menguar ke seluruh ruangan. Kuahnya masih hangat, kepulan asap menyambut Sartam memasuki ruangan. Kedua anaknya menyantap makanan itu dengan lahap.
“Sisakan untuk Cipluk,” perintah Sartam. Tangan Kipli terhenti. Ia hampir menuang semua isi cumplung ke piringnya.
“Cipluk kan belum bisa makan?” protes Kipli.
“Emak yang makan, nanti akan menjadi air susu yang disedot Cipluk.” Sartam menyerahkan sisa makanan pada istrinya. Ia juga menyuapi Cipluk dengan beberapa tetes kuah. Lidah bayi itu menggeliat seolah ingin kuah itu lebih banyak lagi.
“Dari mana ia bisa mendapatkan daging ini, Kang?” tanya Cenil. Sartam menggeleng tanpa suara.
Bagaimana Demplo–suami Lebuh–bisa mendapatkan daging? Seharian mereka berburu tak mendapatkan seekor pun binatang buruan. Hanya sebutir iles, itu pun kemudian dibagi berempat. Iles adalah sejenis umbi yang bisa dimakan.
Entah berapa lama mereka terkurung di bukit ini, sejak wabah melanda beberapa desa di sekitarnya. Mereka tak tahu lagi ini hari apa. Hanya bulan mati sebagai penanda hitungan waktu, karena saat itu menjadi malam pertama mereka terkurung di desa ini. Ya, terkurung! Hingga saat ini mereka sama sekali belum pernah keluar desa.
Masih beruntung, desa tempat tinggalnya merupakan salah satu desa yang tidak tersentuh wabah yang disebabkan kuman ganas, makhluk tak kasat mata yang telah membunuh ratusan penduduk di desa-desa sekitarnya.
Itulah sebabnya kemudian seluruh jalan masuk menuju desa ditutup. Warga desa sama sekali tak boleh keluar dari wilayah tersebut. Mereka masih boleh saling bertemu, bekerja di ladang, menanam sayuran, memetik buah dan umbi-umbian untuk memenuhi kebutuhan makan mereka.
Awalnya, Sultan menyalurkan bantuan berupa beras, sabun, garam, gula, minyak, dan kebutuhan lain. Namun akhir-akhir ini bantuan semakin berkurang. Sudah dua kali bulan mati Sartam hanya menerima dua kilo beras, garam, dan sebungkus micin.
Setiap pagi para lelaki secara berkelompok pergi ke hutan, mencari apa pun yang bisa dimakan. Daun, buah, akar, umbi-umbian, bahkan batang tanaman untuk dimakan. Anak lelaki seusia Kipli menghabiskan waktu bermain di sungai, menangkap ikan atau kepiting untuk lauk makan.
Tentu saja jumlah yang disediakan alam semakin berkurang sehingga semakin sulit bagi mereka untuk mendapatkan makanan. Kadang satu atau dua butir umbi harus dibagi untuk beberapa keluarga.
“Mau ke mana, Kang?” tanya Cenil saat Sartam membuka pintu hendak keluar. Cipluk dan dua anaknya yang lain telah lelap.
“Ke rumah Demplo,” jawabnya singkat.
“Jangan, Kang! Bahaya keluar pada malam hari. Kalau ketahuan penjaga, bisa susah kita semua. Kau disekap, lalu siapa yang akan mencari makan untuk anak kita, Kang?! Eling! Jangan gegabah!” Cenil menahan tangannya. Wajahnya terlihat sangat khawatir.
“Aku lebih tahu! Tak perlu kau ajari. Urus saja anak-anak, aku mau pergi sebentar!”
Sartam menepis pelan tangan istrinya, kemudian segera lenyap ditelan gelap halaman rumah.
Ia sungguh penasaran. Bagaimana Demplo bisa mendapatkan daging hari ini. Apakah ia bisa keluar dari tempat ini dan mendapatkan makanan di luar sana?
Selama ini, sesama warga saling percaya. Tak pernah ada saling curiga. Namun entah setan apa kini telah menguasai pikiran Sartam. Ia mulai mencurigai Demplo, sahabatnya sendiri.
“Kau?” tanya Demplo terkejut saat mereka bertemu. Kebetulan lelaki itu sedang berdiri di emper rumah yang berjarak tak jauh dari rumah Sartam.
“Iya,” jawab Sartam pendek. Dingin, sedingin angin yang menampar wajahnya.
“Untuk apa ke sini? Seolah kau tak tahu aturan di desa ini,” gerutu Demplo gusar.
Sartam berdehem. “Jawab pertanyaanku dengan jujur, dan aku akan segera pergi,” ancam Sartam. “Dari mana kau mendapatkan daging? Seharian kita pergi bersama,” lanjut Sartam tanpa menunggu jawaban Demplo.
Demplo terkekeh ditahan.
“Seekor anak babi hutan terperosok di lubang galian sumur. Aku tangkap dan dagingnya kubagikan ke warga. Terutama yang ada bayi dan anak-anaknya. Pulanglah, besok pagi kita bisa bicara lebih banyak!” desak Demplo setengah berbisik pada sahabatnya.
Sartam masih ingin bertanya tetapi Demplo segera meninggalkannya.
“Pulanglah! Jangan membahayakan siapa pun!” teriaknya sambil memasuki rumah. Sama dengan rumahnya, rumah Demplo pun hanya beratap dan berdinding anyaman daun kelapa.
Berbekal kesal yang menggumpal, Sartam meninggalkan halaman rumah Demplo, tanpa menyadari sepasang mata menatapnya nyaris tak berkedip.
***
Demplo adalah satu-satunya orang yang dikenal Sartam bisa keluar masuk desa ini selain Pak Kuwu–sebutan untuk kepala desanya. Dari Demplo pula Sartam mendapat kabar bahwa kedua orangtuanya yang tinggal di desa lain sudah meninggal karena wabah. Perlakuan Sultan terhadap setiap wilayah tidak sama. Di desa kedua orangtuanya, mereka bahkan benar-benar tidak diperbolehkan keluar rumah. Semua kebutuhan warga dipenuhi para kuwu.
“Sekarang penjagaan semakin ketat,” kata Demplo esok paginya. Mereka memutuskan untuk menyusur hutan yang selama ini belum pernah dirambah untuk mencari bahan makanan. Mereka berharap bisa mendapatkan makanan untuk hari itu.
“Kiriman bahan makanan sepertinya juga akan dihentikan.” Dengan sabit, mereka menebas ranting-ranting semak agar bisa dilewati.
“Kenapa?” tanya Sartam yang mengiring di belakang Demplo.
“Kuman itu kian ganas. Beberapa hari yang lalu, orang-orang Desa Sebolangit tertumpas habis setelah makan jatah yang dikirim dari Sultan. Itulah sebabnya, pengiriman bahan makanan sementara dihentikan. Kalau makanan itu sudah tercemar, bisa membunuh kita semua. Semua pihak ingin agar jiwa kita selamat.”
Demplo menghentikan langkahnya. Membuang napas berat, seolah ada beban yang kian berat menyumpal dadanya.
Demplo berbalik. Kini mereka saling berhadapan. Saling menatap. Saling menganting kejujuran lewat tatapan mata. Sartam menangkap kesedihan dan kengerian dalam tatapan sahabatnya. Pusaran kesedihan dan kengerian yang menyeret jiwa Sartam ke dalamnya. Bibirnya kelu, tak ada yang bisa diucap. Lama, keduanya terpaku.
“Wabah itu bukan main-main, Tam. Kita harus bersyukur, masih selamat. Setidaknya masih bisa mencari makan untuk keluarga kita,” kata Demplo lirih. Suaranya terdengar parau.
Sartam menatapnya dengan perasaan tak tentu. Kecurigaan dan keyakinan masih saja bertarung, berebut tempat di otaknya.
“Kijang, Tam!” Suara Demplo memutus lamunan. Tubuh tinggi kurus itu sigap meloncat, menjauh beberapa meter darinya. Sartam mengambil langkah berlawanan. Sejenak saling diam, mengincar si kijang muda yang bersembunyi di balik semak.
Crash!
Tiba-tiba sebuah golok menancap di leher si kijang. Ia sempat bangkit, menggelepar sejenak, lalu rubuh tak berdaya.
Sartam diam-diam kagum pada kemampuan sahabatnya dalam melempar golok, satu-satunya alat untuk berburu dan mencari makan saat ini.
***
Dua kali bulan mati telah terlewati. Keadaan bukan membaik, tetapi kian buruk. Seorang warga meninggal akibat terjangkit wabah, disusul tewasnya seluruh anggota keluarga. Sejak itu Pak Kuwu mengharuskan semua warga agar tinggal di dalam rumah. Mereka tidak diperbolehkan lagi saling bertemu.
Para penjaga membuat batas yang boleh dikunjungi oleh setiap keluarga. Anak-anak tak boleh lagi bermain bersama. Beruntung rumah Sartam di tepi hutan. Di belakang rumah juga ada kali tempat Kipli dan Menuk bermain dan mencari ikan.
“Mengapa kalian mengurung kami?” teriak Cenil pada penjaga saat mengantar makanan.
“Hanya ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk melindungi kalian,” jawab penjaga itu.
“Kami bisa mati kelaparan di sini! Pada akhirnya semua juga akan mati!” teriak Cenil frustasi.
“Semua orang ingin hidup normal, tetapi keadaan masih sangat berbahaya. Tolong mengertilah! Tak seorang pun mau menjalani kehidupan seperti ini!” Penjaga itu mencoba memberi pengertian pada Cenil.
Setiap bulan mati penjaga mengantar beras, sabun, minyak, gula, dan bumbu penyedap, meskipun jumlahnya jauh dari mencukupi. Secara sembunyi, beberapa warga pernah mengantar daging untuk keluarga Sartam. Entah bagaimana cara mereka mendapatkan.
Menjelang dini hari Sartam terbangun oleh tangis Cipluk. Sejak pagi, bayi itu panas badannya.
“Ada sejenis daun yang dapat menurunkan panas. Kau mau mencarinya, Kang? Ini darurat. Apa pun yang darurat pasti dibolehkan,” kata Cenil. Tangannya sibuk memasukkan puting ke mulut Cipluk, tapi bayi itu terus menolak. Suhu tubuhnya pun kian tinggi!
Tanpa menjawab, Sartam melangkah menuju kebun belakang rumah. Apa pun bisa terjadi. Andaikan orang-orang bisa saling bertemu, mungkin setiap hari ia akan mendengar berita kematian. Saat itulah Sartam menyadari arti tatapan Demplo beberapa hari yang lalu saat terakhir mereka berburu. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding.
Dari kebun belakang, Sartam berjalan menuju batas pekarangan. Seharusnya ia tidak boleh melewati tempat itu, tapi daun yang dibutuhkan hanya ada di dekat pekarangan Demplo.
Seberkas cahaya di sisi lain hutan menghentikan langkahnya.
Sartam mendekat.
Tiga orang tampak sedang membagi daging buruan. Salah satunya Demplo!
Oh, tenyata mereka sekarang berburu di waktu malam! Jemari Sartam mengepal, rahangnya saling bertaut, menimbulkan suara kemeretak. Geram melihat kelakuan mereka.
“Dasar pengkhianat!” rutuknya dalam hati.
Kakinya mulai melangkah.
Mereka sudah selesai. Dua orang segera membuat lubang mungkin untuk mengubur belulang binatang. Atau jeroannya, atau ….
Darah Sartam seolah berhenti mengalir, menyadari apa yang hendak mereka kuburkan. Tangannya segera menyumpal mulut yang nyaris berteriak.
“Kau cari daun ini, kan?” Sebuah teguran diiringi tepukan di pundak membuatnya menoleh. Dalam gelap, ia masih mengenali sosok itu. Pak Kuwu!
“Itu ….” Jarinya menunjuk ke arah Demplo dan kawan-kawannya.
“Aku tahu,” jawab Pak Kuwu tenang. Datar, tanpa tekanan. Seolah itu hal biasa baginya.
“Mengapa dibiarkan?!” tanya Sartam. Hatinya, kemanusiaannya bagai tercabik, saat teringat daging dari beberapa tetangga.
“Mereka yang pergi tak bisa kita paksa untuk hidup kembali, tetapi dengan cara itu mereka bisa menyelamatkan mereka yang masih hidup,” kata Pak Kuwu tenang.
Sartam menatap ngeri. Ia termangu. Beberapa bulan ini, ia bahkan tidak tahu bila ada tetangga yang sakit atau bahkan meninggal. Ia tidak tahu apa yang menimpa mereka. Ia hanya tahu anak dan istrinya.
“Jaga dirimu dan keluargamu. Kau sudah melihat sendiri, bagaimana mereka berusaha untuk menyelamatkan jiwa lain agar tetap hidup. Hargai hidupmu, betapa berartinya setiap nyawa saat ini,” kata lelaki itu lirih, meskipun penuh tekanan. Suaranya terdengar serak. Rasa pilu merajam isi dada Sartam.
“Pulanglah! Jaga anak dan istrimu.” Pak Kuwu menyerahkan segenggam daun yang dibutuhkan Cenil. Matanya menatap langit tanpa kilau rembulan. Bulan sabit tampak samar muncul di ufuk timur. Entah ini bulan mati yang keberapa.
Jemari Sartam gemetar saat menerima daun itu dari Pak Kuwu. Teringat akan anaknya, sigap ia meninggalkan lelaki itu. Nyawa anaknya lebih penting saat ini.
Suara tangis Cipluk tak lagi terdengar, berganti rintih pilu Cenil saat Sartam tiba di rumah. Cipluk diam tak bergerak dalam pelukan Cenil. Tanpa tangis dan embusan napas. Pipinya masih terasa hangat, tetapi sepasang mata bening itu terpejam rapat.
Sartam tertegun. Diraihnya tubuh Cipluk, dipeluknya dengan dada sesak.
Demplo dan dua orang temannya tiba-tiba telah berada di tempat itu bersama Pak Kuwu.
“Biar kubantu menguburkan anakmu, Tam,” pintanya tenang. Namun ucapan itu membuat amarahnya memuncak.
Sartam bertahan diam, tetapi sepasang matanya menyorot tajam. Mungkin ini telah menjadi tradisi baru di desa ini. Tradisi bodoh yang harus dihentikan! Mereka benar-benar telah kehilangan hati!
“Tidak! Aku akan menguburkannya sendiri, dan kalian tak perlu memberi daging,” jawab Sartam tegas. Dipeluknya jasad Cipluk erat. Diciuminya tubuh beku itu.
Demplo terkejut. Mereka saling pandang. Pak Kuwu mendekati Sartam, menyentuh pipi Cipluk yang rata tanpa daging. Hanya selapis kulit tipis yang tersisa membalut wajah.
“Pulanglah kalian. Biar Sartam menguburkannya sendiri. Bayi ini sangat kecil, Sartam mampu melakukannya sendiri,” katanya pada Demplo dan kedua temannya.
Ada sedikit kelegaan di dada Sartam saat ketiga lelaki itu meninggalkan rumah. Dari pintu yang terbuka, bulan sabit terlihat samar mengintip. Menitip senyum pada Sartam. Bulan mati memang selalu datang, tetapi pasti akan berlalu digantikan bulan baru.(*)
Yogyakarta, 21 April 2020.
Noery Noor, penyuka warna putih dan ungu yang tak pernah bisa move on dari kisah-kisah klasik.
Komentar juri:
Secara penceritaan, cerpen ini mampu mengentak dalam sekali baca. Ia juga menyediakan pesan yang kaya, tetapi pembaca tak perlu pula menggali untuk menemukannya. Semuanya hadir dengan gamblang dan dekat. Karena cerita yang berisi tak harus membuat kening berkerut-kerut saat membacanya. Seperti cerita ini yang begitu mudah diikuti dan ditebak-tebak arahnya.
Bahkan klimaksnya yang—menurut saya—sudah terduga pun tetap disiasati dengan baik supaya tidak klise. Di sanalah pentingnya kepiawaian bercerita si penulis. Ia terus membuat kita penasaran, tetapi tidak pula membentangkan pemandangan yang berkabut. Penulis memberikan “arah” dan menunjukkan kemungkinan, tetapi kita tahu, apa yang ada di depan sana tidaklah sesederhana yang kita duga.
Secara lebih sederhana, ada dua hal yang membuat cerita ini memenangi TL kali ini.
- Pemungutan suara
Bagaimanapun, ketika terjadi kebuntuan (dalam hal ini, kandidat yang semuanya bagus), mau tak mau juri akan melakukan voting. Hasilnya: Tiga juri menempatkan cerpen ini di peringkat 1; dua juri (termasuk saya) menempatkannya di posisi 2. Dengan hasil voting yang tinggi itu, posisi cerpen ini sudah melonjak jauh.
Setelah itu, kita kembali ke mekanisme selanjutnya: tema. Kuatkah ia pada segi tema? Jika tidak, tentu tidak bisa langsung ditetapkan sebagai pemenang. Ia akan digeser oleh posisi kedua, yang tentu juga akan dipreteli bagian-bagiannya.
- Tema
Ternyata, cerpen ini pun memuncaki kategori tersebut. Ia kami anggap berhasil mengeksplorasi istilah “karantina” dengan sangat baik. Ia berhasil “mengalahkan tema” yang kami tantangkan kepadanya. Cerpen ini menghadirkan atmosfer cerita yang menggigilkan tanpa perlu memasukkan hantu-hantu di dalamnya, dan ia berhasil mengorek problem mendasar di dalam situasi karantina: upaya bertahan hidup!
Saat jarak antara hidup dan mati hanya sejengkal, nilai dan moral kemanusiaan pun luntur harganya. Penulis dengan cermat mengangkat persoalan hidup-mati ini dan dengan teliti mempertanyakannya. Tetapi sekali lagi, ia tidak terjebak dalam klise.
Di cerita ini, ia membuat masyarakat desa masih peduli dengan satu sama lain. Tetapi yang kami rasakan justru sebaliknya: efek yang lebih mengerikan.
Orang yang menggadaikan moralnya, lebih berbahaya daripada mereka yang betul-betul membuangnya. Mereka yang menganggap moral seperti pakaian yang bisa dicuci jika kotor. Sesuatu yang suci tidak bisa lagi dibersihkan kalau sudah tercampak ke lumpur penuh tahi. Orang yang masih memakai moral yang sudah kotor itu, sejatinya lebih berbahaya daripada mereka yang betul-betul penjahat.
Lihat bagaimana santainya Pak Kuwu dan para lelaki itu memeriksa daging di tubuh Cipluk yang baru mati, di depan ayah kandungnya, lalu memutuskan bahwa ia terlalu kurus untuk dijadikan makanan. Mereka tak lagi punya hati untuk mengerti betapa agungnya kehidupan dan harga diri manusia, karena pada titik itu, mereka sudah bukan lagi “manusia”.
Di dalam cerita, tokoh utama tidak mau menjual moralnya. Ia memilih mempertahankan kemanusiaannya meskipun harus dibayar dengan kematian. Pada titik itu, ia merebut kembali poin penting dalam kriteria penilaian juri: substansi.
Ia mengajak pembaca untuk merenungkan pokok kehidupan. 😀
-Berry Budiman
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata