Buku Ini Pulang

Buku Ini Pulang

Buku Ini Pulang 
Oleh: Karna Jaya Tarigan

Terbaik ke-9 Tantangan Lokit 9

Beberapa hari ini sangat melelahkan buatku. Dari kemarin pagi sampai hari ini belum juga selesai. Memang, pindah rumah itu sungguh merepotkan. Mengepak barang satu persatu ke dalam kardus, memisahkan barang pecah-belah, baju-baju, surat-surat penting, membersihkan kompor dari jelaga, biar nantinya tidak mengotori perabotan yang lain. Juga menyortir barang- barang yang sudah tidak terpakai. Terlalu banyak yang dikerjakan, biar tidak terlalu repot jika dimasukkan ke dalam bak sebuah mobil pickup.

Tetapi yang paling menyiksa dan menyakitkanadalah mengangkat dan menurunkan lemari, kulkas dan Spring bed ke mobil dan kemudian menurunkannya kembali. Berat, sumpah, benar-benar berat!

Kali ini kami pindah ke sebuah rumah bersubsidi. Setelah sekian lama berkelana dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya, akhirnya kami bisa memiliki hunian sendiri di sebuah perumahan sederhana. Mengangsurnya selama lima-belas tahun. Lumayanlah, daripada tiap bulan menyewa rumah orang lain, tanpa pernah bisa memiliki. Toh kalau dipikir-pikir, lebih untung menyicil rumah sendiri karena suatu hari, jika rumah ini lunas, akan sah menjadi milik kami. Yang penting harus selalu sabar, berdoa dan bekerja keras!

Kuisap sebatang rokok dengan santai, dengan ditemani secangkir kopi di sore hari ini. Semuanya hampir selesai, tinggal menarik napas sejenak untuk menghilangkan lelah dan mengumpulkan tenaga yang sebenarnya belum pulih. Toh, hanya tinggal menyapu dan membereskan rumah saja. Tenang, sebentar lagi bakalan ada seseorang yang datang menjadi sukarelawan.

“Pa … Papah, aku menemukan buku-buku Papa!” Suara anakku Tatiana memanggil- manggil—sembari mengangkat sebuah dus yang telah terbuka.

Gubrak!

Debunya beterbangan ke mana-mana, menandakan kardus ini telah tersimpan sangat lama. Segera aku mengeluarkan isinya, dan kubersihkan satu persatu dengan hati-hati agar sampulnya tidak rusak. Aku termasuk kategori seseorang yang perfeksionis. Harus rapi, harus bersih, dan juga harus sempurna. Tinggal satu buku lagi yang tersisa. Agak kusam, dekil, bahkan sampulnya lecet-lecet, dan kertasnya telah menguning. Tanda buku ini telah berumur sangat lama. Kubersihkan perlahan, dengan sangathati-hati. Karena hanya buku ini yang selamat dari banjir besar dahulu.

* * *

Ingatanku melayang pada 20 tahun yang silam. Seumur itulah buku ini, mungkin bisa lebih, karena ini bukan aku yang membeli, tetapi sebuah pemberian. Pemberian seseorang yang sampai saat ini masih tetap kuingat dan kukenang.

Hampir sepuluh tahun aku tidak pernah lagi membaca buku-buku serius. Kesibukanku selama ini, membuatku hanya berkutat dengan surat kabar, berita online, majalah yang berhubungan dengan bisnis, politik dan ekonomi. Sebab sebagai seorang Pialang Saham, ketepatan dan keakuratan sebuah informasi itulah yang mengantarkan aku pada satu kata, yaitu keuntungan. Jika salah informasi atau menerima berita yang tidak benar dan menelannya bulat-bulat, itu adalah pertanda rugi, bangkrut bisa jadi sebuah kemungkinan terburuk jika tidak hati-hati.

* * *

Aku hanya tinggal berdua bersama Emak di sebuah perkampungan padat di pinggiran kota. Bapaksudah tiada di saat usiaku baru berumur lima tahun. Untuk menyambung hidup sehari-hari, Emak mengandalkan kekuatan tangannya untuk mempertahankan hidup kami—selain belas kasihan tetangga—menjadi tukang cuci.

Ada beberapa keluarga yang menggunakan jasa emak. Salah satunya yaitu Haji Sasmita. Dia adalah salah satu orang terpandang di kampung ini. Beliau adalah seorang Dosen di sebuah universitas terkenal di negeri ini.

Aku sering menengok Emak ketika siang hari di rumahnya, sekalian minta uang jajan. Tetapi bukan itu sebenarnya alasanku pergi kesana. Aku pernah melihat di rumahnya ada banyak sekali buku-buku, dan itu yang membuatku tertarik. Kebetulan beliau mempunyai seorang anak yang seumuran denganku, Rio namanya. Kami menjadi akrab. Kadang-kadang di sela-sela jam belajarnya aku menemani, dan itu merupakan kesempatan terbaikku. Aku gemar membaca dan takkan pernah aku sia-siakan kesempatan emas ini. Sebagai seorang anak tukang cuci dari mana aku bisa membeli buku bermutu. Bisa makan dan bersekolah saja aku sudah bersyukur.

* * *

Kamu tahu, apa enaknya menjadi seorang anak kecil? Seorang anak kecil bisa bebas pergi kemana saja, tanpa ada seorangpun ada yang curiga dan berprasangka yang bukan-bukan. Sering kali ketika Riomenyambut kedatangan Pak Sasmita—pulang mengajar—aku masih asyik sendiri dan tenggelam dalam kesibukan membaca. Aku tidak sadar, dan mungkin Pak Sasmita kerap memperhatikanku, tanpa aku pernah menyadarinya. TerkadangEmak pun lupa menegurku, sebab ia sendiri sedang dikejar-tayang setrikaan yang setinggi langit.

Di kala aku sedang tenggelam dalam sebuah bacaan, tiba-tiba ada yang mengusap-usap rambutku.

“Senang membaca ya ,Dik? Tanyanya mengejutkan.

Aku menoleh kebelakang. Ups, ternyata Pak Sasmita sudah berdiri di sana. Air mukaku menjadi merah merona. Aku malu, hendak bangkit, tetapi—

“Sudah, teruskan saja, tidak usah malu,” katanya, “saya senang melihat anak kecil suka membaca.”

Aku masih menunduk malu.

“Aku iri melihat kamu, Nak. Ajaklah Rio menemanimu, aku juga ingin Rio senang membaca sepertimu,” Pak Sasmita berpesan.

Aku mengangguk dan memeluk buku yang sedang aku baca.

“Teruskan, silahkan kamu teruskan. Bacalah sepuasmu,” imbuhnya.

“I—iya, Pak. Terimakasih, Pak,”ucapku sembari menunduk malu.

Esok harinya, ada setumpuk buku di rumahku. Aku hitung ada sekitar 30 buku jumlahnya. Aku kegirangan seperti baru menemukan sebuah harta karun.

“Ini dari Pak Sasmita, kalau kamu rajin belajar dan menjadi juara kelas, dia akan memberikan buku-bukunya lagi untukmu!” Emak menyampaikan pesan Pak Sasmita.

Aku akan menepati janjiku, dan aku harus menjadi juara kelas.Semenjak itu buku-bukuku mengalir, tanpa sepeserpun aku membeli.

* * *

Minggu sore ini begitu ramai di rumahku. Ada begitu banyak anak-anak bersama orang tuanya. Begitu meriah dan riuh. Tak masalah, aku bahkan senang sekali. Bukan lantaran ada sebuah pesta ulang tahun, melainkan ada sebuah pembukaan rumah baca. Ada seorang Eyang bersama istrinya yang baru saja menggunting sebuah pita.Hari ini sebuah taman membaca untuk anak-anak, baru saja diresmikan. Tampak emakku dengan sangat bangga tersenyum di samping mereka.

Sebuah rumah tanpa pagar dan terbuka bagi siapa saja telah aku bangun. Untuk siapa saja yang mau menjadi cerdas dan bijaksana. Untuk siapa saja yang mau membuka pintu ilmu pengetahuan. Utamanya untuk anak-anak, biar mereka menjauhkan diri dari sebuah benda yang bernama: gawai. Selain juga untuk para orang tua yang kecanduan medsos dan hoaks atau kabar bohong.

“Aku bangga padamu, Nak. Sangat bangga!” ucap Pak Sasmita memberiku selamat, “sekali lagi, aku bangga, padamu.” Ia memelukku erat-erat dan terharu.

“Terima kasih kamu mau bersedekah dan beramal dalam bentuk buku-buku, kamu memang cerdas dan tidak biasa,” tambahnya.

Ada air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Aku banyak berhutang budi padamu, aku berhutang ilmu, bisikku menahan haru.

“Terima kasih Pak Sasmita, terima-kasih atas semua ilmu yang telah kau berikan, dalam bentuk sebuah buku,” ucapku dengan suara bergetar penuh haru.

Hari ini sebuah buku pulang dan telah beranak pinak hingga menjadi sangat banyak.Untuk semua orang.(*)

Pengarang adalah seorang pecinta buku, dan pembaca buku apa saja.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata