Buku Berjudul ‘Dia’
Oleh: Dhanty Lesmana
Berdiri di sini. Di sebuah toko buku besar dan tenggelam dalam cerita dari sebuah buku berjudul; Dia.
Aku begitu terhanyut, dengan alur juga tokoh yang tergambar dalam cerita. Walau ide yang diangkatnya biasa saja, tapi pemilihan diksi yang pas, membuat ceritanya begitu menarik dan enak untuk dibaca.
“Ini buku, best seller lho, Ra. Dicari di mana-mana susah. Kita beruntung, pas datang ke sini, ada.”
Sebuah suara memecah keheningan. Sekilas, aku melirik. Entah kenapa, seperti mengenali suara itu. Lalu seketika, aku pun melengos.
Bu Diva!
Atasanku di kantor, tiga tahun lalu. Perempuan paling nyinyir dan galak yang pernah aku kenal. Dia berdiri di depan rak buku bertuliskan ‘BEST SELLER‘, dengan seorang perempuan cantik, tak jauh dari tempatku berdiri.
“Hm, dikira mudah, jadi penulis? Sekelas office girl itu, harusnya tahu diri, jangan cari sensasi! Baca aja pun masih terbata-bata, ini malah berlagak pintar, unggah cerpen recehan ke Facebook. Mampus, dikomentarin pedas, ‘kan! Kasihan!”
Ingatanku melayang. Mengenang ucapan pedasnya, di sebuah kantin, saat istirahat makan siang, tiga tahun lalu. Aku yang saat itu hanya pendatang baru di dunia tulis-menulis, terdiam dengan hati hancur berkeping-keping. Menelan semua perkataannya, tanpa berani membantah. Pasalnya, sejak bangun tidur sampai saatnya makan siang, puluhan pemberitahuan masuk dari sebuah grup menulis di salah satu aplikasi yang aku ikuti.
Tulisan apa ini? Sampah! Alur dan tokoh tidak jelas, tanda baca salah semua. Bacanya bikin sakit kepala!
Sebuah komentar pedas dari seorang penulis terkenal di sana, menghiasi kolom komentar pertama dari tulisan yang aku unggah, kemarin malam. Lalu di bawahnya, berpuluh-puluh komentar masuk dengan nada serupa. Sahut-menyahut membenarkan pendapatnya. Walau ada beberapa yang menyemangatiku untuk terus menulis, tetap saja semangatku saat itu jatuh. Turun ke titik terendah.
Mas, salah saya apa? Tega Mas kasih komentar seperti itu. Padahal, saya masih belajar.
Kukirim sebuah pesan ke akun penulis terkenal itu, dengan linangan air mata, tadi pagi, sesaat setelah membaca komentar-komentar di sana. Siang ini, saat melihat kembali aplikasi berwarna biru itu, pesan yang disampaikan terlihat dia baca, tapi tidak dibalas! Bahkan sampai jam makan siang berakhir pun, balasan tak juga datang.
Hari itu, aku hanya mampu terdiam menerima ejekan demi ejekan dari Diva dan teman-temannya dengan hati yang tak sanggup kugambarkan. Suasana di kantor yang biasanya tenang, sekarang menjadi tak nyaman. Hampir semua orang yang berteman di Facebook, membahas cerpen yang kuunggah, lalu mencibir.
Saat itu juga, semangat juga cita-citaku untuk menjadi seorang penulis, kandas. Dalam hati, aku berjanji tidak akan pernah menulis lagi. Cukup sekali ini. Pertama dan terakhir kalinya. Bahkan, aku berniat akan menutup akun Facebook dan resign dari pekerjaan sekarang.
Namun, ketika sampai di rumah, sebuah pesan balasan dari si penulis terkenal masuk.
Ide cerita kamu sebetulnya sudah bagus, walau pasaran. Teknik penulisan kamu yang berantakan. Pemilihan diksi, banyak yang tidak tepat. Penempatan tanda baca, huruf kapital, semua bikin sakit kepala. Sebaiknya, kamu pelajari lagi teknik menulis. Jangan malas!
Aku tersenyum sinis, seraya berkali-kali mengusap air mata. Mudah sekali dia bicara seperti itu. Gara-gara komentarnya, aku dibuat malu seharian ini. Dengan jari gemetar dan hati tercabik-cabik, kutulis pesan balasan.
Tidak, terima kasih, Mas. Ini terakhir kalinya saya menulis. Tak sanggup lagi saya menerima ejekan dari teman-teman di kantor juga di Facebook. Biar ini jadi pelajaran saja. Maaf kalau tulisan saya membuat Mas Angga sakit kepala.
Singkat dan padat. Sengaja kutulis seperti itu, karena malas bicara berlama-lama dengannya.
Aku pun mulai masuk ke pengaturan Facebook, lalu mencari pilihan untuk menonaktifkan akun. Belum sempat aku klik, tiba-tiba pesan lain masuk.
Wah, kamu hebat, sampai diperhatikan teman-teman segala. Terus, kamu mau berhenti? Kalah sebelum berperang? Sayang sekali.
Aku tertegun membaca pesan masuknya. Lelaki yang aneh. Entah apa maunya. Niat menutup akun pun, kuurungkan.
Ini kritik dari aku. Perbaiki semua, lalu kirim hasil perbaikannya. Itu pun kalau kamu masih ingin jadi penulis.
Apa? Aku menatap layar gawai di tangan. Sederet kritikan pedas kuterima. Nanar mata menatap kata demi kata yang tertuang dengan nomor mencapai puluhan. Padahal, cerpen yang kutulis tidak lebih dari seribu kata!
Penasaran, aku pun mengecek lagi cerpen yang kuunggah. Lalu, berbekal kritikan yang dia beri, tanpa sadar, tangan pun mulai memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Tak lagi kuhiraukan perut yang mulai keroncongan, pun baju kerja yang masih melekat di badan, yang ada dalam pikiranku, hanyalah keinginan membuktikan kalau tulisanku, layak untuk dibaca.
Lalu keesokan harinya, sebuah pesan baru masuk, beberapa menit setelah cerita yang kuperbaiki diunggah.
“Kamu keren, aku tahu kamu pasti bisa membuktikan kemampuanmu. Terus gali ide, dan perbaiki lagi dan lagi setiap tulisanmu. Ditunggu karya berikutnya!”
Aku terbelalak melihat komentar yang masuk. Angga Sang Pemuja, novelis yang kemarin memberi kritikan pedas, hari ini dia memuji? Lalu, di bawahnya, pujian pun aku terima dari akun-akun lain, dan dapat diduga, suasana kantor menjadi nyaman kembali.
Sapaan manis kuterima dari beberapa orang yang berteman denganku di Facebook. Kata penyemangat pun dilontarkan oleh mereka yang aku kenal.
Sejak hari itu, aku menjadi dekat dengan Angga. Sering berkirim pesan membahas tentang dunia kepenulisan, juga tentang ide cerita yang kutuang dalam puluhan cerpen. Bahkan beberapa kali, kami bicara lewat telepon. Sampai akhirnya memutuskan untuk bertemu.
Pertemuan pertama, di toko buku dekat kantorku. Kebetulan, Angga ada janji bertemu dengan teman semasa SMA di kota tempatku tinggal. Perjalanan jauh selama sembilan jam yang ditempuh, tidak menyurutkan semangatnya untuk bertemu. Walau lelah terlihat jelas di wajahnya, tapi dia tetap mengukir senyum.
Tepat di jam yang sudah ditentukan, dia pun datang. Lebih tampan dari fotonya di Facebook. Tinggi tegap dengan penampilan yang macho, khas anak muda kota metropolitan. Kemeja putih yang digulung sampai sikut, dipadu celana jeans biru tua dan sepatu kets, juga kaca mata hitam yang menambah sempurna penampilannya.
Aku sempat gugup waktu pertama berjabat tangan. Namun, sikapnya yang ramah mencairkan suasana kaku di antara kami. Semuanya menjadi hangat. Aku terpesona.
Sejak hari itu, hubungan kami berlanjut menjadi lebih akrab. Tidak hanya masalah dunia literasi yang menjadi bahan pembahasan. Bahkan masalah pekerjaan pun selalu kubicarakan dengannya.
Lalu, tanpa aku sadari, ada rasa yang tumbuh di hati ….
Pertemuan berikutnya, kunanti dengan dada yang berdebar. Sebuah kafe menjadi pilihan untuk kami bertemu. Kali ini, dia datang dengan penampilan yang berbeda dari sebelumnya, lebih rapi dan terlihat dewasa.
Semua berjalan sempurna. Makanan yang lezat, ditambah teman makan yang tampan, juga percakapan menarik, berhasil membuat hatiku melambung ke langit, dipenuhi kebahagiaan.
Sampai kemudian ….
“Nisa, kenalkan … ini Alya, calon istriku.”
Seorang perempuan cantik berusia dua puluhan, datang. Memeluk juga mendaratkan ciuman di pipinya, begitu mesra.
Aku terperenyak!
Saat itu juga, aku tersadar. Apa yang kurasakan ternyata salah. Hanya aku yang merasa dekat, hanya aku yang merasa akrab, dan hanya aku yang jatuh cinta.
Hari itu juga, aku pulang dengan perasaan hancur. Kuhabiskan waktu untuk menangis. Tidak hanya pada malam itu saja, tapi juga malam-malam berikutnya. Setiap kali membuka Facebook, foto Angga dan Alya selalu muncul di beranda. Kartu undangan yang mereka unggah, gaun pengantin yang akan dipakai Alya, sampai tempat bulan madu yang akan mereka tuju, semua mereka unggah ke Facebook, dan tentu saja, mendapat banyak sekali ucapan selamat dari teman-teman Facebook yang lain.
Sekali dua, aku sempatkan mengomentari atau memberi jempol, walau dengan menahan perih di hati dan berlinang air mata.
Saat itu, aku terpuruk. Keinginan menulis menurun drastis, semangat bekerja pun, hilang entah ke mana. Berkali-kali, aku mendapat teguran dari Bu Diva. Sampai akhirnya, aku mewujudkan niatku untuk mengundurkan diri.
“Kamu resign bukan karena patah hati dari Angga si penulis itu, ‘kan? Jangan-jangan kamu berhenti menulis pun, karena dia, ya?” tanya perempuan nyinyir itu saat aku pamit. Wajahnya begitu sinis, dengan senyum kecil tersungging di salah satu sudut bibir. “Jangan bunuh diri, ya!” ucapnya lagi dengan tawa yang tergelak.
Harga diriku tertampar!
Ya, aku memang patah hati. Hatiku memang hancur, tapi tidak, duniaku tidak runtuh!
Segera kutinggalkan kantor tanpa mengucap pamit pada perempuan ular itu, lalu menutup akun facebook, dan memblokir nomor Angga dari daftar kontak.
Walau terseok-seok, aku mencoba bangkit. Membuat akun baru, lalu mulai menulis lagi.
Beberapa kali, Angga mencoba menghubungiku di akun Facebook baruku. Namun dengan tegas, aku menolak keinginannya untuk berteman. Tak patah arang, dia pun menghubungiku menggunakan nomor telepon yang berbeda. Aku yang semula ingin menutup semua akses, akhirnya luluh, menerima panggilan teleponnya dengan hati yang hancur. Lalu, di akhir percakapan kami, satu tahun lalu, kuungkapkan perasaanku. Lalu … dia pun pergi. Dari hidupku, juga hatiku. Untuk terakhir kalinya, malam itu aku menangisi dia.
Aku tersenyum. Membayangkan sosok Angga yang begitu mempesona, berdiri di depan pintu masuk toko buku ini, dengan tangan disisipkan ke saku celananya. Seperti dulu, saat kami bertemu. Namun ….
“Hey! Kamu Nisa, kan? Office girl yang mimpi jadi penulis itu?”
Aku terperanjat. Semua lamunanku tentang Angga buyar. Di sebelahku, berdiri perempuan ular yang sejak tadi kuhindari, tengah memandangiku, sinis. Sejenak, kutarik napas pelan, lalu mengukir senyum, terpaksa. Belum lagi kubuka mulut, dengan niat menyapa, tiba-tiba dia kembali bersuara.
“Nih, lihat! Jadi penulis tuh, harus kayak gini. Idenya keren, ilmunya pun mumpuni, jadinya best seller, kan? Ga kayak kamu. Ngeluarin buku aja pun ga pernah, malah jatuh cinta sama penulis terkenal. Patah hati, kan? Kasihan!” ucapnya pedas, sampai ke level yang cukup untuk membuat amarahku naik.
Andai saja saat ini tidak ada pramuniaga yang datang mendekati kami, ingin rasanya kurebut buku di genggamannya, lalu mengusir perempuan itu dari toko buku ini, tapi ….
“Ibu di sini? Tadi saya cari ke mana-mana,” ucap pramuniaga itu dengan napas terengah-engah saat sudah ada di depanku. “Silakan Bu Diva, bukunya bisa langsung di tandatangani Bu Prasasti,” lanjutnya.
Sesaat, perempuan nyinyir di hadapanku ini menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok yang disebutkan perempuan cantik di sebelahnya. “Yang mana orangnya, Mbak?” Dia bertanya dengan kening berkerut.
Lalu, saat tangan Laras–si pramuniaga–menunjuk tepat ke arahku, dia pun terlihat tersentak. Wajahnya merah padam dengan mata mendelik.
“Mau saya tanda tangan, Bu … bukunya?” tanyaku dengan suara yang sengaja kubuat lembut, dan senyum manis terukir di wajah.
Serta-merta, dia membelalakkan mata, lalu pergi tanpa pamit. Diikuti tatapanku, juga Laras.
Saat itu juga, tawaku pecah. Laras yang berdiri di hadapanku, tampak mengernyitkan keningnya, heran.
Ingin kujelaskan, tapi percuma, dia tidak akan mengerti. Namun, jelas wajah keheranannya berubah ketika melihat perempuan nyinyir tadi bertabrakan dengan seseorang di depan pintu masuk.
Dia menabrak seorang lelaki, yang sukses membuat tawaku berhenti. Angga Sang Pemuja, berjalan menghampiriku dengan mata menatap lekat, tanpa jeda, dan senyum lebar menghiasi wajah tampannya.
Aku pun sadar, sosok yang tadi kulihat berdiri di depan pintu toko, bukan khayalan.
Ya, dia di sini.
Lalu, sesaat kemudian, sebuah tangan terulur di hadapanku. “Annisa Dipta Prasasti, selamat. Kamu berhasil meraih mimpimu menjadi penulis terkenal,” ujarnya dengan wajah dipenuhi kebahagiaan. Di belakangnya berdiri seorang perempuan cantik dengan perut membuncit.
Aku tersenyum, bahagia. Dalam hati, ada ucap syukur tak terhingga. Untuk kata-kata pedas yang dilontarkan Bu Diva, juga hati yang dipatahkan Angga.
Ya, aku Annisa Dipta Prasasti. Penulis buku berjudul ‘Dia’. (*)
Bandung, 21 Januari 2019
Dhanty L. Seorang ibu rumah tangga. Baginya, menulis itu seperti obat yang menghilangkan rasa sakit. Seperti teman yang menghalau sepi, juga seperti setangkup roti yang menghilangkan lapar di pagi hari.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata