Bukti Bakti
Oleh: Yuni L
Kutatap wajah keriput Bapak yang sedang menyesap kopi dari cangkir putih kesukaannya. Sesekali, pria yang usianya telah lewat setengah abad itu menunduk, lalu menatap langit-langit rumah. Iris matanya yang tidak lagi berwarna hitam tampak berkaca-kaca.
“Bapak pingin pulang, Nduk,” ucapnya pelan.
Itu permintaannya untuk kali ke sekian selama seminggu terakhir ini. Pria berambut separuh putih itu menginginkan untuk pulang kampung di tengah kesibukanku yang tidak bisa ditinggalkan. Berkali-kali sudah kuterangkan agar Bapak tetap di sini, tetapi beliau tetap kukuh dengan keinginannya.
“Bapak kangen sama ibumu, Nduk,” ungkapnya berhasil meremas hatiku.
Bapak kembali beralasan bahwa kerinduannya tidak bisa terelakkan lagi. Aku juga rindu Ibu, teramat rindu. Bahkan, ratusan doa yang kulantunkan tak mampu menghilangkan kerinduan itu. Namun untuk sekarang, berziarah ke makam Ibu bukanlah hal penting hingga membuatku dan suamiku harus mengambil cuti kerja.
“Aku juga kangen Ibu, Pak. tapi kita enggak bisa pulang sekarang.”
Sesaat kudengar hela napas panjangnya. Bapak mengalihkan pandangan. Jemarinya yang keriput menyapu sudut matanya pelan.
Aku tahu mungkin beliau sangat kecewa, tapi aku juga tidak bisa mengabulkan pintanya. Masih banyak hal yang harus aku lakukan untuk membuat Bapak bahagia, salah satunya adalah dengan menahan pria cinta pertamaku itu untuk tetap berada di kota ini.
“Maaf, Pak. Aku masih pingin Bapak nemenin aku dan anak-anak.”
Kali ini aku menggunakan alasan cucu-cucunya untuk menahannya agar tetap tinggal. Masih terlalu singkat kebersamaan kami jika Bapak harus pulang sekarang. Beberapa kali permintaan Mas Akbar—kakakku—agar segera mengantar Bapak pulang juga kuabaikan.
Kuseka air mata di pipinya, lalu mengusap punggung tangannya lembut. Senyum yang masih menghangatkan hatiku merekah di wajahnya. Aku tahu Bapak tidak akan mengabaikan keinginan anak bungsunya.
“Mau, ya, Pak, di sini sebentar lagi? Tunggu sampai anak-anak libur. Nanti kita pulang bareng-bareng.”
Bapak tampak berpikir, terlihat dari pandangannya yang beralih menatap langit-langit rumah. “Masmu bagaimana?” tanyanya kemudian.
“Kita bisa video call kalau Bapak kangen sama Mas Akbar dan Mbak Indah.”
Lama Bapak terdiam. Mungkin beliau kehabisan kata-kata untuk membantah putrinya yang keras kepala. Aku tak punya jalan lain untuk tetap menahannya. Sebanyak apa pun waktu dan kasih yang kuberikan selama enam bulan terakhir ini, rasanya tidak cukup membuatku merasa telah berbakti terhadap pria yang pernah bersusah payah membesarkanku itu.
***
Waktu terasa cepat bergulir. Rentetan peristiwa yang terjadi hari ini laksana secepat kedipan mata. Tak sanggup dayaku untuk barang sekali menahan agar tidak terjadi.
Pukul dua siang, aku masih tiduran di kamar dengan anak-anak saat terdengar bunyi vas bunga di ruang tamu terjatuh. Bunyinya tidak begitu nyaring, tapi tetap saja membuatku panik. Berbagai prasangka memenuhi otak, membuatku bergegas menuju sumber suara. Benar saja, Bapak tergeletak di lantai dengan tangan memegang dadanya. Pria separuh baya itu tampak susah payah bernapas.
“Nduk, to-long Bapak!” ucap Bapak terputus-putus.
Tangis kedua anakku, Gendis dan Akmal, saat melihat kakeknya, membuatku dilanda rasa panik. Gegas aku berlari keluar mencari bantuan.
Saat ini, di balik kaca ruang ICU yang terasa lebih dingin dari seharusnya, aku menatap tubuh lemah itu. Pria yang tadi pagi masih kulihat senyumnya kini terbaring tak sadarkan diri. Berbagai selang terpasang, sayangnya aku tidak terlalu ingin tahu fungsi satu per satu alat yang menempel pada tubuh renta itu. Yang aku inginkan hanya Bapak kembali bangun dan mengelus kepalaku seperti biasa.
Tepat pukul sembilan malam lebih lima belas menit, Bapak dinyatakan meninggal dunia. Segala upaya yang kuperjuangkan untuk menahannya tetap bersama kami terasa sia-sia. Aku menangis dalam kekalutan. Erat pelukan Mas Herman berikan, tetapi tidak bisa menjadi kekuatan yang sanggup membuatku berdiri tegak untuk saat ini.
“Mas, tolong persiapkan pemakaman untuk Bapak. Kami akan pulang.” Terbata-bata ucapanku saat menghubungi Mas Akbar. Tak kalah didera kesedihan mendalam, laki-laki itu terdengar menangis tersedu-sedu. Keinginannya untuk bergantian mengurus Bapak menjadi penyesalan yang tidak bisa kusangkal. Aku yang memberi jeda kebersamaan di antara mereka.
“Sudah, Dek. Kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Semua sudah menjadi ketetapan-Nya.” Lembut tangan kokoh milik Mas Herman mengelus pundakku.
Semua memang ketetapan-Nya. Tapi, ditinggal pergi seorang ayah adalah patah hati yang tidak bisa bertumbuh lagi.
Malam yang seharusnya belum terlalu larut terasa begitu sepi. Bayangan kebersamaan dengan Bapak satu demi satu bermunculan. Sesal menggunung sebab aku belum bisa membahagiakannya.
Harta yang kukumpulkan mati-matian nyatanya tidak bisa menahan Bapak untuk tetap tinggal. Pun dengan perawatan nomor satu di rumah sakit ini tidak mampu membuat Bapak bisa kembali merangkul anak dan cucu-cucunya.
“Kamu tunggu di sini! Mas akan pulang dan mempersiapkan keperluan untuk pulang kampung.” Lelaki berperawakan tinggi itu segera beranjak setelah memastikan aku baik-baik saja. Bu Mira yang menemani sedari tadi mendekatiku, merangkul lalu mengucapkan kalimat penguatan yang masih tidak berpengaruh untukku.
Nanar kutatap tubuh Bapak yang hendak dimasukkan ke ambulan. Lirih kubisikkan kalimat di telinganya. “Bapak, kita pulang, ya. Bapak kangen sama Ibu, ‘kan? Jangan sedih lagi, ya Pak. Bapak pulang yang nganter banyak.”
Dengan jemari kuhapus sisa air mata. Aku menghela napas panjang, berharap segala kekuatan menjamah hati yang telah remuk redam. Sesaat tersadar bahwa sesempurna rencana tidak akan terlaksana jika Tuhan tidak berkehendak. Rencana naik haji bersama yang akan aku kabarkan akhir pekan nanti nyatanya hanya menjadi saksi bisu atas kepongahanku sebagai manusia.
***
“Nay, kita harus berbicara masalah harta warisan sekarang.” Mas Akbar datang saat rumah telah sepi dari tamu selepas acara tahlilan tiga harian. Aku sendiri memilih duduk di teras rumah, mengingat kembali saat-saat kebersamaan dengan Bapak dan Ibu ketika keduanya masih ada.
“Apa tidak terlalu cepat, Mas?” tanyaku sembari menatap laki-laki berhidung mancung di sampingku. Kami duduk bersebelahan disela sebuah meja kecil.
Suasana malam yang sepi menambah senyar lara dalam hati. Belum genap tujuh hari Bapak meninggal, Mas Akbar sudah membicarakan warisan yang sama sekali tidak aku minati. Harta peninggalan Bapak memang lumayan banyak, tetapi membicarakannya sekarang justru menciptakan luka baru.
“Sebelum suatu saat nanti ini menjadi masalah dan menjauhkan kita sebagai saudara,” ucap Mas Akbar menjelaskan.
Tidak ada satu jam pembicaraan menyangkut harta peninggalan Bapak menemui kesepakatan. Rumah dan tanah yang Mas Akbar tinggali saat ini akan sepenuhnya menjadi miliknya, sedangkan dua lahan persawahan adalah bagianku.
Entah baik atau tidak, tetapi aku merasa mungkin Mas Akbar ada benarnya. Sering kali jika menunda kebaikan maka keburukan akan datang mengisi celah, lalu menjadikan jarak yang nyatanya jauh akan terpaut makin jauh.
“Rumah Bapak tetap milikmu, Nay. Jadi sering-seringlah kamu pulang! Kunjungi makam Ibu dan Bapak!”
Aku menangguk mengamini permintaan Mas Akbar. Pulang adalah hal yang pernah aku tunda-tunda. Alasan kesibukan menjadi pembenaran mengelak isyarat rindu yang dulu sering Ibu dan Bapak tunjukkan.
Lama bersama kami berjeda sunyi.
“Mas, aku mau bicara penting.”
“Bicara apa?”
Sesaat, keraguan datang menyergapku. Namun, menyampaikan wasiat Bapak adalah keharusan. Sekali pun wasiat itu menjadi sembilu yang perlahan mengiris-iris hatiku … sebagai seorang anak.
“Nay, mau bicara apa?”
Suara Mas Akbar menghancurkan lamunanku. Aku menegakkan posisi duduk, menarik napas, lalu bersusah payah menghela ingatan di malam ketika Bapak berpulang. Tepat setelah beliau dinyatakan meninggal dunia, Bude Mira mengatakan wasiat Bapak.
“Bapak pernah bilang ke Bude Mira dan Pak Rahman tentang keinginannya, Mas.”
“Bu Mira dan Pak Rahman itu siapa?” Laki-laki berkumis tipis itu mengernyitkan dahi.
“Tetangga samping rumah. Bapak suka datang ke sana.”
Mas Akbar manggut-manggut.
“Beberapa hari sebelum Bapak meninggal, Bapak pernah mengatakan kalau Bapak pingin pulang karena pingin sama-sama dengan Mas Akbar mendoakan dan merawat makam Ibu. Bapak juga bilang kalau Bapak pingin ketika nanti meninggal Bapak diperlakukan sama seperti Ibu. Bapak seneng lihat Mas doain Ibu di makam setiap hari selepas subuh.”
“Harusnya kamu membiarkan Bapak pulang saat Bapak meminta pulang, Nay.”
“Aku minta maaf, Mas. Aku cuma pingin bisa membahagiakan Bapak,” kilahku tak mau kembali disalahkan.
“Dengan membelikan barang-barang yang kamu pikir bisa membuat Bapak bahagia?”
Aku mengiakan dalam hati, meskipun nalarku bicara tidak. Bapak memang tersenyum saat aku memberinya apa yang kupikir belum pernah Bapak dapatkan. Namun nyatanya di bulan ke empat Bapak tinggal bersamaku, beliau tetap meminta pulang.
“Orang tua tidak butuh itu, Nay. Di masa tuanya, Bapak cuma butuh teman bicara dan teman untuk membimbingnya semakin dekat dengan Gusti Allah.”
Seperti tertampar, tertarik ingatanku pada masa-masa Bapak tinggal bersamaku di Jakarta. Aku yang terlalu sibuk jarang mengobrol berdua dengan Bapak. Beliau lebih sering menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya, bukan dengan aku yang katanya ingin membaktikan diri kepada Bapak di masa tuanya.
“Ada atau tidak wasiat Bapak, Mas akan tetap merawat makam kedua orang tua kita, Nay,” ucap Mas Akbar berjanji, membuatku tenang seketika.
“Mas, besok atau lusa, aku harus berangkat. Mas Herman cuma dapat cuti empat hari.”
Mas Akbar beralih menatapku. Sisa-sisa kesedihan masih terpancar di wajahnya.
“Enggak apa-apa, Nay. Biar Mas yang urus sisanya. Suamimu punya tanggung jawab yang enggak bisa ditinggal. Tapi jangan lupa di mana pun kamu berada jangan berhenti mendoakan orang tua kita.”
“Iya, Mas. Nanti untuk biayanya biar aku yang tanggung dan Mas Akbar enggak boleh nolak,” pintaku tegas, membuat Mas Akbar mengangguk ragu-ragu.
Setelah Mas Akbar masuk rumah, aku menghela napas panjang, mencoba mengurai segala sesak yang masih kuasai hati. Esok atau lusa aku harus kembali sibuk dengan rutinitasku, bedanya sekarang tidak ada lagi tempat untukku pulang. Bapak, Ibu semoga maaf kalian masih selalu lapang untukku. (*)
Yuni Lestari, akrab di sapa Yuni, lahir dan besar di Desa Wiyorowetan, Kabupaten Pemalang. Ibu satu anak yang mempunyai hobi membaca, menulis, dan merajut. Bisa bersilaturahmi dengan penulis melalui akun FB: Yuni Lestari.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay