Bukan Tentang Memilih

Bukan Tentang Memilih

Bukan Tentang Memilih

Oleh: Reza Agustin


Naura membasuh wajah dengan setangkup air wudu. Udara dingin yang melewati celah-celah dinding meniupkan bisikan agar ia lebih baik tidur. Malam masih panjang dan tersisa banyak waktu untuk melanjutkan tidur. Namun, ia bersikukuh meneruskan dua rakaat sunah yang sudah empat hari ke belakang ditekuni. Setelah dua rakaat tuntas, ia meneruskan beberapa bacaan surat pendek dan zikir yang cukup lama sementara jemari tangannya bergerak cepat menggeser butir-butir tasbih.


Nyaris satu minggu berlalu dan ia belum mendapat pertanda atas pilihan yang tiba-tiba dibebankan padanya. Belum ada pukul tiga dini hari ketika Naura kembali merebahan diri di atas ranjang. Pikirannya mengelana, dibawa begitu saja pada percakapan antara ia dan Bunda beberapa minggu lalu. Ketika ia baru saja pulang dari tugas relawan di sudut hutan Sumatera.


“Diaz dan Aziz mengirim lamaran untukmu. Di antara mereka berdua, manakah yang kamu inginkan jadi suami?”

Dua nama tersebut bukan orang asing bagi Naura maupun Bunda. Diaz adalah anak teman Bunda, Naura pun selalu satu sekolah dengan pemuda berwajah periang tersebut sejak SMP hingga SMA. Sedangkan Aziz adalah kakak tingkatnya ketika menempuh pendidikan tinggi di universitas. Jika, Diaz adalah orang yang dikenal Bunda dengan baik luar dan dalam, maka Aziz adalah orang cemerlang yang membuat orang lain mencari namanya di internet. Aziz adalah idola para ibu-ibu yang mendambakan menantu saleh. Wajahnya sering terlihat di televisi sebagai peserta pencarian ustaz dan juri sekaligus mentor di beberapa kompetisi hafiz cilik.


Bunda sangat bahagia ketika tahu putrinya dilamar idola para ibu-ibu. Namun, perempuan yang lebih tua itu pandai menyembunyikan ekspresi kendati Naura tahu bahwa ibunya sedikit memihak Aziz. Terbukti dengan beberapa pujiannya kepada pemuda yang memiliki potongan wajah Arab tersebut tiap kali muncul televisi, nyaris di setiap kesempatan.


Diaz juga bukan calon suami yang buruk. Kepribadiannya baik, orangnya supel, dan selalu lembut pada perempuan. Bicara tentang pengetahuan agama Diaz—yang jadi tolok ukur utama jika dibandingkan dengan Aziz—ilmu agamanya bisa dibilang lebih baik daripada Naura kendati memiliki tampilan santai ala anak muda pada umumnya. Terlebih lagi, Diaz memang dituntut memiliki banyak koneksi untuk mempromosikan bisnisnya. Pemuda itu memiliki ambisi besar untuk memperkenalkan kuliner lokal ke mata dunia. Ia sudah memiliki lima gerai yang berfokus pada masakan lokal cepat saji. Secara finansial, Diaz sendiri belum stabil jika dibandingkan dengan Aziz yang sering wara-wiri di televisi.


Namun, dengan ketimpangan yang cukup nyata di antara keduanya, Naura belum memikirkan pernikahan. Ia masih nyaman berbagi dengan anak-anak suku pedalaman, anak-anak yang kehilangan sekolah setelah bencana, ataupun anak-anak yang ketakutan ancaman perang. Menjadi relawan yang berbagi pada anak-anak kurang beruntung itu adalah sebuah kewajiban, ia tidak bisa membuat pilihan tentang mereka. Ia tak ingin kehilangan kesempatan berbagi dengan mereka.

“Maaf, Naura. Saya bisa menafkahimu secara lahir dan batin, tapi saya tidak akan pernah berbesar hati membiarkanmu jadi relawan. Lagi pula, jika saya menunggumu lebih lama, mungkin kita sudah terlalu tua untuk menikah.” Itu adalah kalimat yang diucapkan Aziz suatu hari, sehari sebelum Naura berangkat ke Gaza.


Naura tak menampik fakta bahwa ia dan Aziz memiliki hubungan tak berbentuk. Pemuda tersebut telah beberapa kali mengungkapkan keinginan menikahi Naura tiap kali hendak berangkat menjadi relawan. Aziz juga memberikan batasan pada dirinya sendiri agar tidak mendekati perempuan lain. Pada akhirnya, Aziz tidak menyetujui baik Naura menjadi relawan. Tak ada bedanya dengan mengurung Naura dalam sangkar pernikahan.


Diaz mendukung Naura menjadi relawan, jika dibandingkan dengan Aziz. Tapi itu dulu, sebelum ia disibukkan dengan bisnisnya. Kini, Naura tak lebih dari tempat Diaz berkeluh kesah. Selama aksi relawan Naura tidak mengusik bisnisnya, maka Diaz akan berpihak pada Naura.


“Ya, kamu tahu sendiri, kan, kalau aku akhir-akhir ini sibuk banget. Pembukaan gerai keenam tinggal menghitung minggu sementara ….”


Diaz akan memonopoli waktu Naura dengan serentetan ceritanya tentang gerai yang baru, lawan bisnis, prospek usaha yang lain, dan banyak hal lain. Naura terpinggirkan dengan segala ambisi itu. Jika membayangkan Diaz akan membiarkannya terbang ke bagian bumi mana pun sambil dijadikan alat promosi berjalan, Naura merasakan hatinya remuk. Tentu ia senang jika Diaz bermurah hati menjadi donatur, tetapi tidak jika bantuannya dijadikan sebuah iklan.


Mata Naura memanas. Di antara kedua pilihan tersebut, tak ada yang membuat hatinya bergetar karena bahagia. Hatinya justru diliputi kekhawatiran dan ketakutan. Dalam hati, berulang kali ia menyebutkan nama Sang Khalik. Ia ingin protes, ia ketakutan, apakah pilihannya nanti tepat? Apakah pilihannya akan menyakiti hati Bunda? Mengapa sampai sekarang hatinya tetap saja meragu kendati sudah berkali-kali menjalankan salat istikharah dan melantunkan doa-doa di malam yang panjang?


Ia gelisah, meringkuk di tepi ranjang. Kalau saja ia mendapat pertanda apa pun, melalui mimpi misalnya. Mungkin ia tak akan segelisah ini. Hawa dingin yang berembus pelan kembali menerobos dinding, lalu melalui angin yang bertiup lewat ventilasi, sebuah ketukan menjatuhkan pigura foto di dekat nakas. Dada Naura bergemuruh ketika memungut kenangan menjadi relawan pertama. Ia masih gadis lugu yang ketakutan ketika melihat segala kekacauan sehabis bencana.


Kekeh bahagia anak-anak, ekspresi kagum mereka saat melihat hal-hal yang baru, air mata mereka ketika tidak bisa menguatkan diri di tengah cobaan. Ia terbang seperti pahlawan super. Mengulurkan tangannya, merengkuh mereka dalam pelukan kasih, dan membisikkan bahwa segalanya akan menjadi lebih baik ketika badai telah berlalu. Seperti menjadi manusia karet, kedua lengan Naura memanjang sehingga bisa memeluk seluruh anak-anak itu. Entah mereka anak-anak suku pedalaman yang baru mengeja huruf, anak-anak yang kehilangan segala hal dalam bencana, ataupun anak-anak yang begitu dekat dengan kematian di tanah perang, Naura ingin menghujani mereka dengan banyak cinta. Satu-satunya hal yang ia punya.

“Naura! Ayo salat Subuh dulu, Nak.”

Panggilan dari Bunda membuat mata Naura sepenuhnya terbuka. Pigura itu masih dalam pelukan dan bantalnya basah oleh air mata.

“Naura? Kamu habis menangis? Ada apa? Ayo, cerita ke Bunda.” Bunda buru-buru duduk di tepian ranjang putrinya, lantas menatap Naura dengan penuh kekhawatiran.

Sembari mengusap air mata, Naura memberikan jawaban atas doa-doanya bermalam-malam ini. “Naura lebih memilih jadi pahlawan super atau peri bagi anak-anak, Bun. Mungkin menikah belum jadi pilihan yang terbaik buat Naura.”

Bunda selalu pandai menyembunyikan ekspresinya, termasuk sendu. Sebagaimana perempuan itu dan Diaz mengantar Naura hingga bandara ketika ia memutuskan menjadi relawan lagi bagi anak-anak di Gaza. Aziz kembali pada rutinitasnya menjadi juri dan mentor bagi para hafiz cilik. Anak-anak di Gaza entah mengapa sangat mengagumi sosoknya ketika Naura memutar video Aziz melalui gawainya yang disambungkan ke proyektor.

Sebuah ketukan di pintu datang ketika Naura sedang asyik menerjemahkan apa yang Aziz katakan pada video pada anak-anak tersebut. “Naura, ada bantuan baru datang. Dari Mesir kali ini, bantu aku ke sana, yuk!” Panggilan itu datang dari Kayla, salah satu rekannya sesama relawan yang juga berasal dari Indonesia. Keduanya mengobrol singkat selama perjalanan menuju gudang bantuan. Tak sadar jika seseorang juga menuju arah yang sama kendati datang dari arah berlawanan. Tubuh tingginya menabrak Naura hingga gadis itu terjatuh.

I’m so sorry, Miss. I was in a rush.” Pria itu mengatupkan kedua tangan di depan dada. Di belakangnya beberapa anak berdatangan, mereka lantas bersembunyi di balik tubuh pria tersebut yang tinggi.


“Take it easy, Sir. It’s not a big deal.” Naura buru-buru bangun dengan bantuan Kayla. Ketika matanya berserobok dengan pria tersebut, dada Naura bergemuruh.


I’m Khaled and I just arrived. So, I’m in your care right now.” Pria tersebut memberikan seulas senyum yang tampak hangat bagi Naura.

Naura teringat, jauh dalam mimpinya waktu itu, wajah pria ini berkelebat.

 

2020


Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Penggemar tulisan fiksi dan penyayang kucing.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply