Bukan Siapa-Siapa

Bukan Siapa-Siapa

Bukan Siapa-Siapa
Oleh: Dyah Diputri

Aku tidak lagi mengerti apa artinya cinta, tetapi yang kutahu … selama detak jantungku masih berdetak, aku harus membahagiakannya.

Namanya Cheryl. Bocah cantik berusia tiga tahun yang sangat menggemaskan. Rambut lurus sebahu dengan poni tak beraturan membungkus siluet oval wajahnya yang putih. Meskipun hidungnya jauh dari kata mancung, tetapi bibir kecil nan tipis melengkapi kekurangannya. Saat sesungging senyum tergaris—membuat matanya tampak semakin sipit—maka tak ada lagi calon wanita berparas sempurna lima belas tahun mendatang, bagiku. Ya, cukup bagiku.

“Om Amin, sudah pulang kerja?” celotehnya—khas anak balita—begitu aku tiba di rumah pukul sembilan malam.

“Iya, Sayang. Gimana hari ini? Jadi anak pintar, kan?” Kugendong tubuh mungilnya, kemudian kudaratkan ciuman gemas di pipi gembil itu.

Cheryl mengangguk sambil sesekali terkikik karena geli. Rupanya kumisku yang mulai memanjang membuat dia tak betah berlama-lama dalam pelukanku.

Bocah itu berlarian mengelilingi ruang tamu. Setelah merasa lelah, barulah ia berhenti dan meminta botol susunya pada Ibu.

“Cheryl sudah besar. Tahun depan sudah mulai sekolah PAUD.” Ibu menghampiriku setelah menyuruh Cheryl duduk di sofa dan meminum susunya.

Hanya seulas senyum kecut yang menjadi jawabanku. “Gak nyangka, ya, Bu. Secepat itu waktu berlalu.”

Tiba-tiba bola mataku memanas. Bukan kelilipan, bukan pula mengantuk. Aku … ingin menangis. Namun, kutahan agar tak sampai tumpah di depan Ibu. Apalagi di depan Cheryl.

Si gadis imut masih menikmati isapan menu terakhirnya sebelum memejamkan mata. Beberapa kali ia berhenti menyusu, lalu menciptakan lelucon-lelucon tak terduga hingga aku tergelak.

Terasa nyeri dada kiri ini. Sebuah letupan masa lalu yang kembali mendidih saat aku menatap Cheryl. Sebuah kenangan menyakitkan yang tak harus kubagi dengannya.

“Mei, tidak cukupkah aku yang bekerja? Kenapa kamu harus meninggalkan bayi ini sendiri di rumah?” hardikku pada wanita keturunan Cina itu manakala kakinya baru menginjak teras.

“Ada kamu, kan, yang jaga dia?” jawab wanita bernama Meilin itu, enteng sekali. Tanpa beban. Dia melepas sepatunya, menyimpan di rak sepatu yang hampir penuh, lalu bergegas masuk ke kamar mandi.

“Aku buru-buru pulang karena kamu terlanjur pergi. Kalau aku terlambat membaca pesanmu, bayangkan … apa yang akan terjadi pada anak kita? Penculik, jatuh dari boks bayi, menangis karena haus … hei, Mei. Di mana otakmu?” Aku mulai emosi. Tak sadar tangan yang mengepal menggedor pintu kamar mandi.

Mei keluar. Masih tanpa rasa bersalah. Alih-alih minta maaf, dia malah tak acuh.

“Aku tak bisa merawatnya, Amin. Aku tak sabaran. Biarkan aku saja yang bekerja, rawatlah dia,” keluhnya.

“Apa kamu sama sekali tak punya rasa keibuan, heh? Mei, aku tahu dia hadir karena kesalahan masa lalu kita, tapi bayi ini tak pantas menerima hukumannya.”

“Amin, berhentilah mengoceh. Kamu tahu, kan? Dia berawal dari sebuah kesalahan, lalu tak bolehkah aku menikmati kebebasanku setelah sembilan bulan aku mengantunginya dalam rahimku?”

Emosiku mendadak meluap. Panas di ubun-ubun tak dapat lagi kucegah. Satu tamparan keras membuat pipinya memerah. Setelahnya, tanganku gemetar, hati pun terasa sakit.

“Kalau kamu memang tak menyayanginya, tak perlu kamu menyakitinya. Daripada memiliki ibu macam kamu, lebih baik Cheryl tidak pernah mengenal dirimu!”

Kukemasi segala keperluan Cheryl dalam satu tas besar. Tak lupa susu, termos air panas kecil, dan diapers bayi lima bulan itu.

Kuambil gendongan kain yang warnanya masih cerah, pertanda ibunya jarang menggunakannya. Air mataku menitik, jatuh tepat di pipi bayi kecil yang mulai menangis karena haus. Kucium ia sebelum mendekapnya erat dalam gendongan.

“Amin, mau ke mana?” Meilin berteriak.

Aku hampir menghentikan langkah. Terlebih saat membuka pintu, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Air mataku semakin tumpah. Bimbang. Benarkah keputusan ini?

Cheryl terus menangis. Namun, ibunya hanya berdiri terpaku di belakangku. Tak mencegah, tak juga berusaha membuat tenang putrinya. Ganjalan di dadaku semakin membesar, menyesakkan.

Kuambil payung yang tergantung di sisi kiri pintu. Tak lupa kueratkan tali tas di bahu. Botol susu yang isinya tinggal sedikit kulekatkan di bibir mungil itu sampai ia berhasil mengisap.

“Bismillah. Semoga Allah memudahkan langkah kita, Nak.”

Jangankan hujan badai, nyawa hampir terpenggal putus pun akan kukorbankan untuk anakku, karena aku seorang ayah.

“Masukkan KK Bapak saja, Bu.” Aku mengakhiri penjelasan panjang di hadapan orangtuaku tentang Cheryl. Lama tak mendengar kabarku di rantau, tahu-tahu aku pulang membawa bayi kecil.

“Gimana sama akta lahirnya, Min?” tanya Bapak.

“Jadikan anak Bapak saja.” Seakan baik-baik saja, tetapi nyatanya air mataku tak sanggup terbendung lagi.

“Tapi kamu ayahnya.” Ibu menepuk punggungku.

“Pernikahanku tidak bisa dijadikan acuan untuk nasabnya. Lagi pula, aku tidak mau anakku besar tanpa mengenal siapa ibunya. Amin mohon, Pak, Bu. Jadikan Cheryl anak kalian.”

Sinar matahari begitu menyengat siang ini. Asap dan debu jalanan berpadu menjadi kabut berbau yang membuat mual. Kendaraan lalu lalang dengan kecepatan di atas rata-rata. Entah karena efek musim panas ataukah karena kondisi tubuh yang tidak fit hari ini. Jadi, semua yang tertangkap indra penglihatan tampak bergerak kacau dan membosankan.

Sebenarnya Ibu melarangku berjualan hari ini. Namun, mengingat persediaan susu dan diapers yang hampir habis, kuputuskan untuk tetap membuka gerai pempek ini. Berapa pun hasilnya—karena harus kubagi dengan tabungan untuk sewa rumah dan biaya pengobatan strok Bapak—setidaknya bisa menutup-tambal kekurangan.

Tiba-tiba dari jauh kulihat Ibu dan Cheryl turun dari angkutan umum. Berjalan bergandengan tangan menuju ke arahku.

Tubuhku semakin menggigil. Mata juga berkunang-kunang. Teriakan tukang parkir beberapa meter di dekatku terdengar tak keruan. Tepat sebelum gadis itu memanggil namaku dengan sebutan “Om” … aku jatuh tak sadarkan diri.

Aku tak lagi mengenal cinta. Namun, demi seseorang, kutawarkan satu-satunya nyawa sebagai penghidup kebahagiaannya.

“Kata Om Dokter, Om Amin kecapekan. Makanya, jangan kerja terus. Pagi jualan, malam masih ngojek,” celoteh Cheryl saat mata ini baru terbuka.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Sebuah ruangan seluas enam meter persegi dengan cat putih di seluruh sisinya. Aroma klor dan obat-obatan menyeruak ke hidung. Sebuah pintu kaca dengan tulisan ICU di sisi luar kubaca terbalik.

“Istirahat, Min. Jangan memforsir tenagamu. Apa artinya uang jika kamu tak punya kesehatan? Bagaimana bisa membahagiakan Cheryl kalau kamu sampai sakit begini? Yang ada Cheryl malah sedih. Ibu juga.”

Cheryl mengangguk-angguk, mendukung Ibu. Sejurus kemudian ia melenggang naik ke ranjang tempat aku berbaring. “Cheryl kangen Om. Ayo kita jalan-jalan naik perahu. Naik kereta api juga. Tuut … tuut!”

Satu usapan jemari mungilnya menghapus air mataku. Satu tangan lainnya memainkan kumis layaknya seorang putri yang berusaha menggoda ayahnya. Namun, aku bukan siapa-siapa.

 

Malang, 14 Februari 2019.

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata