Bukan Milikku

Bukan Milikku

Bukan Milikku
Oleh : Dhilaziya

Erlita terus saja menangis, meski ibunya tidak berhenti membujuk. Gadis kecil dengan rambut berpita merah jambu itu begitu sedih. Mimi hilang, sebagian karena kesalahannya, lupa mengajak Mimi pulang.

“Bonekamu kan banyak, Sayang. Sudahlah, lagi pula Mimi sudah jelek dan tua.”

“Enggak mau! Kasihan Mimi. Dia pasti kepanasan, sendirian enggak ada yang ngurus!”

Air mata Erlita semakin deras. Mimi tertinggal di stasiun. Mereka tadi pergi berbelanja, pergi dan pulang naik commuter line.

Boneka kelinci yang dimilikinya sejak sembilan tahun lalu, hadiah ulang tahun pertama dari ayah yang bekerja di luar kota. Beberapa bagian tubuhnya pernah koyak, lalu dijahit dengan tangan oleh ibunya. Bagi Erlita, dari siapa Mimi didapatkan yang membuatnya begitu berharga.

“Ibu kan sudah beli boneka baru yang persis sama Mimi. Kamu enggak mau, masih utuh dibungkus plastik dalam lemari. Sudah, jangan menangis lagi.”

“Ibu jahat! Kalau Mimi dibuang ke tempat sampah gimana? Atau diambil orang jahat? Mimi enggak diurus, enggak dimandikan, enggak disayang?”

“Kalo misalnya Mimi malah ditemukan sama anak yang juga penyayang boneka kayak kamu, gimana? Atau anak yang enggak punya boneka sebanyak kamu, yang miskin dan enggak mampu beli boneka?”

“Enggak mau tahu! Aku mau Mimi pulang!”

“Terus maunya Erlita gimana?”

“Ya balik ke stasiun! Cari Mimi sampai ketemu!”

“Astaghfirullah!”

Walaupun rutin dicuci dan tidak pernah dibawa bermain ke tempat yang kotor, Mimi tetap saja sudah berubah menjadi boneka buruk rupa. Tubuhnya kempes dengan warna kusam. Terkadang, ibunya gemas ingin sekali membuang benda mainan itu setiap kali truk sampah datang.

***

Di bangku stasiun tempat Mimi tergeletak, seorang gadis sebaya Erlita begitu bahagia menemukannya. Boneka itu ditimangnya penuh kasih sayang. Jemari kecilnya membelai mata, memencet hidung, dan mengelus kupingnya yang menjuntai.

“Boneka ini boleh aku ambil, kan, Mak?”

Tanpa mengalihkan perhatian dari benda di pelukannya, gadis yang mengenakan rok selutut itu meminta persetujuan ibunya. Seorang perempuan di awal tiga puluh yang tengah berkutat dengan beberapa dus berisi dagangannya.

“Nanti kalau yang punya nyariin, gimana?”

“Ya kalau ada yang punya, dibalikin. Kita tunggu sampai keretanya datang. Ya, Mak, ya?”

Restu menatap putri tunggalnya sekilas. Wajah anak yang tak pernah tahu siapa ayahnya itu terlihat begitu semringah. Mendekap boneka sambil bergerak perlahan seolah menidurkan bayi. Pasti gadis itu meniru perbuatannya saat mengasuh bayi tetangga, yang ditinggal ibunya bekerja.

“Mudah-mudahan emang enggak ada yang punya. Atau sudah dibuang. Jadi Mamak enggak usah beli boneka buat aku. Ini aja.” Kembali gadis kecil itu berceloteh, lirih.

Helaan napas panjang Restu seolah menceritakan hatinya yang risau. Belum pernah sekali pun dia membelikan boneka untuk anaknya, meski telah sering Wuri meminta. Penghasilannya sebagai penjual es dan pengasuh bayi hanya cukup untuk menyambung hidup. Boneka terlalu mahal baginya.

Sebuah pertanyaan dari wanita yang menggandeng anak seusia Wuri mengalihkan perhatian Restu.

“Apakah boneka ini milikmu?”

“Bukan. Aku menemukannya di sini. Mungkin tertinggal oleh pemiliknya.”

Erlita duduk di sebelah Restu. Sudah beberapa menit yang lalu dia mengamati cara Wuri menggendong Mimi. Sebelum akhirnya mendekat dan meminta ibunya bertanya.

“Kamu punya boneka apa aja?”

“Enggak punya. Mamakku belum punya uang buat beli. Kata Mamak, beli boneka duitnya harus banyak.”

“Kamu suka boneka ini?”

“Iya. Mudah-mudahan yang punya enggak balik lagi. Boneka ini bagus banget.”

“Kalau ternyata balik terus diminta?”

“Ya enggak apa-apa. Kan memang bukan punyaku. Atau … jangan-jangan ini punya kamu, ya?”

“Bukan. Bonekaku ada di rumah. Boleh aku memeluk bonekamu sebentar? Ini persis seperti milikku.”

“Boleh, hati-hati. Dia baru saja tidur.”

Mimi berpindah gendongan dengan amat lembut. Erlita menimangnya sebentar, mendekapnya erat lalu mengangsurkannya kembali kepada gadis di depannya.

“Terima kasih. Aku pulang dulu, ya.”(*)

 

Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.

Editor : Uzwah Anna

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply