Bukan Menantu Idaman

Bukan Menantu Idaman

Bukan Menantu Idaman
Oleh: Arnosa

Kami berdua diam membisu. Mataku tak berhenti memandang wajahnya yang layu. Paku-paku yang sudah kutelan dan bersarang di hatiku, membuat rasa ibaku sudah menghilang. Dia, ya dia. Wanita yang sudah membuat syaraf belas kasihku putus. Wanita yang sudah menghancurkan impianku.

“Buk, maafkan Saffa, geh.”

“Gampang men ngomong gitu. Dikit-dikit maaf. Dikit-dikit nangis. Ibuk wes nelongso suwe. Kowe wes ngasih ibuk paku buat Ibuk makan. Sampah yo wes Ibuk telan. Sekarang kowe nemui Ibuk. Ibuk sudah sakit, Nduuk.

Geh, Buk. Saya paham. Saya ngerti. Ibuk membenci saya. Apa pun kebaikanku terlihat buruk di mata Ibuk. Tapi, apa gak ada celah sedikit aja untuk maafin Saffa.”

Saffa bersimpuh di kaki Bu Romo. Berharap setiap rangkaian bunga yang keluar dari mulutnya bisa meluluhkan hati Bu Romo.

Wes, kowe ndang pulang. Mesakke suamimu sama anakmu.”

Bu Romo mengangkat kaki dan masuk ke kamar. Dalam hati, Saffa merasa senang. Baru kali ini, Bu Romo perhatian dengan cucunya.

***

Di kamar, Bu Romo tidak behenti menangis. Dia masih membenci takdir yang diterima. Putra yang digadang-gadang meneruskan bisnis keluarga mengkhianatinya. Pergaulan yang salah, dan perhatian yang kurang membuat pedang takdir memutuskan harapannya. Putranya yang sejak kecil sudah ditinggal bapaknya, membuat Bu Romo harus memegang bisnis sendirian. Beban perusahaan harus dipikul sendiri.

“Le, kowe kudu belajar yang rajin. Ojo neko-neko.”

Kata itu selalu terngiang di telinga Bu Romo. Namun, kata itu tidak pernah didengar oleh Rangga, putranya. Bu Romo harus melawan anjing-anjing dalam perusahaan. Mereka menggonggong ingin merebut kekuasaan. Karena kegigihan Bu Romo mereka bisa disingkirkan.

Tidak jarang juga, babi-babi kesepian melamarnya. Namun, semua berakhir dengan penolakan. Bu Romo hanya punya satu tujuan hidup, yaitu melihat putranya bisa berhasil. Tujuan hidupnya hancur kala seorang gadis datang padanya, berkata kalau dia sudah berbadan dua karena putranya. Gadis itu adalah Saffa, yang setiap satu bulan sekali pasti mengunjunginya hanya untuk meminta maaf. Karena dia putranya harus kehilangan masa depan. Karena dia Bu Romo kehilangan tujuan hidup.

Kenangan demi kenangan yang buruk berjalan, bahkan selalu berlari dan berputar dalam pikirannya. Bu Romo hanya bisa berserah diri, bersujud menghadap-Nya. Agar hatinya bisa lapang menerima takdir dari-Nya.

***

Saffa kembali ke rumah dengan riang. Keteguhan hatinya pasti membuahkan hasil. Kegigihannya pasti bisa meruntuhkan dinding kebencian Ibu Mertuanya.

“Mas.”

“Hem, ada apa Dek?”

“Aku seneng deh, Ibuk kayak-e udah mau maafin kita. Ibuk mulai perhatian sama kamu dan Affan.”

Mosok, Ibuk ki benci loh ma aku. wong aku ae anaknya minta maaf beribu-ribu kali, tapi Ibuk gak mau mendengar.”

“Mas, Ibuk ki aslinya ya kesepian. Tapi, ini cuma soal waktu. Kangen-e Ibuk sek ketutup sama kebencian. Sabar yo, Mas.”

Saffa tidur di pangkuan Aldi, suaminya. Hanya satu doa yang setiap lima waktu diucapkan. Semoga keluarganya menjadi keluarga yang bahagia dan utuh. Suaminya bisa kembali menjadi seorang anak dari ibunya. Affan, putranya mempunyai nenek yang hebat. Cucu yang rindu pengakuan dari ibu mertuanya.

Tidak terasa, mata Saffa terpejam. Tidurnya kali ini tidak lagi di atas awan yang menghitam. Namun, di atas awan putih bersih. Sinar matahari pun menjadi lampu tidur yang menemaninya.

 

Nganjuk, 21042019

Arnosa. Emak-emak yang mencoba menjadi penulis. Masih mencari genre yang pas untuk dirinya. Mencoba menulis keluar dari zona aman. Surealis.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata