Bukan Kembang Mawar

Bukan Kembang Mawar

Bukan Kembang Mawar
Reza Agustin

Kamu pernah mengatakan sekali, “Aku tidak suka bunga mawar. Kalau di Indonesia, mawar selalu ditabur di atas kuburan. Bunganya orang mati. Secara subyektif, aku membenci mawar karena itu. Tidak ada kesan romantisnya.”

Aku tergelak kala itu, di bawah guguran salju yang menyelimuti London. Tentu setiap negara memiliki budaya masing-masing. Bahkan kakekku, George selalu membawakan setangkai permen gulali besar untuk dibawa ke pusara Nenek. Berziarah ke makam tidak diikat dengan aturan ketat. Datang ke sana dengan tangan kosong bukan perkara besar. Toh, mereka yang dikunjungi diam saja, akan jadi perkara kalau mereka justru protes meminta dibawakan oleh-oleh dari dalam kuburnya.

Hal yang selalu kuingat dari namanya, Gendis. Kulitnya berwarna kecokelatan dan bermata bulat, dipayungi dengan bulu mata lebat yang melengkung indah. Tapi, aku masih bertanya-tanya, mengapa ia sering sekali mengisi alis-alisnya yang tipis dengan banyak sekali pulasan kosmetik. Alis yang harusnya gundul itu malah berbentuk seperti kotak, mengingatkanku pada lambang salah satu merek sepatu ternama yang dibuat terbalik.

“Kalau kamu tidak suka mawar, lalu kamu mau bunga apa?” tanyaku sembari menarik tubuhnya mendekat. Kami duduk selonjor di depan perapian dibungkus selimut tebal. Musim dingin di London adalah alasan enggan beraktivitas. Bermalas-malasan menunggu perapian sambil sesekali bertukar ciuman, banyak membaca buku, sedikit olahraga, lalu keluar membeli makanan jadi sebelum menghabiskan malam dengan tidur lagi.

“Aku suka kaktus!”

“Kaktus?”

“Ya, kaktus. Bunga yang kuat, selalu bisa bertahan di tengah panas dan keringnya gurun. Biarpun berduri, tapi dia punya cantik. Kuat dan gagah di bawah terik gurun. Aku bukan pecinta tanaman hias, tapi aku adalah penggemar kaktus. Kaktus juga punya bunganya sendiri. Mereka mekar dengan indah, arti bunganya bisa saja lebih dalam daripada mawar. Kamu belum pernah melihat bunga kaktus, ya?”

Aku menggeleng, membiarkan dia bicara banyak tentang keunggulan kaktus. Tentang masa hidupnya yang lama, perawatannya yang relatif mudah, kemampuannya menyimpan air, lalu pada akhirnya merambat ke pembicaraan selain kaktus. Bukan bunga mawar juga.

“Aku ingin terlahir sebagai kaktus lagi di kehidupan selanjutnya,” ujar Gendis sembari merapatkan selimut.

“Di agamamu bukannya tidak ada kepercayaan tentang reinkarnasi?”

Gendis menghela napas lagi, “Ya, itu benar, sih. Ada banyak dilarang juga. Termasuk pacaran.”

“Seperti yang kita lakukan?” Aku menenggelamkan wajah di ceruk lehernya. Ia tidak mendorong kepalaku seperti biasa. Hanya memalingkan muka, sementara mata cokelatnya justru terpaku pada titik-titik salju yang berjatuhan di luar jendela.

Ia menghela napas berat. “Kalau ayahku tahu kita pacaran, mungkin aku akan digunduli.”

“Haha, aku ingin sekali melihat kamu tidak punya rambut.”

“Sialan!”

Kami tertawa sejenak, sedikit kehangatan merambat di udara bersama percikan api perapian.

“Ryan, jika nantinya aku pulang ke Indonesia, apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu akan mencari perempuan baru?” Pertanyaan-pertanyaan itu terdengar seperti dengungan lebah yang mengganggu.

“Tentu saja tidak. Kenapa aku harus mencari perempuan lain, kalau aku hanya suka padamu. Ah, tidak! Bukan suka, tapi cinta.”

Mata Gendis berbinar, pipinya berwarna kemerahan. Aku tidak yakin apakah itu karena perkataanku barusan atau hawa dingin yang.

“Terima kasih. Itu artinya kamu akan tetap setia walaupun nantinya aku pergi, ‘kan?”

Dari pertanyaannya yang datang beruntun, serta jemari-jemari yang sesekali gelisah, ada sesuatu yang hendak disampaikan. Tersembunyi di antara pertanyaan-pertanyaan tadi.

“Apa kamu mau pergi?” tanyaku.

Bagaikan disapu angin musim dingin, kulihat bibirnya yang tadi merah muda berubah menjadi lebih pucat. “Ayah mau aku pulang ke Indonesia sebentar.”

“Kamu tidak akan dinikahkan bukan? Itulah kenapa tadi kamu bertanya akankah aku tetap setia?”

“Haha, baru saja suasana begitu dingin dan kamu mencairkannya dengan pertanyaan pertama. Tidak, aku tidak akan dinikahkan. Ayah hanya belum stabil secara finansial. Ia ingin aku pulang dulu karena pengajuan beasiswa yang waktu itu gagal. Aku akan kembali setelah beberapa bulan, paling lama satu tahun. Sampai beasiswa itu kudapatkan, tunggulah sebentar.”

Beberapa bulan, paling lama satu tahun. Namun, dengan hitungan kasar pun, aku sudah menunggunya selama empat tahun. Tahun pertama, ia masih sering berkabar dan hubungan kami dilalui pasang surut. Di awal tahun kedua itulah, ia memutuskan tidak melanjutkan hubungan ini. Ia benar-benar digunduli.

Di tahun ketiga dan keempat, ia tidak lagi menjadi bagian dari kehidupanku.

Ryan … aku sudah dapat bunga mawar dan kaktusnya. Kita berangkat sekarang?”

Dimas, pemuda itu yang menempati kamar kecil tempatku dan Gendis tinggal dulu. Ketika ia pulang ke Indonesia, aku ikut serta. Biarpun Gendis telah mengakhiri hubungan kami, ia tetaplah seseorang yang sulit dilupakan. Cinta kami di masa lalu tak akan pernah bisa terhapus kendati telah dipisahkan jarak yang begitu luas.

Sekarang, aku memahami mengapa Gendis tidak menyukai mawar. Kelopaknya yang cantik itu diperotoli satu per satu, diremas, dicampur dengan potongan daun pandan, kantil, lalu ditabur di atas kuburan. Aromanya agak memuakkan. Keputusan membawa bunga mawar tabur itu sedikit kusesali. Maka dari itu kubawa kaktus kecil, seperti katanya waktu itu.

Setelah membasuh wajahnya dengan kedua telapak tangan, Dimas beringsut menjauh. Diberikannya ruang lebih luas untukku bertemu dengan nisan bertuliskan nama Gendis.

Satu tahun yang lalu, ia berpulang. Ke tempat peristirahatan terakhir setelah berulang kali menjalani kemoterapi yang membuat rambutnya gundul. Kanker otak stadium dua, bukan kemiskinan ayahnya yang membuat Gendis pulang.

Kutempatkan pot kaktus kecil itu di atas pusaranya. Kudoakan ia menjadi kaktus kecil lain yang kelak tumbuh di pot itu.

TAMAT

Reza Agustin, penyuka webtun penuh cogan.

Leave a Reply