Bukan Ibu yang Melahirkanku

Bukan Ibu yang Melahirkanku

Bukan Ibu yang Melahirkanku
Oleh : Rachmawati Ash

Melihat teman-temanku sering diantar-jemput oleh ayah atau ibunya, membuatku iri. Jujur, hatiku seperti tidak terima, rasanya Tuhan tidak adil. Kenapa hanya aku yang hidup dalam keluarga tidak harmonis. Penuh pertengkaran dan berantakan.

Semalaman aku tidak pulang ke rumah. Aku muak dengan keadaan yang semakin buruk. Mama sering pulang dengan laki-laki baru. Sedangkan Papa seperti tidak peduli. Aku mengutuk, mengeluarkan sumpah serapah sejadi-jadinya. Berbagai tindakan protes kulakukan, tetap tidak ada yang peduli.

Aku menghentikan motor di teras rumah, iya, di teras, bukan di halaman. Dengan harapan Papa atau Mama menegurku karena motorku akan membuat ubin teras rusak. Percuma, mereka sibuk. Mereka tidak acuh padaku. Aku membanting pintu depan dengan keras. Kulihat Mama sedang cengangas-cengenges dengan lawan bicaranya di telepon. Wanita murahan, selalu sibuk dengan laki-laki baru dan jauh lebih muda usianya.
**
Aku malas masuk ke dalam kelas, pelajaran bahasa Indonesia yang menyebalkan. Tugas menulis cerita pendek juga belum kukerjakan. Aku memilih menyendiri di kantin sekolah.
“Rizal, ini pelajaran Ibu, kenapa kamu masih di sini?” suara tegas seorang wanita membuatku terkejut. Aku menurunkan kaki dari kursi tempatku duduk.

“Saya belum makan pagi, Bu, jadi saya mau makan dulu,” aku menjawab dengan jujur, karena kepalang basah tertangkap makan di kantin.
” Ibu tunggu sepuluh menit lagi di kelas!” Bu Rani berbicara sambil berjalan meninggalkanku. Aku hanya mengangguk, lalu dengan cepat kuhabiskan sisa makanku. Mengikuti Bu Rani yang berjalan dengan lembut menuju kelas.
” Ibu bilang sepuluh menit, kenapa sudah selesai, Zal?” Bu Rani memperlambat jalannya, aku tidak menjawab sepatah kata pun padanya. Aku justru heran, mengapa Bu Rani tidak marah padaku, justru memberiku waktu untuk makan. Ah, sudahlah, mungkin Bu Rani tahu bagaimana rasanya belum sarapan. Jadi banyak maklum untukku.
” Rizal, bisa tolong bawakan buku-buku Ibu ke Kelas? Kita ke kantor dulu, ya?”

Aku merasa berharga, ini pertama kalinya ada orang yang memercayaiku untuk menolongnya. Aku mengangguk, menegakkan tubuhku, mengikuti Bu Rani menuju ke kantor dan kembali ke kelas X IPS 2 dengan membusungkan dada karena bangga.

**
Pertengkaran terjadi lagi di rumahku. Aku tidak heran, tapi kali ini benar-benar di luar batas. Mama bertengkar dengan teman laki-lakinya. Kudengar mereka bersitegang tentang uang. Laki-laki itu menuntut Mama menurut karena sudah banyak menghabiskan uangnya. Mama marah, berbicara kasar, bahkan membanting apa saja yang ada di sekitarnya.

Aku mengemas beberapa baju dalam tas ransel. Aku berniat pergi dari rumah, entah ke mana tujuanku aku tidak tahu. Lagi pula siapa yang akan peduli. Apalagi dua hari lalu kudengar Papa akan menikah lagi dengan kekasihnya. Hancur sudah harapanku memiliki keluarga yang utuh. Aku tak memiliki mimpi lagi untuk bercita-cita hidup bahagia.
**
Aku menerima pesan WhatsApp, foto profilnya seorang wanita, Bu Rani. Kubaca dengan saksama chat yang agak panjang. Bu Rani memberi tahuku bahwa beliau baru saja ke rumahku. Sudah dua hari aku tidak berangkat ke Sekolah. Bu Rani memintaku menemuinya di kantor, dengan alasan membutuhkan pertolonganku. Aku merasa kembali berharga, ada orang yang membutuhkan pertolonganku. Aku merasa percaya diri, tiba-tiba ada semangat yang bangkit dalam diriku.

Bu Rani memujiku, beliau bilang sebenarnya aku adalah anak yang pandai, tetapi kurang tekun dalam belajar. Bu Rani juga mengatakan bahwa aku adalah anak yang baik, tidak pernah membantah dan selalu ringan tangan dalam membantu orang lain. Saat seperti inilah aku merasa hidupku berarti: aku diperhatikan, aku dipuji, meski bukan dari orangtuaku sendiri. Kata-kata Bu Rani membuatku bangun dari keterpurukan, aku mulai senang mendekatinya. Aku selalu menawarkan diri membantunya, apa saja. Lalu Bu Rani akan mengucapkan terima kasih disertai senyum manis yang meneduhkan hatiku.

Bu Rani, adalah ibu keduaku sekarang. Beliau bukan saja guru bahada Indonesiaku, namun juga ibu yang lembut untukku. Wanita yang menjadi tempatku menuangkan keluh kesah dan ketakutan-ketakutanku. Ibu yang tak pernah marah, setiap curahan hatiku selalu ditanggapinya dengan tersenyum atau tertawa. Bukan tawa mengejek, tapi tawa yang membuatku ikut tertawa karena ternyata aku terlalu baper dalam menanggapi masalahku.

Tiga tahun aku bertahan belajar di SMA Pertiwi. Bu Rani adalah alasanku bertahan, ibu yang menuntunku menjadi pribadi kebal akan masalah, membuatku berprestasi dan percaya diri. Kedekatanku membuatku memanggilnya Bunda, suaminya pun turut menyayangiku seperti anak sendiri. Aku memanggilnya Ayah, Karena beliau sering mengajakku pergi memancing ke muara atau memintaku membantunya mengerjakan hal-hal kecil lainnya. Seperti dua hari lalu, Ayah memintaku membantunya membetulkan genting rumah yang melorot. Memberiku tugas membawa motornya servis ke bengkel. Setelahnya Ayah akan mengajakku mampir ke warung makan milik ibunya. Aku dipersilakannya makan sepuasnya. Ayah mengenalkanku pada Nenek, iya, ibunya. Setiap orang yang bertemu dengan kami tidak akan mengira bahwa kami bukanlah ayah dan anak angkat. Ayah sangat tulus padaku, seperti kepada kedua putranya yang masih kecil-kecil.

Aku lupa akan masalahku di rumah, bahkan aku lupa memiliki Papa dan Mama. Sedikit pun aku tak pernah merindukan mereka. Doa-doaku justru kuberikan pada Bu Rani dan suaminya, orangtua keduaku. Ayah dan Bunda yang menerimaku tanpa membeda-bedakan dengan anak kandungnya sendiri. Mengajarkanku menjadi laki-laki kuat dan menasihatiku dengan lembut tanpa menyakiti hatiku.

Kudengar Mama akan menikah dengan teman laki-lakinya, teman yang sudah lama hidup bersama Mama, usianya berbeda sepuluh tahun lebih muda dari Mama. Aku yang masih kencur jelas saja menentang keinginan Mama. Aku malu, aku muak dengan keluargaku sendiri. Lagi-lagi Bu Rani menjadi pahlawanku. Bu Rani memberiku kekuatan, menasihati dan memelukku dengan kasih sayang. Air mataku membanjir turun dari pipiku, membasahi lengan bundaku. Aku berontak sambil sesenggukan. Hatiku hancur, cita-citaku pupus.

“Kita tidak bisa memilih dari keluarga mana kita dilahirkan, tapi kita punya hak menentukan keluarga seperti apa yang akan kita bentuk.” Kalimat Bu Rani membuatku berhenti menangis. Aku mulai berpikir jernih. Merelakan takdir kedua orangtuaku hidup dengan pilihannya sendiri-sendiri. Aku mengangguk pada Bu Rani, disambut dengan anggukan tulus dan senyumnya yang mendamaikan jiwaku. Bunda, bukan wanita yang melahirkanku. Tuhan mengirim ibu yang baik yang akan menjadi tujuanku melanjutkan masa depanku. (*)

 

Rachmawati Ash. Ibu dengan dua putra tampan.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply