Bukan Dosa
Oleh: Ika Mulyani
Bukan sekali ini saja aku menerima keluhan senada. Seperti biasa, aku hanya menanggapi dengan senyuman.
“Pandai Matematika itu bukan kewajiban, kok, Bu. Malaikat tidak akan mencatatnya sebagai dosa kalau nilai Andin jelek,” ucapku siang itu kepada seorang ibu muda ber-make-up tebal, dengan berbagai barang branded melekat di tubuh rampingnya. Benar-benar tampang Nyonya Sosialita sejati.
Biasanya, lawan bicaraku akan menunjukkan reaksi tidak suka dengan berbagai cara. Ada yang mendelik lalu mengeluarkan kalimat penuh cercaan. Ada yang merengut dan pergi begitu saja, tetapi kemudian akan ada panggilan dari pemilik bimbel untukku.
Mami Andin melakukan hal yang terakhir, hingga membuat kepulanganku sore ini tertunda.
“Kalau begitu terus cara kamu menghadapi orang tua siswa, bisa hancur reputasi bimbel ini, Yuni!” Mas Azis berkata keras dengan berapi-api. “Ini udah orang tua kesepuluh yang protes sama saya!”
Bila digambarkan dalam animasi kartun, akan terlihat kepulan asap dari kedua lubang telinga pemilik bimbel tempat aku bekerja itu. Aku hanya bisa menahan senyum. Jangan sampai keluar api dari kedua lubang hidungnya.
“Memang kecerdasan logika matematik Andin paling rendah dari delapan tipe kecerdasan yang saya ukur, Mas. Saya takut dia jadi stres kalau kita paksakan.” Aku mencoba menjelaskan.
“Dari mana kamu tahu?” tanyanya sengit. “Jangan mengada-ada!”
“Ada artikel yang menulis tentang cara menguji tingkat kecerdasan, Mas. Saya sudah mencoba untuk saya sendiri dan orang-orang di rumah.” Aku berkata sambil menunjukkan artikel itu dari ponsel. “Hasilnya memang cukup pas untuk menunjukkan kecerdasan kami yang dominan.”
Aku biarkan Mas Azis membacanya. Ia lalu menghela napas panjang sambil mengembalikan ponselku dan bertanya, “Terus?”
“Saya sudah ajukan 32 pertanyaan itu kepada Andin, Mas. Hasilnya, kecerdasan yang dominan adalah kecerdasan linguistik dan musikal. Nilainya untuk kecerdasan matematis sangat minim, hanya empat!”
Mas Azis kembali menghela napas panjang dan berkata dengan nada parau. “Maminya Andin mengancam bakal berhenti les kalau nilai Matematika anaknya tidak ada perbaikan.”
“Bisa sebenarnya, Mas. Asal orang tua Andin mau sabar dan tidak mem-push anaknya terlalu keras. Makin ditekan, Andin malah akan makin susah untuk menyerap materi. Toh, dia juga baru kelas empat SD. Masih banyak waktu.”
“Iya, sih. Kamu sudah bicarakan itu sama si Nyonya?”
“Belum selesai saya jelaskan, dia sudah pergi. Dan laporan, deh, sama penguasa bimbel.” Aku menjawab seraya terkekeh.
Mas Azis ikut tertawa. “Ya sudah, deh. Nanti saya coba jelaskan sama dia.” Ia menutup pembicaraan dan mengizinkanku pulang.
Aku baru akan pergi meninggalkan lembaga tempatku mengajar selama hampir empat tahun ini, saat Mas Azis kembali memamggil dari dalam ruangannya. Duh, ada apa lagi? Aku bernapas lega saat mengetahui bahwa ternyata ia hanya meminta link artikel yang tadi kutunjukkan.
***
Aku tengah bersiap untuk berangkat mengajar kelas Andin sore ini, ketika ada notifikasi pesan di ponselku. Pesan dari Mas Azis.
[Yun, hari ini tidak usah berangkat. Maminya Andin baru saja ngasih kabar, lesnya mau udahan aja katanya.]
Aku menghela napas. Kasihan Andin. Padahal, semangat sekali ia dengan rencana akan menunjukkan hasil karyanya kepadaku hari ini. Cerita yang ditulisnya meraih predikat juara favorit pembaca pada lomba menulis cerpen yang diadakan oleh sebuah majalah anak.
Aku membalas pesan dari Mas Azis itu sambil menarik napas panjang. Heran, mengapa kebanyakan orang menilai kepintaran seorang anak hanya dari nilai ilmu pasti? Matematika untuk SD, dan Matematika-Fisika-Kimia untuk tingkat yang lebih tinggi.
Tidak semua orang harus menjadi ilmuwan, teknolog, atau dokter, bukan? Kita juga perlu penulis yang buah karyanya memberi manfaat bagi khalayak ramai. Pendidik yang cerdas secara interpersonal juga sangat kita butuhkan.
Memang, sih, Matematika cukup penting. Aku percaya, semua orang bisa menjadi cerdas dalam logika matematik, dengan syarat, mau belajar secara bertahap dan sabar.
Ada tahapan dasar yang harus dijalani dan dikuasai satu demi satu. Setiap orang memiliki tingkat kecepatan yang berbeda untuk “lulus” melalui setiap tahapan itu.
Aku pun lalu memutuskan untuk tetap pergi dari rumah. Mengunjungi salah seorang teman sepertinya ide yang baik. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Penampilanku sudah rapi, sungguh sayang bila disia-siakan dengan kembali rebahan.
Seminggu kemudian, aku mendapat kabar perihal Andin. Maminya memasukkan gadis manis berambut panjang itu ke sebuah lembaga khusus belajar Matematika. Lembaga itu sangat terkenal di seantero negeri dan sudah berskala internasional.
Kasihan Andin, karena aku tahu, proses belajar di sana akan berat bagi anak itu. Semoga dia bisa melewatinya dengan baik.
Andai aku adalah maminya, pasti aku akan memberi kesempatan bagi gadis mungil itu untuk mengembangkan tiap jenis kecerdasan sesuai porsinya. Bila saja itu terjadi, aku percaya, Andin akan menjadi orang yang sukses dalam bidang yang diminatinya.(*)
Ciawi, 12 April 2020
Ika Mulyani, seorang ibu dua anak kelahiran Kota Bogor, 44 tahun lalu, yang juga menjadi tenaga pengajar freelance di sebuah bimbel. Hobi membaca membuatnya mencoba untuk menulis, dengan harapan bisa berbagi sedikit ilmu dan memberi inspirasi.
Editor: Mega Yohana
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata