Bukan Ana?

Bukan Ana?

Bukan Ana?
Oleh: Heuladienacie

Intuisiku untuk bangun lebih pagi agaknya keliru besar. Rasa gugup menjelang hari H yang membuat tidurku tak nyaman, berujung kejahilanku menggoda Baby Hui yang baru tertidur. Kak Ira mengomel dan memberikanku hukuman menenangkannya, karena dia baru bisa tertidur satu jam lalu. Kasihan, aku menurut saja.

Nabila, si bayi gembrot karena lahir dengan bobot raksasa tampak tenang dalam gendonganku. Lagaknya sudah terlihat sisi kebapakan yang kupunya sebagai bekal berumah tangga, bukan?

Ehem. Abaikan kicauanku tadi. Selesai melaksanakan hukuman, aku keluar dari kamar setelah Mas Bagas, suami Kak Ira mengambil alih tugas.

“Kau ini! Dicariin, juga. Ayo, katanya mau ke masjid lebih awal.” Ilham menghadang di depan kamar.

Aku nyengir saja mendapati anak-anak yang lain sudah bersiap dengan dandanan ala santri masing-masing. Kami kembali dari masjid hampir pukul lima. Kebetulan acara akan dimulai pukul tujuh pagi. Jadi, persiapan matang pada pukul enam, mengingat perjalanan ke lokasi yang membutuhkan waktu.

Aku mematut diri di depan cermin, menyemangati diriku agar tampil maksimal sambil mengulang baris yang harus kuhapal. Sesuai kesepakatan, bahasa Arab yang digunakan untuk ijab kabul.

Aku siap.

Usiaku memang baru sembilan belas tahun saat menyanggupi perjodohan Ayah dengan sahabatnya. Masih terlalu muda untuk menikah, kata mereka. Aku merasa tak ada yang salah dengan hal itu. Usia tidak bisa menjadi tolok ukur dari kedewasaan untuk memegang amanah dan tanggung jawab. Apalagi, gadis yang akan kunikahi adalah orang yang kusukai sedari kecil.

Batinku bergetar ragu. Apa iya, rasa itu tidak berubah setelah tiga belas tahun berlalu? Aku meyakinkan diri sendiri. Perasaanku bergetar mengingat nama Ana. Namun, ketika melihat bagaimana dia berubah sangat cantik dan dewasa saat ini, aku tak merasakan apa pun.

Tubuhku mendadak limbung, aku memegang dipan agar tidak terjatuh. Sesuatu bergolak dalam perutku. Aku melepas jas dan terburu ke kamar mandi, memuntahkan isi perutku sejak semalam. Kepalaku mendadak pening. Aku mencari serbet dari kantung belakang celana, yang kudapati justru dreamcatcher pemberian “Dia”.

Dia … semua masalah bermula darinya. Putri namanya, gadis aneh dan hiperaktif yang terus-menerus memenuhi kepalaku siang dan malam. Bulan di antara gelapnya malam, dan aku selalu ingin menjadi matahari itu. Namun, aku tidak berdaya untuk mendapatkannya. Karena aku bukanlah mataharinya.

Terakhir kali aku melihatnya, saat aku akan melaksanakan prosesi taaruf (perkenalan). Melihat gadis lain secara resmi. Keluarga besan menganjurkan agar aku melihat Ana secara diam-diam. Tak kusangka dia juga berada di sana. Membuatku meragu hingga akhirnya menunda. Tak berselang lama, aku pun mendengar dia memiliki calon lain. Aku memutuskan untuk menikah juga.

Sangat naif dan kekanak-kanakan, bagaimana patah hati membuatku mengambil keputusan cepat untuk hal-hal besar.

Pintu diketuk beberapa kali. Aku menghapus air mata dan merapikan diri. Mama dan Papa datang untuk mengecek kesiapanku. Mama tersedu sedan begitu melihatku.

“Ma, aku ini mau nikah, bukan mau perang.”

“Siapa bilang, kamu itu mau perang, untuk mendapatkan gadis yang kamu pilih,” ucap Mama diselingi isaknya.

“Ya, gak gitu juga, Ma,” rajukku karena Mama tak kunjung berhenti menangis.

“Sudah, buat apa ditangisi? Kita nih bukannya kehilangan personil keluarga, tapi mau ngerekrut personil baru. Seharusnya Ummi senang.” Papa menenangkan.

“Ummi senang, Bi. Cuma terharu aja, rasanya baru kemarin dia ada di gendonganku, sekarang udah pantas ngegendong bukan digendong lagi.”

“Mamiku tercinta, aku kan udah pernah bilang, si Adek tuh gak perlu dikasih makan. Jadi cepet gede ‘kan, dia.” Kak Ira dengan gaya profesor gadungannya datang dan langsung merangkul Mama sambil tertawa-tawa.

“Lo tu yang harusnya gak dikasih makan. Jadi, jumbo ‘kan? Awas deh, kalau Mas Bagas plira-plirik.”

“Aku gak gendut! Mama, si Adek tuh!”

Aduh, gayanya ibu satu ini kalau sudah merajuk bikin gendang telinga pecah. Kak Ira jelas kesal karena tak bisa memukulku yang sudah rapi dengan baju pengantin. Mama melerai adu ejek kami yang berakhir dengan tertawa bersama. Aku akan merindukan saat-saat ini, tapi dengan bertambahnya satu orang lagi yang tertawa.

Mobil-mobil sudah berjajar rapi, siap sedia mengantarkan ke tujuan. Kami tiba di kediaman besan tepat pukul tujuh kurang sepuluh menit. Car port sudah terisi banyak mobil. Rumah megah bergaya vintage dengan halaman yang luas. Suasananya sangat nyaman, karena ditumbuhi pepohonan rindang sepanjang jalan. Yang kudengar dari Rangga, sahabatku, akan ada dua pernikahan yang dilangsungkan berbarengan. Aku belum tahu siapa pasangan yang lain itu.

Kami berjalan beriringan. Mataku terbeliak pada pemandangan janggal gerombolan wanita yang kutahu bibi-bibiku.

Itu Tante Mona, Ibu Ana, dan … Ana?

Aku dibuat lebih terkejut karena dua orang di antaranya menghampiriku.

“Ana?” tanyaku refleks.

“Hai, sepupu. Masih ingat aku ternyata. Selamat ya, bakal jadi sumud ni.”

Dia terkekeh kecil bersama Tante Mubazir—olokan Tante Benazir sedari aku kecil—sedangkan aku berkeringat dingin.

Terus kalau bukan yang ini, Ana siapa yang hendak kunikahi?

“Gak sangka si Krucil udah besar sekarang.”

Wanita bertubuh ekstra jumbo tersebut mendorong bahuku tak tanggung-tanggung. Sampai merusak tatanan turban pengantinku.

“Waduh, Aunty Zee pelan-pelan napa! Dorongnya sampai sekuat jiwa raga begitu. Sakit tau!”

“Halah, didorong begitu aja ngeluh. Ntar juga dorong-dorongan sama ….”

Aku tak menghiraukan kicauan absurd jelmaan buto ijo yang suka ngupil di tempat umum meski udah berbuntut dua itu. Perhatian kami teralih pada Papa yang mengatur barisan sebelum memasuki paviliun berbeda.

“Jagain Ana, ya. Dia itu kembaranku meski beda rahim sama orangtua. Kami bersaudara. Waktu kecil kita pernah tertukar, jadi rada bingung memang. Tapi kurasa kamu udah mantep mau nikah sama dia, kan? Hehe. Mabruk ya. Aku duluan,” katanya sebelum pergi menghampiri yang lain.

Aku masih ternganga di tempat. Mencerna penjelasan Ana tadi. Setahuku, aku belum pernah mendengar cerita tentang putri yang ditukar. Kenapa konotasinya jadi seperti judul sinetron yang sering ditonton Mbok Mina?

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Jadi, Ana yang bertemu denganku tiga belas tahun yang lalu adalah Ana yang berbeda?

Aku tak sempat berpikir lagi. Satu tarikan membawaku kembali dari lamunan. Selanjutnya, aku digiring menuju sebuah paviliun pria setelah melewati bunyi petasan beruntun di pintu masuk. Ada Papa Mertua dan kakak Ana yang pernah menghampiriku dulu. Tapi Ana yang mana?

Aku menoleh ke arah Rangga yang masih sibuk dengan ponselnya. Gimana kalau aku tanya Rangga?

“Ga.”

“Iya, Ko.”

“Ehem. Kamu liat gak yang di depan tadi? Itu Ana.”

“Oh,” jawabnya singkat.

“Ga, aku serius! Itu tadi Ana, tapi calonku bukan dia.” Aku memelankan suaraku agar tak terdengar orang lain, Rangga malah tertawa.

“Makanya pinter dikit, dong. Liat calon tuh yang jelas, jangan asal, iya aja. Udah sana, gak bisa mundur loh, ya. Terima aja kecerobohanmu sendiri.”

Hah?! Apa-apaan sih, Rangga! Bukan memberi solusi, dia malah membuatku semakin cemas.

Aku mulai gelisah ketika jarak memasuki aula paviliun semakin dekat. Rangga menyuruhku tak banyak bicara karena kami sudah akan masuk. Dekorasi indah telah ditata sedemikian rupa. Tidak ada suara kebisingan musik ataupun tembang. Hanya terlihat barisan anak kecil memegang rebana untuk memeriahkan walimah nanti. Jelas pemilik rumah menginginkan keberkahan yang melimpah.

Aku didudukkan tepat di hadapan mertua beserta dua saksi pada lingkaran tengah. Dikelilingi ratusan pasang mata yang menyoroti. Gugup. Sekian kalinya aku mengusap dahi dengan sapu tangan.

Semua terasa khidmat semenjak MC memulai acara. Susunan acara di mulai dari pembacaan Alquran oleh seorang hafiz cilik bersuara indah bernama Adam—karena permintaan Adam sendiri. Dilanjutkan khotbah nikah yang disampaikan Ikhwan, kakak Ana. barulah memasuki inti acara yakni akad nikah. Aku melantunkan surah yang telah diminta sebagai mahar oleh pengantin wanita.

Surah yang kuhapal di luar kepala beserta maknanya. Entah apa hubungan khusus antara surah dan sang peminta. Aku sempat terkejut awalnya, tapi tentu saja menyanggupi.

Dadaku berdebar-debar menanti sepatah dua patah kata yang keluar. Siapa pun Ana, dia jodohku. Karena sampai saat ini aku tak menemukan hambatan apa pun yang menghalangi acara ini. Suara bariton Papa Mertua di hadapanku begitu menggetarkan jiwa. Kemantapan yang melambungkan kembali kepercayaan diriku. Semantap itu pria ini menyerahkan putrinya ke tanganku. Tentu aku takkan mengecewakannya.

“Ya Naufal. Ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka, Fa’izana Ma’isyah Putri Nirmala binti Muhammad Rasha Adrian Smith ‘alal mahri mushaf alquran wa alatil ‘ibadah haalan.”

“Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur wa Radhiitu bihi, Wallahu waliyut Taufiq.”

Aku tersentak sepersekian detik setelah menyadari perkataanku sendiri.

“Sah?”

“SAH!”

Gemuruh kata sah terdengar disusul hamdalah dan doa barakah pengantin. Pelukan erat bergantian menghampiri sebelum aku digiring menuju paviliun wanita. Sungguh dadaku yang penasaran berteriak lantang minta dipuaskan.

Fa’izana siapa tadi? Putri Nirmala?

Dadaku semakin sesak. Pikiranku mereka ulang kejadian pertemuan terakhir melihatnya bersama Ana. Dia ada di sana. Tidak mungkin, kan? Bisa jadi orang lain.

Akan tetapi ….

Tanpa sadar aku ditegur Papa karena langkahku yang terlalu tergesa-gesa. Seandainya aku bisa memangkas jarak menuju ke paviliun wanita. Aku bisa mati penasaran kalau begini.

Rangga memeluk singkat sebelum berkata, “Sorry, ya, Ko. Aku terpaksa bohongin kamu. Hadiah istimewamu ada di dalam.”

Bohong? Rangga membuatku semakin jantungan.

Memasuki paviliun wanita, kami disambut dua wanita yang sekarang sama-sama kuhormati dan akan kucintai sepenuh hati. Langkahku mengiring semakin cepat. Tak peduli peluh sudah membasahi gamis yang kukenakan.

Deg!

Kakiku mengerem secara mendadak. “Adoh!”

“Siapa, sih, yang berhenti mendadak?”

Tak kuhiraukan gerutuan barisan di belakangku. Fokusku tertelan pada satu titik focal di depan. Aku mengenali, meski riasannya membuatku pangling.

Dia … bidadari surga.

“Kamu istriku?”

 

Situbondo, 6 Juli 2019

Heuladienacie, seorang penulis amatir yang masih terus belajar mengembangkan tulisannya. Pernah beberapa kali tergabung dalam beberapa antologi.  Wanita 23 tahun penyuka cokelat dan kucing ini bisa ditemui di akun Line, Ig, Wattpad: @heuladienacie

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply