Bukan Aku

Bukan Aku

Bukan Aku

Rachmawati Ash           

              

Bermula pertama kali aku membeli kain di toko milik Pak Sultan. Aku memilih beberapa motif kain yang hendak kugunakan untuk membuat seragam keluarga.  Pernikahan adik iparku akan dilaksanakan bulan depan, aku mendapat mandat dari mertuaku untuk mengurus segala keperluan termasuk seragam keluarga.

Seorang gadis penjaga toko menemaniku memilih kain sampai aku benar-benar merasa cocok. Selesai memilih kain aku segera menuju ke kasir untuk membayar. Seperti biasa, toko kain milik orang Arab kebanyakan pembayaran di-handle sendiri oleh tuan pemiliknya. Aku tersenyum sambil mengeluarkan dompet dari dalam tas, saat seorang pria menyodorkan nota kepadaku.     

Pria dengan garis tegas di wajahnya, kira-kira usianya empat puluh tahunan. Pria ini tersenyum kepadaku, aku tidak terlalu menghiraukannya. Aku menyodorkan uang sejumlah yang tertulis di dalam nota. Pria ini meminta nota yang sudah kuterima, kemudian memberi tanda dengan pensil yang dipegangnya pada nama di bawah nota.

“Jika ada yang bisa dibantu silakan Mbak menghubungi nomor saya, jangan kapok datang kemari, ya.” Pria ini tersenyum dengan ramah.

“Insyaallah kalau cocok saya akan menjadi pelanggan di toko Bapak,” jawabku singkat sambil mengambil bungkusan yang berada di tangan penjaga toko. Aku berpamitan kepada keduanya.

**

Pernikahan adik iparku akan segera dilaksanakan beberapa hari lagi, tetapi ada sesuatu di luar dugaan. Seragam keluarga yang kumasukkan ke tukang jahit ternyata kainnya kurang beberapa meter. Bukan karena aku salah menghitung jumlahnya, tetapi ibu mertuaku mengganti model pakaiannya menjadi lebih besar dan membutuhkan kain lebih banyak lagi.

 

Terpaksa aku menghubungi nomor yang masih kusimpan di nota saat berbelanja kain waktu itu. Pak Sultan dengan ramah menerima teleponku dan berjanji akan mengantar kekurangan kain yang kupesan. Malam harinya Pak Sultan datang ke rumahku, aku tidak mengira dia akan datang sendiri mengantar pesananku.

Pak Sultan mengetuk pintu dan menyerahkan bungkusan plastik kepadaku. Kemudian dia berkata, “Kebetulan saya lewat arah sini, jadi saya bawa sekalian pesanan Mbak.”

Aku benar-benar merasa malu, aku hanya mengenakan setelan baju tidur bermotif bunga-bunga. Kupikir waktu sudah terlalu malam untuk menerima seorang tamu, jadi aku membereskan buku-buku di ruang tengah. Siapa sangka ada seorang tamu sudah berdiri di halaman rumahku. Aku gugup menerima bungkusan dari tangan Pak Sultan.

“Maaf, saya tidak tahu Bapak yang mengantarkan sendiri pesanan saya, silakan duduk, Pak, saya akan mengambil uangnya, tunggu sebentar.” Aku segera meninggalkan Pak Sultan di ruang tamu. Setengah berlari aku menuju ke kamar, aku segera berganti gamis dan memakai jilbabku. Kutemui Pak Sultan dan membayar kain pesananku. Sebelumnya aku meminta suamiku keluar dari kamar dan menemaniku menemui tamu.

“Kapan adiknya akan menikah, Mas, Boleh saya datang?” Pak Sultan berdiri dan berpamitan kepada kami.

“Oh, tentu saja boleh, silakan Bapak datang enam hari lagi di pernikahan adik kami, tempatnya satu gang di belakang rumah kami.” Suamiku berjalan beriringan dengan Pak Sultan menuju ke halaman rumah, mengantarnya ke mobil sebelum pulang.

**

Pertemuan demi pertemuan seolah  terjadi pascapernikahan adik iparku. Lama-lama aku merasa aneh dengan pertemuanku bersama Pak Sultan.  Seolah dia mengikuti ke mana pun aku pergi. Bagaimana mungkin dia hadir di acara arisan rutin, jelas-jelas dia bukan anggota kami. Atau mungkin aku tidak mengetahui ada saudara atau temannya yang ada di komunitasku. Aku menampik jauh-jauh pikiran buruk tentang dirinya, toh, selama ini dia tidak menganggu atau merugikanku.

Entah perasaanku saja, tapi Pak Sultan seakan berusaha mengatur strategi agar bisa duduk dekat denganku. Dan saat mendapat kesempatan, dia mengucapkan kata-kata yang membuatku hampir gila.

“Aku menyukaimu,” kalimat yang keluar dari mulutnya membuatku terhenyak. Tak seujung kuku pun aku membayangkan pria ini akan mengatakan hal demikian kepadaku.

“Maaf, Bapak jangan main-main, saya sudah bersuami.” Aku menjawabnya dengan berbisik dan bergeser tempat duduk.

“Aku akan datang kepada sumaimu, aku tidak main-main.”

Kali ini kalimatnya membuatku takut. Aku segera memutuskan untuk pulang, aku merasa sangat tidak nyaman dan terancam.

**

Beberapa malam aku tidak dapat tidur dengan nyenyak, kalimat-kalimat Pak Sultan terus terngiang di telingaku. Aku memeluk tubuh suamiku yang sedang tidur membelakangiku.

“Kenapa? Sepertinya kamu gelisah.” Suamiku membalikkan badan, mencium keningku dengan lembut.

“Aku takut,” hanya kata itu yang bisa kuucapkan, aku tak ingin membuat suamiku marah atau cemburu.

**

Aku dan suamiku sedang berada di rumah mertuaku untuk mengunjunginya secara rutin. Tidak ada pertanda aneh sore itu, sampai sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah. Seorang pria bertubuh tinggi besar turun dan memasuki halaman rumah mertuaku. Melepaskan sepatu dan mengetuk pintu yang tidak tertutup. Aku mulai gugup, perasaan tidak nyaman kembali menyergapku. Aku mencoba menenangkan diri di depan mertua dan juga suamiku.

 

Pak Sultan dipersilakan duduk oleh bapak mertuaku, bergabung dengan kami di ruang tamu. Terjadi perbincangan basa-basi membahas kain yang telah dibuat seragam di keluarga kami. Aku merasa lega, Pak Sultan tidak menggodaku. Aku yakin dia tidak akan berbuat anah-aneh di rumah mertuaku sendiri. Tapi, dalam beberapa detik aku dibuatnya hampir mati. Pria ini mengutarakan maksud kedatangannya kepada mertua dan suamiku bahwa ingin menikahiku.

“Maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk meminta izin menikahi Sheila, saya tahu ini aneh, tapi saya sangat mencintainya.” Sontak mertua dan suamiku terlihat memerah di seluruh wajahnya, mereka terlihat marah, merasa dihina dan dilecehkan. Aku menangis, aku sangat takut.

Suamiku memandangku dengan raut wajah penuh tanya, aku tak bisa menjelaskan apa-apa. Beberapa  detik kemudian Pak Sultan memberi pembelaan kepadaku.

“Bukan, ini bukan salah Sheila, saya yang jatuh cinta padanya saat pertama kali melihatnya di toko saya.”

Aku bergeser tempat duduk, memegang tangan suamiku yang ternyata sama dinginnya dengan tanganku sendiri.

“Sheilla sangat mirip dengan almarhumah istri saya, pertemuan pertama dengannya membuat saya merasa istri saya hidup kembali, sejak saat itu saya berusaha mengikuti ke mana pun Sheila pergi.” Pak Sultan memandangku dengan tatapan memelas, aku membuang pandangan ke arah suamiku. Dia hampir saja marah dan meledak-ledak mendengar istrinya dicintai pria lain. Aku segera menggenggam tangannya.

“Maaf, saya bukan istri Bapak, mungkin Bapak hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.” Aku meneteskan air mata karena takut dan iba yang bercampur menjadi satu. Suamiku berdiri, memeluk tubuhku yang gemetar. Kedua mertuaku ikut angkat bicara memberi pesan kepada Pak Sultan supaya mau menerima kenyataan bahwa aku bukan istrinya yang sudah meninggal dunia. Mertuaku juga mengatakan bahwa cinta tidak bisa datang hanya karena kemiripan seseorang, itu bukan cinta, tapi penasaran yang timbul karena rasa kehilangan yang belum ikhlas.

Pak Sultan meminta izin meninggal rumah mertuaku. Aku  masih menangis saat Pak Sultan melangkahkan kakinya sambil terus menatapku dengan mata kuyu. (*)

 

Rachmawati Ash, penyuka warna hitam dan biru.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply