Bubur Ayam Sudah Tidak Ada

Bubur Ayam Sudah Tidak Ada

Bubur Ayam Sudah Tidak Ada
Oleh : Zuya

“Pak, buburnya enak. Beli di mana?” tanyaku penasaran.

Aku tidak berlebihan dalam memuji. Rasa bubur yang dibawakan Bapak selepas salat Maghrib tadi memang sangat enak. Aku dan Kakak sampai lahap sekali menghabiskannya.

“Tadi dapat di masjid pas buka puasa bersama. Karena ingat kalian, Bapak minta sama Nenek Sumi buat membungkusnya.”

Bapak pernah bercerita tentang Nenek Sumi yang selalu menjadi orang kepercayaan para pengelola masjid untuk membuatkan bubur sebagai makanan buka puasa orang-orang. Aku sempat heran kenapa semakin hari semakin banyak saja yang buka puasa di sana. Apa hebatnya dari bubur ayam?

Sekarang aku tahu, ternyata bubur buatan Nenek Sumi memang sangat enak. Ah, kenapa Nenek Sumi tidak jualan saja? Aku yakin pasti banyak yang beli.

“Syukurlah tadi sempat minta, kalau enggak, mungkin sudah habis.”

“Kalau gitu, besok Gina ikut Bapak buka puasa di masjid, ya?”

Bapak langsung terkekeh mendengar ucapanku. “Ada-ada saja kamu. Di sana semuanya para lelaki seperti Bapak. Gak ada yang bawa anak kecil. Sudah, kamu buka puasa di rumah saja dengan Ibu dan kakakmu.”

***

Aku sudah tidak pernah lagi merasakan kelezatan bubur ayam buatan Nenek Sumi. Sudah dua malam ini, setelah Bapak sampai rumah usai salat Maghrib dari masjid, aku akan menghampiri dan menagih janjinya untuk membawakan bubur buatan Nenek Sumi.

“Bapak bawa bubur ayamnya, kan?”

“Maafkan Bapak, Gin. Tadi buburnya habis. Bapak lupa berpesan sama Nenek Sumi untuk meninggalkan beberapa porsi untuk kalian.”

Mendengar kalimat itu aku hanya bisa menggerutu karena sebal. Bapak payah sekali, sudah dua kali aku titip, malah gak ada. Lupa terus alasannya.

Karena aku sudah tidak sabar lagi, daripada harus menunggu Bapak selepas salat Maghrib, lebih baik aku putuskan untuk ke rumah Nenek Sumi saja yang berada tepat di samping masjid. Tentu saja alasannya untuk meminta bubur buatannya.

Baru berdiri di depan terasnya saja aku sudah mencium aroma yang sangat sedap. Aduh, kalau saja tidak lagi puasa, aku pasti sudah lari ke dapur Nenek Sumi dan makan bubur buatannya.

“Ada apa, Gina?”

Tak salah tebakanku, Nenek Sumi pasti ada di rumah.

“Gina bisa minta buburnya?” Aku berdiri di hadapannya sembari mengangkat mangkuk plastik yang sudah aku bawa dari rumah. “Kemarin titip sama Bapak, tapi gak dibawakan. Katanya lupa.”

Nenek Sumi menatapku sebentar, lalu sedikit tertawa. “Kebetulan baru aja masak dan pancinya belum diangkut ke masjid sama orang-orang.” Nenek Sumi mengambil mangkuk yang sedari tadi aku pegang. “Sini Nenek isi. Ayo, ikut ke dapur!”

Alhamdulillah, berarti usahaku tidak sia-sia. Syukurlah.

“Nek, tambahin yang banyak ayamnya sama bawang gorengnya,” pintaku saat Nenek menuangkan bubur ke atas mangkuk, sedangkan aku hanya memandanginya dengan air liur yang mungkin ingin menetes.

Sekilas aku pandangi kondisi dapur milik Nenek Sumi ini. Ada dua panci besar yang ada di lantai. Isinya tadi sempat aku tengok sebentar, semuanya bubur. Lalu ada empat stoples berbagai ukuran berwarna bening, sehingga aku bisa melihat apa yang ada di dalamnya. Ada stoples yang berisi bawang goreng, ayam yang sudah dipotong kecil-kecil, telur yang sudah matang, dan stoples yang di dalamnya ada potongan daun sop. Beberapa temanku menyebutnya daun seledri. Aku tidak suka memakannya. Pahit. Aneh.

“Karena Nenek baik hati, nih Nenek kasih banyak-banyak,” ucap Nenek Sumi sembari meletakkan beberapa potongan ayam yang sudah dipotong kecil-kecil.

“Nek, kenapa gak jualan saja? Pasti laku banyak,” ucapku sebelum meninggalkan rumah Nenek Sumi.

“Kamu pikir jualan itu gampang? Susah.” Nenek Sumi mulai menghela napas. “Nenek lebih suka seperti ini. Masak buat orang yang mau buka puasa itu pasti dapat pahala yang banyak.”

***

Aku masih asyik duduk di teras rumah sembari melihat tetesan air yang turun dari langit. Senja yang biasanya berwarna merah dan jingga, kini semuanya rata dengan awan gelap. Abu-abu. Ya, abu-abu gelap.

Aku membenci hujan. Ibu selalu melarangku bermain jika hujan telah datang. Dia selalu mengatakan takut kalau nanti aku sakit karena main hujan.

“Ibu, memang hujan bisa bikin penyakit?” tanyaku beberapa hari yang lalu.

Bukannya menjawab dengan benar, dia hanya mengatakan, “Sudahlah. Kalau kata Ibu gak boleh main hujan, ya gak boleh.”

Kalau dulu hanya hujan yang menjadi alasanku untuk tidak boleh bemain di luar. Sekarang ada tambahan lagi. Aku lupa namanya apa. Menyebutnya saja susah.

Pokonya, Ibu pernah mengatakan bahwa sekarang itu musim wabah. Aku sebenarnya tidak mengerti apa maksudnya.

“Sekarang jangan sering main di luar. Nanti sakit.”

Awalnya aku masih asyik saja berada di rumah sepanjang hari, tapi sekarang … bosan.

Kalau diingat-ingat … menurut Bapak, Ramadhan akan datang beberapa minggu lagi, tapi aku tak melihat Bapak atau teman-temannya membersihkan masjid seperti biasanya. Padahal, setiap mau masuk bulan Ramadhan, para bapak akan sibuk membersihkan masjid yang letaknya tak jauh dari tempatku tinggal. Hanya selisih tiga rumah denganku. Para ibu akan sibuk menyiapkan makanan sambil berbicara ini dan itu. Aku tak pernah mendengarkan, karena menurutku mendengarkan para ibu berbicara membuatku aneh sendiri. Kepalaku pusing. Mereka bisa bicara tanpa henti. Banyak sekali yang dibahas.

***

Ramadhan kali ini benar-benar berbeda dari tahun sebelumnya. Banyak hal yang berubah. Kami semua harus salat Tarawih di rumah masing-masing. Biasanya Bapak yang menjadi imam, sedangkan aku, Ibu, dan Kakak akan ada di belakangnya sebagai makmum.

Bacaan Bapak lambat sekali. Tarawihnya juga ikut lambat selesai. Bapak tidak seperti Ustadz Arif, yang kalau memimpin salat Tarawih bacaannya pasti cepat. Kalau dengan Bapak, badanku capek. Berkali-kali aku protes supaya salat Tarawihnya lebih cepat lagi, tapi Bapak tidak mau mendengarkan.

“Salat itu yang benar, jangan cari cepatnya aja. Nanti gak khusyuk.”

“Iya. Paham.” Aku hanya mengangguk lalu menunduk dengan mulut yang cemberut.

“Pak, sampai kapan di masjid gak ada buka puasa bersama lagi?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Selain salat Tarawih yang harus dilakukan di rumah, Ramadhan kali ini juga berbeda karena tidak ada lagi buka bersama di masjid. Aku tidak bisa lagi meminta Bapak untuk membawakan bubur ayam buatan Nenek Sumi. Padahal, aku sudah lama menantikannya.

“Sekarang kita masih gak boleh kumpul-kumpul sama orang. Kita juga gak bisa mengadakan buka puasa bersama karena ini lagi musim wabah.”

Ah, lagi-lagi karena wabah. Kapan akan berakhir? Aku membenci wabah. Aku berdoa semoga nanti dia hilang dari muka bumi.

“Sekarang kamu lebih baik belajar sana sama kakakmu!” suruh Ibu.

“Baiklah, Bu.” Setelahnya aku langsung menuju kamar dan kembali lagi ke ruang tamu dengan membawa buku, pensil, dan penghapus.

“Sini, biar Kakak ajarin kamu nulis ini.” Kakak menulis beberapa huruf di atas kertas, lalu dia menyuruhku untuk menirunya. Dimulai dari huruf yang bentuknya lucu seperti kursi dan ada juga huruf yang berbentuk seperti bebek.

Saat aku begitu sibuk meniru huruf-huruf yang sudah diajarkan Kakak, tak sengaja aku mendengar pembicaraan Bapak dan Ibu.

“Memangnya sakit apa dia? Sakit karena virus?” tanya Ibu kepada Bapak.

“Katanya sih gitu, Bu. Semoga aja berita ini gak benar,” jawab Bapak.

“Aku jadi makin takut keluar, apalagi rumahnya dekat sama kita, Pak.”

“Masih kata orang, Bu. Belum ada kepastian.”

***
Semakin hari Ibu semakin suka melarangku dan Kakak untuk bermain di luar. Jangakan bermain bersama teman yang lain, bermain di halaman rumah saja dia pasti akan langsung berteriak memanggilku dan Kakak untuk segera masuk. Sesampainya di rumah, kami berdua akan dimarahi habis-habisan.

“Sudah berapa kali Ibu mengatakan supaya jangan main di luar. Ngeyel sekali kalian ini.”

Di sela omelan Ibu, tiba-tiba Bapak datang. Dia masih berdiri di depan pintu, napasnya tersengal-sengal seperti baru dikejar anjing.

“Bu, Nenek Sumi meninggal.”

Aku melebarkan bola mata. Benarkah? Sungguh sulit dipercaya.

Kalau memang benar, itu berarti tidak ada lagi yang akan membuat bubur ayam untuk buka puasa orang-orang di masjid.

Nenek Sumi, aku masih mau bubur ayam buatanmu. (*)

 

Barabai, 7 Mei 2021

Zuya, seorang guru yang baru saja mengawali jejak di dunia literasi.

Editor : Lily

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply