Buaya Putih di Hulu Sungai (Terbaik 20 TL 20)

Buaya Putih di Hulu Sungai (Terbaik 20 TL 20)

Terbaik Ke-20 TL 20

Genre folklore

Buaya Putih di Hulu Sungai

Oleh: Syifa Aimbine

 

Bukan berita baru jika ada orang yang melihat buaya putih di hulu Sungai Siak. Bukan hal yang mustahil jika menemukan jejak ekornya yang tajam dengan sisik setebal kuali baja di pasir dekat dermaga. Beberapa pasang mata pun sempat menyaksikan satu atau dua ekor buaya putih berenang tenang di permukaan air sungai yang airnya berwarna kecokelatan. Kulit reptil yang kontras seolah-olah bergerak anggun, bak panglima perang yang pulang dengan membawa kemenangan. 

Sudah cerita yang turun temurun tentang sekawanan buaya putih yang menggiring kapal kesultanan menuju laut lepas. Semua paham, tugasnya yang mengawal Sultan hingga keturunan terakhir yang berjuang untuk kemerdekaan. Pertiwi masih hijau saat kemunculannya. Entah siapa pula yang membawa. Semua cukup tahu bahwa ia ada, menjadi tentara perairan yang tiada kenal  cinderamata. Begitupun ketika kesultanan beralih menjadi terpusat di Pulau Jawa. Kesetiaan fauna langka itu seperti tiada jeda.

Sebab itulah sepanjang sungai dan pusat kerajaan tetap membawa keramatnya. Siapa pun percaya, menjaga diri, ucapan, dan perbuatan akan menjadi keselamatan bersama. Terutama jika melalui sungai yang sangat tenang dan dalam airnya. Pasukan pengawal buaya putih—yang entah sungguh binatang atau hanya tampak menyerupai saja—masih menjaga kedaulatan dari bawah sana.

Suatu siang dengan panas yang amat garang, seorang pekerja jembatan baru yang lancang menaiki getek kayu dari tepi dermaga. Entah getek siapa yang ia lepas talinya, bisa jadi tanpa tahu pemiliknya. Tohir, lelaki muda itu tertawa lantang memecah sunyi sungai yang tenang. Sekenanya, ia menaiki getek sambil mengangkat kakinya. 

“Kau tengok airnya, kalau buat teh, tinggal kasih gula, tak perlu tambah bubuk teh sangking keruhnya. Ha-ha-ha,” ejeknya sambil mengacau air dengan tangannya dari pinggir getek. Ia dikenal warga dengan helm putih yang sering dibawanya, pertanda pangkatnya bukanlah sekedar kuli biasa. Namun, mulut sampahnya memang susah ia jaga.

“Hati-hati bicara, Pak! Sungai ini masih menyimpan tuah. Pantang bercakap sembarangan!” Salman—pemuda kampung yang terpaksa menemani bos tengil itu berkeliling— berusaha memperingatkan. Ia memang bertindak sebagai pengawal bagi rombongan pekerja yang rata-rata adalah pendatang. Makanya, ia tak segan-segan menegur jika memang tak sesuai dengan peraturan.

Alah! Masih saja kau percaya. Mana? Tak ada apa-apa yang terjadi. Kata orang kampung ada buaya putih, mana? Bolak-balik aku memancing di sini, tak pernah aku tengok buaya. Persetan cerita tahi kucing itu! Cerita bohong supaya menakut-nakuti para pendatang saja, ya, ‘kan? Tengok saja anak-anak itu, mana mungkin mereka bisa asyik berenang kalau di sungai ini ada buayanya.”

Salman enggan berdebat. Percuma melawan cakap dengan orang yang berkepala batu, angkuh, padahal tidak tahu apa-apa, pikirnya. Tohir memang dikenal kasar dan kurang ajar. Namun, koneksinya tak main-main. Tak heran, meski sedikit pengalaman, ia langsung ditunjuk jadi mandor proyek jembatan baru ini. Bukan hanya pada Salman, semua pekerja pun sudah tahu sikapnya yang semena-mena. Jadi wajar jika Salman memilih mengabaikannya juga kali ini.

Salman pun melanjutkan mengayuh getek kayu itu menuju ke tepi. Namun, tiba-tiba saja kayuhannya terasa berat. Getek berhenti di tengah sungai. Penumpang getek itu terdiam dan saling berpandangan.

“Jangan bercanda kau, Man. Cepat kayuh!” Si mandor bermulut lancang itu terlihat panik dan memerintahkan Salman untuk kembali mengayuh.

Namun, sekuat apa pun Salman mengayuh, getek tak juga bergerak. Seolah-olah ada tangan besar yang menahannya dari bawah. Getek kecil itu kemudian oleng ke kiri, lalu ke kanan. Penumpang mulai panik dan berteriak mencari pertolongan. Beberapa wanita yang tengah mencuci di pinggir sungai hanya bisa terdiam tak mengerti kenapa para pria di atas getek itu berteriak. Anak-anak yang tadi berenang telanjang di sekitarnya pula mulai menepi. Alih-alih memanggil orang untuk menolong, mereka malah menonton dari tepi sungai.

Tiba-tiba, entah dari mana, semacam cambuk tajam bersisik tebal dan berwarna putih menampar wajah si Tohir berulang kali. Getek menjadi semakin oleng. Salman dan Tohir goyah, hingga keduanya jatuh tercebur ke dalam air. Salman lekas menjangkau punggung getek. Berusaha membalikkan perahu kayu itu untuk kembali bisa ditumpangi. 

“Tolong!” Tohir berteriak.

Salman menoleh. Rupanya bosnya itu sudah menjauh. Seperti ada yang menariknya dari dalam sungai. Kepalanya timbul tenggelam ke permukaan. Tangannya berusaha menggapai permukaan.

“Pak Tohir!” panggil Salman. Ia ikut panik. 

Salman yang sudah berhasil menaiki getek segera menarik kayu pengayuh. Dengan sekuat tenaga ia mengayuh getek itu mendekati Tohir. Namun, pria itu justru bergerak makin menjauh. Bahkan gerakannya lebih cepat dari arus sungai. Salman kalah cepat. Namun, saat itulah Salman bisa melihat ke arah kaki Tohir. Sesuatu semacam ekor bersisik tajam dan mencuat berwarna putih membelit kaki pria itu. Tentu saja Salman bisa mengenali hewan yang dikeramatkan kampungnya itu. Rupanya, buaya putih itulah yang menarik Tohir menjauh. Salman tertegun. Tubuh lemas Tohir makin jauh, lalu hilang tenggelam. Wajah Salman memucat. Keringat dingin mengalir dari tubuhnya yang kuyup. 

Salman kemudian memilih lekas menepikan getek kayu yang ia naiki. Tunggang-langgang ia berlari mencari pertolongan warga kampung.

Sepanjang hari, warga mencari menyusuri sungai, dari hulu ke hilir. Namun, tak ada yang menemukan tubuh orang hanyut maupun kabar selamatnya Tohir dari mana pun. Menjelang malam, rombongan mulai lelah, lalu satu per satu pulang, meninggalkan kesepian di sepanjang sungai yang memanjang hingga ke Selat Malaka itu. 

Kabar tenggelamnya Tohir merebak ke seluruh penjuru negeri. Beritanya pun mewarnai topik surat kabar. Berbagai cara dikerahkan untuk menemukan jenazah Tohir. Semua menyimpulkan tidak ada harapan mandor itu selamat. Sudah dua hari Tohir menghilang. Berulang kali orang datang menanyai Salman. Namun, Salman tak menceritakan dengan lengkap kejadian sebenarnya. Di hari keempat, jenazahnya muncul, terapung dan tersangkut di fondasi jembatan Leighton yang ia bangun.

Bayangan buaya putih yang menarik Tohir dikubur Salman dalam ingatannya yang dalam. Hanya kepada Wan Hamid ia bercerita pasal buaya putih itu. Tokoh masyarakat itu menggaruk-garuk janggutnya yang memutih. Berpikir cara yang tepat menjelaskan pada khalayak pencari berita. 

“Jika ada lagi yang bertanya, katakan saja kejadian ini sebab pembangunan jembatan baru itu, tumbal proyek makan tuannya sendiri.”

Salman mengangguk cepat. Berita pun merambat sebab pencari berita yang ligat. Tak ada yang membantah, semua seakan-akan sepakat.***

Depok, 24 Maret 2023

 

Syifa Aimbine, ambivert sejati yang lebih memilih menghindari konflik. Overthinking hobinya. Setiap media sosial yang ia punya, mewakili hal yang ditekuninya secara berbeda.

 

Komentar juri:

Cerpen ini memiliki pesan yang umum, tapi disajikan dengan cara yang sederhana dan tetap menarik. Terlebih lagi ending-nya. Bak kata, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Dan dialog tokoh masyarakat pada cerpen ini meyiratkan bahwa masyarakat setempat sangat menghargai sosok buaya putih penunggu Sungai Siak. Sayangnya, penulis kurang teliliti di beberapa bagian, terutama saat adegan tokoh Tohir yang tenggelam dan dibelit ekor buaya—buaya tidak mampu membelit dengan ekornya. 

—Hassanah

Leave a Reply