Buah Kebaikan
Oleh: Noey
Karmin duduk di bangku kayu depan rumahnya sambil menyesap kopi yang ia seduh sendiri. Kalau orang lain, mungkin pagi hari seperti ini sedang sarapan nasi uduk atau bubur ayam. Bagi Karmin, cukuplah segelas kopi saja. Biar hemat. ‘Kan, hemat pangkal kaya, toh?
Asap mengepul dari kopi panas di cangkir milik Karmin yang warnanya sudah tak jelas lagi, entah putih atau kuning, saking lamanya cangkir itu menemani Karmin.
Di depan rumah–yang lebih pantas disebut gubug–Karmin, gunungan sampah terlihat sejauh mata memandang. Karmin menghela napas, ia bosan melihat pemandangan yang sama setiap harinya. Karmin memejamkan mata. Ia membayangkan duduk di sebuah pondok kayu dengan bukit hijau di depannya, halaman rumah yang penuh dengan rerumputan dan pepohonan di sekitarnya. Pastinya dengan udara sejuk disertai angin yang berembus pelan membelai kulitnya, membawa aroma dedaunan.
Karmin menghela napas lagi. Harus sampai kapan ia berkhayal seperti itu. Lamunannya buyar seiring aroma busuk yang menyebar memenuhi indra penciumannya. Pasti truk-truk pengangkut sampah sudah datang.
Ia meniup-niup kopinya agar cepat dingin. Saat hendak diminum, tiba-tiba telur cicak jatuh tepat di atas kopinya. Karmin melempar cangkirnya seraya berteriak marah, cicak kurang ajar! Tak tahukah itu kopi terakhir Karmin? Ia tak punya uang lagi untuk sekadar membeli sebungkus kopi saset. Uang Karmin hasil memulung sudah habis ia pakai untuk berobat Ratri, istrinya.
Ratri adalah wanita yang dengan sabar sudah menemani hidupnya selama kurang lebih delapan tahun ini, walaupun tanpa kehadiran buah hati di antara mereka. Sekarang bahkan harapan itu makin pupus, seiring kondisi tubuh Ratri yang makin rapuh. Penyakit paru-paru terus menggerogoti tubuh Ratri, membuat badannya kurus kering, tinggal tulang berbalut kulit.
Ingin rasanya Karmin membawa pulang saja Ratri ke kampung halamannya. Tinggal di tempat yang lebih layak agar kondisi kesehatan Ratri bisa membaik. Tetapi, itu hanya jadi khayalan Karmin saja. Ia tak punya apa-apa di kampung, jangankan rumah, saudara pun ia tak punya.
Karmin yatim piatu sejak lahir, dibesarkan neneknya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Saat Karmin berumur lima belas tahun, neneknya meninggal. Ia kemudian diajak tetangganya untuk merantau ke Jakarta, bekerja serabutan dari satu tempat ke tempat lain. Hingga nasib membawanya ke sini, ke TPST Bantargebang.
Dengan perut kosong Karmin melangkah gontai mendekat ke arah truk. Ia ikut berkerumun dengan para pemulung lain. Seperti para lalat yang mengerubungi sampah.
Bau sampah yang menyengat sudah tak dipedulikan lagi oleh para pemulung, mereka sudah kebal. Mereka lebih sibuk memikirkan berapa banyak gelas plastik bekas yang bisa mereka kumpulkan.
Karmin mengais-ngais sampah di depannya menggunakan besi panjang yang ia pegang. Berbagai macam sampah tumpah ruah di sana, mulai dari plastik bekas, kertas, sayuran, peralatan rumah tangga, bahkan para pemulung sempat digegerkan dengan penemuan mayat bayi yang dibungkus kantong plastik hitam.
Sebuah plastik hitam bekas meluncur turun dari eksavator tepat di kaki Karmin. Awalnya ia tak mempedulikannya. Namun, saat ujung besi panjang yang ia pegang tak sengaja mengoyak ujung kantong plastik hitam itu, ada kertas merah yang menyembul dari sana.
Karmin penasaran. Saat ia jongkok mendekati kantong itu, Karmin sampai terjungkal ke belakang saking terkejutnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, teman-temannya sedang sibuk mengais-ngais sampah, tak ada yang memperhatikannya. Ia bergegas mengambil plastik itu dan memasukkannya ke dalam keranjang.
***
Karmin tercenung di dalam rumahnya, tubuhnya sedikit gemetar. Di depannya teronggok kantong plastik hitam yang tadi ia temukan. Isinya uang, pecahan seratus ribuan semua. Karmin sudah menghitung jumlahnya, 400 juta, tak kurang tak lebih. Ia mengurung diri di dalam rumah saking kagetnya. Seumur hidupnya, baru kali ini Karmin melihat uang sebanyak ini. Uang baru, tidak seperti uang lecek yang selalu Karmin miliki.
Ratri, istrinya sedang terbaring di kamar, sesekali batuknya menyadarkan Karmin dari keterkejutannya.
Ia bingung, harus diapakannya uang ini? Satu sisi Karmin bahagia. Ia seperti mendapat durian runtuh, di sisi lain ia ketakutan. Di dalam kantong itu tersimpan juga sebuah kartu nama dan satu amplop cokelat berisi surat-surat yang Karmin tak mengerti apa isinya. Orang macam apa yang menyimpan uang sebanyak ini di kantong plastik hitam, pikir Karmin. Ia yakin, pemiliknya pasti sedang mencari-cari uang ini.
Uang sebanyak ini tentu sangat berharga bagi Karmin. Ia bisa membeli apapun yang ia inginkan. Karmin juga bisa membangun rumah impiannya di kampung, juga membawa Ratri untuk berobat dan mendapatkan penanganan medis yang layak.
Sekeras apapun ia bekerja sebagai pemulung, rasanya uang sebanyak itu mustahil ia dapatkan. Berbagai macam pemikiran berkecamuk di kepalanya. Hari mulai siang, tetapi Karmin hanya mengurung diri di rumahnya, memikirkan langkah apa yang harus ia ambil.
Ratri berjalan keluar kamar dengan tertatih, tubuh lemahnya belum diisi apa pun dari tadi pagi. Dengan suara lirih ia memanggil Karmin, bertanya mengapa Karmin hanya duduk diam di dalam rumah, sementara tetangga-tetangga mereka yang lain sibuk memulung.
Karmin hanya diam tak menjawab pertanyaan Ratri. Ia menyodorkan kantong plastik hitam itu ke hadapan istrinya. Ratri terpekik, tubuh ringkihnya luruh ke lantai rumah mereka yang hanya terbuat dari tanah. Ia pun baru kali ini seumur hidupnya melihat uang sebanyak itu.
Sepasang suami istri itu saling berpandangan. Karmin baru saja hendak membuka mulut saat suara perut Ratri terdengar. Istrinya kelaparan. Ia mengambil selembar uang dari kantong, bergegas mencari makanan untuk mengganjal perut mereka berdua. Ratri segera menyembunyikan uang itu sesuai perintah Karmin. Tetangga mereka tidak boleh tahu tentang hal ini.
Di tempat ini, uang bagaikan dewa, mati-matian mereka mencarinya. Bukan hanya dengan cara yang halal, cara haram pun akan mereka lakukan. Bukan hanya sampah yang menumpuk di sini, tetapi juga orang-orang ‘sampah’. Jika ada yang tahu perihal temuan Karmin, ia dan suaminya bisa berada dalam bahaya.
Karmin tersenyum puas melihat Ratri makan dengan lahap. Baru kali ini mereka bisa makan dengan menu yang mewah seperti rendang.
Selesai makan, Ratri bertanya, apa yang akan Karmin lakukan dengan uang itu. Walau bagaimanapun, uang itu bukan milik mereka, pemilik kartu nama yang ada di dalam kantong itulah pemiliknya. Karmin bingung, ia ingin mengambil sedikit uang untuk membawa Ratri berobat, atau pindah dari Bantargebang dan mencari tempat tinggal baru.
Karmin membujuk Ratri agar menyetujui usulannya. Ratri bergeming, ia teringat Simbok di kampung. Teringat petuah-petuah Simbok, agar Ratri tetap jadi orang yang baik di manapun ia berada. Cukup badannya yang rusak, jangan sampai hatinya ikut rusak.
Karmin pun sebenarnya tak berani mengambil uang itu. Ia tahu uang itu bukan dicurinya, tetapi ada suara dalam hati Karmin yang mengatakan bahwa itu bukan haknya.
Petang mulai datang, diikuti suara azan yang menggema dari pengeras suara musala. Memanggil jiwa-jiwa yang sedang sibuk dengan dunia untuk kembali pada Tuhannya.
Ada rasa yang entah disebut apa dalam dada Karmin. Tiba-tiba air matanya merebak, ia teringat almarhumah neneknya. Dulu Karmin selalu diajak untuk salat ke musala. Sampai hari ini pun Karmin selalu rajin melakukannya.
Ia menatap Ratri, mengatakan keputusannya. Lalu pergi meninggalkan Ratri.
***
Keesokan harinya warga Bantargebang dihebohkan dengan pemberitaan di koran. Wajah Karmin terpampang di sana. Seorang pemulung mengembalikan uang ratusan juta yang ditemukan dalam kantong plastik hitam kepada pemiliknya, ia akhirnya diangkat menjadi pegawai oleh pemilik uang yang ternyata seorang pemilik perusahaan besar di Jakarta. (*)
Noey, ibu dari tiga orang anak yang sangat menyukai warna ungu.
Editor: Evamuzy
Sumber gambar: pinterest.com