Bocah Lelaki Pincang dalam Sebuah Persembahan
Oleh: Lutfi Rosidah
Mengapa harus dia yang dipilih? Padahal tampak segerombolan anak bertelanjang dada berlarian, saling mengejar. Mereka lebih sehat dan sempurna darinya. Dia, bocah kecil yang melangkah saja sulit dan bicara pun sedikit terbata. Mengapa harus dia?
Aku terus berseteru dengan diri sendiri, mempertanyakan segala keputusan rapat desa semalam. Masih terngiang jelas ucapan Pak Kades, “Segera akan kita laksanakan.” Kalimat itu terus mengikutiku seperti hantu yang tak kasat mata, membuatku bergidik ngeri.
Jika memang segala bencana ini adalah kutukan, jika benar sebuah tumbal bisa menenangkan penunggu gunung yang mulai batulk-batuk Tentunya lebih pantas jika yang sempurna yang dipersembahkan. Argh! Apakah keyakinan mereka benar atau hanya pengalihan rasa tak berdaya mencari jalan keluar? Aku geram setiap mengingat rencana mereka.
.
Tetua Adat mulai berbicara di depan altar yang terbuat dari batu yang ditatah rata membentuk lempeng besar, tempat persembahan-persembahan kepada Dewa dipersiapkan. Bocah itu sudah terlentang–dengan kaki tangannya terikat–di sana. Dia memandang kosong ke sekeliling. Wajahnya tampak sepasi rembulan di pagi hari. Keringatnya perlahan merembes di bawah rambutnya yang tebal, matanya mengerjap menahan air mata yang hampir tumpah, sedang bibirnya bergetar sambil terus berkomat-kamit lirih, hampir tak terdengar.
Udara dingin mulai menerpa wajahku, rasanya makin menusuk ke dalam tulang belulang. Langit perlahan menggelap, menyisakan sedikit cahaya jingga dari matahari terbenam. Kurapatkan jaketku, mencoba berdamai dengan ketakutanku sendiri. Ini kali kedua aku diperbolehkan ikut dalam ritual persembahan suku Kahyangan. Ritual kejam. Argh! Kembali eranganku tertelan demi tak mau seorang pun tahu kemarahanku.
Tega sekali manusia mengorbankan manusia lain demi keselamatan mereka sendiri. Bocah-bocah yatim yang seharuskan mereka lindungi menjadi mangsa empuk tanpa ada perlawanan. Iblis! Aku sungguh tak tahan lagi.
Suara berat Tetua Adat menandai upacara persembahan dimulai. Semua hadirin berdiri, mengenakan tutup kepala masing-masing, termasuk aku. Semua orang menunduk khusuk, merapal doa yang sudah diajarkan pada kami sejak masih kanak-kanak
“Dewa Dimitri, dewa kesejahteraan. Kami datang membawa persembahan bagimu. Sudahi kemarahamu, berkahi kehidupan kami.” Berulang semua merapal mantra bersama-sama.
Tak satu pun berani mengangkat kepalanya. Semua benar-benar berkonsentrasi dengan mantra masing-masing. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, tak luput bocah lelaki kecil itu, yang matanya mulai sembab,
Di tengah suasana yang tenang, tetiba sebuah goncangan kecil terjadi. Sekilas orang-orang saling memandang, tak lama, mereka kembali pada rapalannya. Goncangan terulang dan ini lebih keras. Wajah–wajah itu mulai panik.
Sekonyong-konyong suara gemuruh terdengar, Gunung berapi mengeluarkan magmanya, meluber sedikit ke bibir kawah. Semua orang mulai tak tenang pada posisinya. Tetua Adat berusaha menenangkan,”Mari segera kita tuntaskan upacara ini, sepertinya Sang Dewa sudah tak sabar lagi. Kembali baca mantra kalian!”
Semua orang kembali pada rapalan mereka. Aku mulai menyusun strategi, aku harus mencari celah yang memungkinkan membuka ikatan bocah kecil itu.
Aku memutar otak. Memandang ke seluruh bagian gua ini. Memperkirakan masak-masak, di mana celah paling lengah mereka. Dengan seluruh keyakinan yang sebenarnya tak terlalu yakin kugeser kakiku perlahan mendekati altar. Berkat kekhusukan orang-orang, mereka tak menyadari apa yang kulakukan.
Mantra selesai dibacakan, suasana hening. Sang bocah sudah terlepas dari ikatan tangannya. Buru-buru kubuka ikatan kakinya yang tak sama panjang. Seketika seluruh mata memandang ke arah kami. Tampak raut muka marah dengan tatapan mata melotot ke arahku.
Kutarik tubuh ringkih dari atas altar. Aku berlari sekuat tenaga sambil menggendong bocah lelaki itu.
“Me-nga-pa Kakak lakukan ini? Eng-kau pasti dalam bahaya, Kak.”
“Sudah! Diamlah! Menurut saja.”
“Ta-pi, Kak. Tak per-lu kau korbankan diri hanya demi di-“
“Diam! Bisakah kau berhenti bicara,” keluhku dengan napas yang ngos-ngosan. Apa dia tidak sadar sudah mengurangi tenagaku dengan semua pertanyaanya.
Guncangan semakin hebat. Orang-orang meneriaki kami dengan sumpah serapah. Semakin lama suara mereka makin tak jelas, mirip dengungan lebah dalam jumlah banyak yang terus terdengar makin menjauh. Entah dari mana kekuatan pada diriku datang. Kakiku berlari begitu cepat meski membawa beban berat. Kami melesat di antara bebatuan yang runtuh. Bagai di film action aku melompat setiap ada batu menghalangi langkahku.
Semakin melangkah, semakin aku yakin akan mampu menyelamatkan bocah ini.” Pegangan erat!” perintahku.
Dia tak lagi banyak bertanya. Dikalungkannya kedua tangan di leherku. Jemarinya saling bertaut kuat di belakang tengkukku.
Dari arah belakang, warga telah menyusul kami. Kuturunkan bocah itu, berdiri dengan satu kakinya di sampingku. Aku tak lagi bisa berlari, kawah menghadang di depan.
“Sekarang kamu harus kembalikan bocah itu, Jiwo!”
Aku berkacak pinggang, memasang badan di depan bocah itu. “Siapa yang mau mengambil Raga, lewati dulu mayatku.”
“Apa-apaan kamu, Jiwo!” teriak Tetua Adat ke arahku.
“Ini tak benar Ayah! Kalian gak boleh menumbalkan Raga. Bencana ini tak ada hubungannya dengan kemarahan Dewa dan tumbal.”
Warga makin mendekat. Raga yang bersembunyi di belakangku, merapatkan tubuhnya. Tangannya terasa dingin menyentuh punggungku. Bukan hanya dia yang ketakutan, aku juga tak kalah takut menghadapi puluhan pasang mata yang nanar menahan kemarahan. Beruntung Tetua Adat merentangkan kedua tangan mencegah langkah mereka.
“Baiklah, apa maumu, Nak?”
“Jangan tumbalkan Raga. Biar aku saja penggantinya.” Aku tak yakin dengan ucapanku sendiri. Bagaimana jika mereka menyetujuinya?
“Tapi Nak, kamu anakku satu-satunya. Bagaimana aku bisa kehilanganmu.”
“Sama. Raga juga anak bibi satu-satunya. Bagaimana dia bisa hidup seorang diri?”
“Ini sudah kesepakatan, Jiwo. Kamu sudah tahu keputusan rapat desa,” salah seorang warga berteriak dari arah belakang dan disusul suara-suara yang lain menyetujuinya.
Gemuruh gunung kembali terdengar disusul goncangan yang lebih keras dan kerap. Orang-orang mulai tak sabar. Mereka makin mendekat. Mata mereka menatap tajam, dengan mimik muka geram dan marah. Aku menggenggam tangan Raga, merengkuhnya dalam pelukanku.
Guncangan makin keras, tanah yang kupijak pecah, sebelah kakiku terjatuh ke belakang. Aku hanya merasakan genggaman tangan dingin Raga dan teriakan Tetua Adat memanggilku, “Anakku!”
Lalu tak lagi kutahu yang terjadi setelah rasa panas memenuhi seluruh kulit tubuhku.(*)
Lutfi Rosidah, seorang Ibu yang berkeras belajar menulis.