Bocah Kuli Pasar

Bocah Kuli Pasar

Bocah Kuli Pasar
Oleh : Rizka W. A.


Imran mengitari setiap sudut pasar, menawarkan jasa angkat barang kepada setiap pengunjung yang melintas di dekatnya. Dia sudah berada di sana sejak subuh, tetapi hingga matahari sudah mulai menyengat, tak satu pun orang memakai jasanya.

Selepas subuh, Imran sudah berada di pasar untuk mencari nafkah. Dia bekerja sebagai tukang angkat belanjaan para pengunjung pasar. Di usianya yang masih sepuluh tahun, dia harus berjuang melawan kerasnya kehidupan.

Wajahnya mulai lesu, tenggorokannya kering, bahkan liurnya terasa pahit saat tertelan. Imran melirik jam pada sebuah toko kelontong, sudah pukul sepuluh. Sepertinya hari ini dia bakal pulang tanpa hasil.

Enggan putus asa, Imran kembali berkeliling, sambil terus berteriak menawarkan jasa. Kali ini, dia berteriak lebih lantang.

“Angkat barang, Bu, lima ribu saja!”

Seorang wanita berusia senja melambaikan tangan ke arahnya. Mata Imran berbinar, dia berlari mendekati wanita tua itu.

“Angkat barang, Nek?” tanya Imran. Nenek itu mengangguk.

Imran mengambil semua barang yang ada di tangan nenek itu. Ada tiga plastik berwarna hitam, berukuran besar. Imran sampai kewalahan. Wajar saja, jika nenek itu tidak kuat mengangkatnya.

Sesekali Imran mengusap peluh pada keningnya dengan lengan bajunya, sambil terus berjalan pelan di belakang wanita tua itu.

“Letakkan disini saja, Nak,” ucap sang nenek saat langkahnya terhenti di depan sebuah becak. Dia menyebutkan sebuah alamat kepada tukang becak, yang kemudian disetujui dengan anggukan oleh lawan bicaranya.

Ada yang mengganjal di hati Imran saat melihat isi plastik yang dia bawa. Sepertinya bahan baku untuk si nenek jualan. Ada tepung, beras, gula, dan pisang. Imran kemudian mengangkat barang-barang itu ke atas becak.

Imran menoleh, dilihatnya tangan nenek itu bergetar saat merogoh plastik hitam dari sakunya. Ternyata plastik itu berisi beberapa lembar uang dua ribuan, dan selembar uang lima ribuan.

Nenek itu pun mengambil uang lima ribuan, lalu mengangsurkannya kepada Imran. Namun, Imran menolak. Dia tidak tega menerimanya.

“Ambillah, Nak,” ucap sang nenek.

“Tidak, Nek. Imran ikhlas bantu Nenek,” pungkas Imran, kemudian berlari meninggalkan nenek itu.

Imran menghela napas, memegangi lehernya. Dari tadi pagi, belum ada satu pun yang masuk ke kerongkongannya. Perutnya sudah mulai mengeluarkan bunyi. Dia merogoh kantong celananya, hanya ada uang koin seribu rupiah. Imran tersenyum, kemudian bergegas menuju penjual es dalam kemasan plastik.

“Bu, beli es,” ucap Imran.

“Rasa apa, Le?” tanya si penjual.

“Apa aja, Bu.” Imran memamerkan gigi timunnya sembari mengangsurkan uang koinnya. Ibu penjual segera membuatkan minuman untuknya.

Imran meminum air dinginnya hingga tersisa setengah. Dia bernapas lega, kemudian kembali berteriak menawarkan jasanya.

“Dek, sini, bantuin Mbak angkat barang,” panggil seorang wanita muda yang berpakaian kantoran.

Imran berlari menghampiri dengan wajah semringah, lalu mengangkat barang belanjaan wanita itu.

“Kamu nggak sekolah, Dek?”

“Nggak, Mbak,” sahut Imran.

“Kenapa?”

“Nggak ada yang jagain Nenek.”

“Orang tua kamu ke mana, emang?”

“Sudah meninggal, Kak, sejak Imran masih bayi.”

Setelah sampai di parkiran, Imran memasukkan plastik-plastik belanjaan yang dibawanya ke dalam mobil. Wanita itu kemudian memberinya uang pecahan lima puluh ribu.

Imran termangu menatap uang itu. “Kak, sebentar, ya, saya tukar dulu uangnya,” kata Imran.

“Nggak usah, Dek. Ambil aja semua, itu rezeki buat kamu.”

Imran menolak dengan alasan tarifnya cuma lima ribu per sekali angkat. Namun, wanita itu memaksa. Akhirnya Imran menerima, meskipun dengan hati yang berat. Tak lupa dia mengucapkan terima kasih sebelum beranjak pergi.

Wajah Imran tampak semringah. Dia teringat dengan neneknya. Uang itu akan diberikan kepada sang nenek begitu sampai di rumah.

***

Tinggal bersama neneknya yang sudah renta di sebuah kontrakan kecil berukuran 3×4, tak membuat Imran bersedih. Dia selalu bersemangat untuk mencari nafkah.

Dia tidak punya sanak keluarga kecuali Nenek. Ibu Imran wafat selepas melahirkan. Sedangkan ayahnya, meninggal karena kanker paru-paru yang semakin menggerogoti.

Saat akan memasuki rumah, Imran melihat neneknya tengah membuka tutup wadah berisi beras dari balik jendela. Wanita ringkih itu mengangkat wadah hingga miring, agar semua isinya tumpah memenuhi panci yang sudah usang. Raut wajah sang nenek berubah sendu ketika beras yang dituang tinggal segenggam. Imran tak kuasa melihat saat air matanya jatuh di pipi keriputnya.

Imran berlari ke warung yang tak jauh dari rumah untuk membeli beras, kemudian kembali pulang. Dia menghela napas, sebelum mengucap salam, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Dinding yang terbuat dari tripleks, dengan toilet di dalamnya. Hanya itu yang mampu dia sewa.

“Nih, buat Nenek.” Imran menyerahkan kantong plastik berisi beras kepada sang nenek.

Nenek Imran mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh. Dia meraih beras itu dan mengusap punggung tangan cucunya dengan perasaan haru.

Penghasilan yang pas-pasan tak lantas membuat Imran berkecil hati. Dia selalu bersyukur, karena masih diberi kesempatan untuk bertahan hidup oleh Sang Pencipta.

Dulu, neneknya berjualan kue sambil berkeliling pasar. Imran juga kerap membantu menjualnya di lingkungan sekolah. Namun, beberapa bulan terakhir, sang nenek sering sakit-sakitan. Imran terpaksa putus sekolah untuk menjaga neneknya sekaligus bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Banyak yang menyayangkan keputusan Imran. Tapi apa daya, keadaan yang membuat Imran harus ikhlas. Semua dilakukannya dengan penuh semangat demi sang nenek.

Sedih kerap menyelimuti, ketika kondisi nenek semakin menurun. Imran takut kalau harus kehilangan keluarga satu-satunya yang dia punya. Terkadang Imran tercenung merindukan sosok kedua orang tuanya, yang hanya bisa dia sapa lewat doa.

Ketika putus asa menghampiri, Imran selalu mengingat nasihat terakhir ayahnya.

“Tuhan tidak pernah memberi cobaan di luar batas kemampuan kita, Nak. Apa pun yang Dia berikan, itulah yang terbaik buat kita.”

Imran mengusap air matanya, kemudian memeluk sang nenek erat.

Tamat.

Balikpapan, 7 Februari 2021

Rizka Wirdaningsih Abdi, akrab dipanggil Bonda Ikka atau Mbak Conan. Muslimah asal Makassar yang hobi membaca. Sesekali menulis untuk mengisi waktu luang. Writing is fun, because it can heal wounds. Kalian bisa mengenalnya lebih dekat melalui akun Facebook dan Instagram: Rizka Wirdaningsih Abdi.

Editor : Fitri Fatimah

Leave a Reply