Black Corona
Oleh : Sekar Rahayu
“Bisa betulin enggak, sih? Lama banget! Panas lagi!” seru seorang gadis berambut bak model iklan sampo yang melongok dari jendela mobil.
Si gadis terlihat kesal lantaran hampir dua jam dia menunggu pemuda yang baru dipacarinya sebulan itu memperbaiki mobil, tetapi sepertinya si pacar juga sedang bingung.
“Apanya yang salah, sih? Perasaan tadi di bengkel baik-baik aja,” gumam seorang pemuda. Ia menghela napas lalu berniat menyuruh kekasih barunya menstarter mobil, tetapi belum sempat terlaksana, kekasihnya itu sudah berada di luar.
“Lho, kok, keluar, sih, Sayang? Kepanasan, ya? Ada kipas portabel di dasbor.”
“Baterainya habis. Udah, ah, aku naik taksi aja. Bete banget nungguin lo dan mobil jago mogok lo ini.”
Si gadis berambut bak iklan sampo itu pergi, meninggalkan pacar barunya yang terus mengejar—merayu-rayu untuk kembali—tetapi sepertinya gadis itu sudah benar-benar tak peduli. Ajaibnya, sebuah taksi yang sedang kosong lewat. Tak lama kemudian, si gadis yang sebentar lagi berubah status menjadi mantan dibawa pergi sang sopir taksi, meninggalkan si pemuda yang berteriak-teriak bak orang gila di pinggir jalan.
“Sial!” rutuk si pemuda sambil menendang udara di sekitar. Pemuda berambut jabrik itu kembali ke mobil, mengutak-atik lagi mesinnya. Sebentar kemudian ia hanya bisa garuk-garuk kepala. Si pemuda bukannya tak mengerti bagaimana harus memperbaiki mobil mogok, tetapi apa yang harus dilakukan jika keadaan mobilnya baik-baik saja?
Tak berapa lama, pemuda bertubuh tegap itu menutup kap, masuk ke mobil, lalu menstarternya. Sumpah serapah terdengar dari mulut si pemuda ketika mobil itu menderu. Ia pun mencoba menyalakan AC.
Hidup.
Pemuda itu mengumpat lagi. Setelah memejamkan mata sejenak, ia baru melajukan kendaraan.
***
Dentum musik menggema ke seluruh ruangan. Menenggelamkan siapa saja yang berada di sana pada pesona lenggak-lenggok lawan jenis dan bir. Seorang pemuda terlihat menyela beberapa orang yang sudah tersihir musik DJ di lantai dansa. Pemuda itu lalu duduk di bar room, menunggu seseorang sambil merokok sampai seorang pemuda seumurannya datang.
Penampilan pemuda itu berbeda dari pengunjung kebanyakan. Beberapa tato menghiasi leher sampai dada yang terlihat karena pemuda itu tanpa pakaian atas. Ia hanya mengenakan celana jin yang robek di bagian lutut. Mungkin sengaja diekspos untuk menarik lawan jenis.
“Oi … gimana-gimana, lancar, enggak?” tanya si pemuda bertato itu sembari menjabat tangan pemuda perokok yang merupakan partner in crime-nya semasa kuliah.
“Payah.”
Si pemuda bertato tertawa mendengar jawaban temannya.
“Corona-mu lagi?” tanyanya kemudian, yang dijawab sebuah anggukan kesal oleh pemuda perokok. Pemuda bertato itu tertawa lagi. “Makanya gue bilang juga apa, udah jual aja, tuh, mobil tua. Jaman udah berubah euy.”
Si pemuda perokok hanya diam.
“Lagian kalo lo jual, bokap lo enggak bakal bisa protes, kok. Tenang aja, entar gue cariin mobil lain yang lebih yahud.”
Si pemuda perokok masih bergeming. Pipinya mengempot sebentar demi mengisap asap lebih banyak lalu mengembuskannya perlahan.
“Gue bingung,” katanya, mengabaikan tawaran si pemuda bertato. “Tiap kali gue jalan ama cewek, tuh, mobil selalu ngadat. Padahal udah jelas banget gue bawa itu mobil ke bengkel sebelum jalan. Enggak ada masalah. Tapi, kok … ah!” Si pemuda perokok mengacak rambut jabriknya.
“Makanya dijual aja. Lagian dari dulu udah gue suruh, lo masih pake aja.”
Si pemuda perokok melirik temannya sebentar lalu mengisap candunya kembali. “Peninggalan bokap gue.”
“Bah!” Pemuda bertato tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban tersebut. Kalung rantai di lehernya sampai bergemerincing. “Masih saja kau jadi anak berbakti.”
Si pemuda perokok hanya diam, tetapi wajahnya terlihat kesal.
“Lima juta, gimana?” kata si pemuda bertato setelah menyelesaikan tawa.
“Apanya?”
“Corona lo.”
Si pemuda perokok mendelik. “Gila lo! Mobil langka gitu lo hargain lima juta? Come on, Man!”
“Syetdah! Yang langka, kan, taonnya, mobilnya masih banyak yang punya. Tujuh, deh, kalo mau. Lumayan buat jajan.” Si pemuda bertato menaik-turunkan alis sembari menunjukkan cengiran, sementara si lawan bicara mengisap rokok sampai baranya hampir membakar habis benda putih lonjong tersebut.
“Oke, gue hubungin lo kalo jadi,” balas si pemuda perokok yang segera mematikan bara ke asbak kemudian bangkit.
Pemuda bertato menjentikkan jari. “Nah, gitu dong. Mau ke mana lo?”
“Cabut.”
“Bentar lagi show-nya mulai, nih!” Si pemuda bertato kembali menaik-turunkan alis, tetapi temannya hanya menyunggingkan senyum tipis lalu melanjutkan langkah meninggalkan tempat itu.
***
Seorang pemuda berperawakan tinggi tegap berjalan mantap menuju parkiran mobil. Sebuah Corona hitam dengan plat B 1 AN menjadi tujuan. Alarm lock berbunyi disusul terbukanya pintu, menyilakan sang pemilik untuk masuk. Tak berapa lama, mobil hitam itu meluncur dari diskotek lalu membaur dengan kendaraan lain di jalan raya.
Si pemuda masih berkonsentrasi pada jalanan yang ramai walau telah lewat tengah malam. Sesekali ia mengusap hidung mancungnya.
Mengingat percakapan dengan kawan tadi membuatnya terkenang sosok sang ayah. Beliau memang dikenal keras mendidik kedua putranya, tetapi tidak pernah meninggalkan peran sebagai seorang ayah. Pemuda itu tahu jika sang ayah sangat menyayanginya, pun sebaliknya.
Beliau selalu berusaha keras agar anak-anaknya bisa sukses dalam segala hal. Dan, usaha itu pun membuahkan hasil karena putra pertamanya mampu meneruskan usaha sang ayah dan mendirikan cabang di beberapa kota besar. Akan tetapi, tidak demikian dengan putra keduanya, yang memandang kehidupan sebagai sebuah kesenangan belaka.
Pemuda itu menghela napas panjang. Beberapa kali dia mendahului truk kontainer dan mobil lain seperti terburu-buru. Sampai di perempatan, Corona hitam berhenti karena lampu merah. Pemuda itu menyandarkan kepala ke bantalan kursi. Pikirannya melayang ke sosok sang ayah. Andai saja ia tidak termakan rasa iri kepada sang kakak yang selalu lebih unggul darinya.
Si pemuda berdecak kesal. Ia selalu menampik kebengalannya adalah sumber masalah. Justru orang-orang yang selalu membanding-bandingkan itulah masalah utamanya. Ia mungkin terlambat menyadari kebodohannya sampai hari itu tiba. Hari yang ditakdirkan Sang Pencipta untuk mengambil hidup sang ayah.
Pemuda itu merasa tak bisa berbuat sesuatu yang membanggakan semasa beliau masih ada. Hanya Corona hitam inilah yang bisa ia ambil, berharap bisa merawat dan menjaga mobil kesayangan beliau. Suatu hal yang tak sempat pemuda itu lakukan kepada sang ayah.
Tetapi, sepertinya Corona hitam itu enggan bersahabat dengan anak tak berbakti. Pasalnya, tiap kali pemuda itu berkencan, Corona hitam selalu melakukan aksi mogok dan baru bisa berjalan jika si pemuda “mendepak” kekasihnya.
Pemuda itu berpikir, mungkin hal tersebut adalah karma baginya. Tapi, ia juga tak mau menjadi bujang seumur hidup.
Ah! Seberengsek-berengseknya lelaki, pasti tak mau hidup sendiri, bukan? Pemuda itu membatin.
Si pemuda kembali menghela napas.
Memang tak ada jalan lain, ia harus menjual Corona-nya.
Mobil berjalan lagi ketika lampu lalu lintas berubah hijau. Kali ini sang pengemudi menyalakan wiper karena langit tiba-tiba menangis kecil.
Si pemuda melajukan mobil agak santai hingga seorang gadis dengan pakaian seksi terlihat melambaikan tangan dari pinggir jalan raya. Tas hitamnya yang berkilauan diterpa sinar lampu menjadi tameng kepala dan riasannya agar tak luntur dihapus hujan. Corona hitam pun menepi.
“Boleh nebeng, enggak? Gue kemaleman, nih.”
Gadis seksi itu mencoba memperlihatkan wajah melas nan menggoda. Dan, sepertinya berhasil karena si pemuda membukakan pintu mobil, membuatnya girang dan langsung masuk. Roda Corona hitam pun berputar lagi.
Sepanjang jalan, si gadis seksi terus berkicau, entah tentang apa karena pemuda yang sedang mengemudi hanya diam seribu bahasa. Pemuda itu juga heran, baru kali ini ia merasa tak nyaman pada gadis cantik dan seksi yang biasanya menjadi syarat mutlak menjadi pacarnya. Merasa bosan, pemuda itu menyalakan radio. Tetapi, baru beberapa menit menikmati Munajat Cinta-nya The Rock, tiba-tiba Corona hitam mulai melakukan aksi mogoknya lagi.
Kali ini si pemuda terlihat tak panik. Setelah berhasil menepikan mobil, ia keluar dan memberhentikan taksi yang—ajaibnya lagi—sedang lewat saat kosong. Setelah taksi berhenti, pemuda itu menghampiri si gadis yang masih duduk manis di dalam mobil.
“Lo naik taksi aja, deh!” perintahnya.
“Lho, emang kenapa? Kamu enggak bisa betulin? Panggil bengkel daring aja.”
“Nih, buat ongkos ke rumah atau ke mana aja, terserah lo.” Si pemuda mengabaikan saran si gadis seksi. Ia menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan yang langsung disambar. Si gadis berlalu dengan taksi yang sudah menunggu dengan gumaman tak jelas.
Kini, tinggallah pemuda itu sendirian. Ia segera masuk mobil karena masih gerimis. Iseng, dimainkannya spion depan lalu tanpa sengaja sepasang manik mata hitamnya menangkap sosok manusia yang berada beberapa meter dari mobilnya berhenti.
Pemuda itu menyipitkan kedua mata untuk memastikan ingatannya pada satu gadis depan sana. Ia memang mengenal gadis berkerudung jingga itu. Gadis yang kini sedang memeluk lengannya sendiri di halte. Si pemuda segera keluar dari mobil lalu menghampiri gadis berkerudung jingga.
“Fatima? Lo Fatima, ‘kan?” ujarnya, sementara yang dipanggil Fatima menoleh kemudian mengamati laki-laki di hadapannya.
“Kamu … adiknya Mas Reyhan, ‘kan?”
Pemuda itu tersenyum kecut saat si gadis berkerudung jingga bernama Fatima itu malah menyebut nama sang kakak alih-alih mengingat namanya.
“Iya, gue adiknya Mas Reyhan.”
Muda-mudi itu sempat terjebak suasana canggung hingga pihak si pemuda membuka suara.
“Ngomong-ngomong, kita pulang bareng aja, gimana? Jam segini nyari angkutan bakal susah.”
Fatima melihat mobil yang dimaksud si pemuda. Wajahnya agak ragu, tetapi ucapan si pemuda benar. Ia pun mengangguk.
“Ngapain lo tengah malam gini keluyuran? Sendirian lagi,” tanya si pemuda, mencoba mengulur waktu. Demi harga diri, Corona hitamnya sedang mogok dan ia tak mau malu. Salahnya juga memberikan tawaran.
“Aku kerja di minimarket deket sini. Harusnya udah pulang jam sepuluh, tapi tadi ada sedikit masalah, jadi lembur. Lagian, tadi ada temennya, kok, cuma udah dijemput aja.”
“Oh.”
Pemuda itu melirik Fatima. Gadis yang sudah lama menjadi tetangganya itu ternyata telah bertransformasi menjadi gadis manis. Seingatnya dulu, Fatima adalah gadis yang jorok karena suka ingusan. Walau demikian, pemuda itu masih ingat jika ia sering menggoda gadis berpipi berisi tersebut hingga menangis.
Dan, jika sudah begitu, Reyhan pasti datang bak pahlawan lalu memarahinya hingga mereka bertengkar. Perseteruan itu sering berakhir dengan hukuman dari sang ayah. Semua itu hanya karena seorang gadis kecil yang sekarang duduk di sebelahnya.
“Kok enggak jalan?”
Pertanyaan Fatima menyadarkan si pemuda. Ia mengusap hidung untuk menggagalkan senyum yang hampir terbit.
“Oh, iya, anu ….”
Si pemuda menjadi salah tingkah. Ia bingung harus bagaimana. Sempat terpikir untuk berterus terang perihal si mobil, tetapi buru-buru ia batalkan setelah menimbang hal tersebut akan membuatnya dicap sebagai kaum halu.
Oh, please, God, jangan sama Fatima. Gue masih pengen ngobrol
Si laki-laki mengeleng-geleng. Batinnya barusan dirasa ngawur.
“Kamu kenapa?” tanya Fatima yang sedari tadi mengamati pemuda di sebelahnya.
“Oh, enggak … enggak apa-apa, kok. Ya, udah kita jalan aja. Lagian udah malem.”
Fatima mengangguk lalu segera memasang safety belt. Sementara, si pemuda menghela napas, mencoba menenangkan diri dan meyakinkan hati bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Si pemuda mengangguk-angguk. Lalu, dengan taruhan harga diri, dimasukkan kunci mobil, distarter, dan … deru mobilnya tiba-tiba saja menjadi suara terindah yang pernah didengar selama hidup.
Tubuh si pemuda langsung tersandar ke kursi. Entah perasaan apa yang sedang menggelayut di hati, tetapi sekarang ia sedang menatap Fatima lengkap dengan senyum memikatnya. Lalu, Corona hitam itu melaju, menembus gerimis yang sepertinya tak akan segera reda malam ini.
***
“Makasih, ya, Nak Bian,” ujar ibu Fatima dari luar mobil yang sengaja menunggu putrinya di teras rumah. Adalah naluri semua ibu yang khawatir putrinya tak kunjung pulang.
Pemuda dalam mobil mengangguk seraya menyunggingkan senyum.
“Saya pamit, Bu.”
“Ah, iya, Nak. Hati-hati.”
Bian tersenyum lagi. Mobilnya dilajukan ke satu rumah di ujung barat, terlihat mencolok karena rumahnya sangat besar dan tertutup. Itu sebenarnya sangat dekat dari rumah Fatimah yang berada di ujung timur. Mereka memang bertetangga walau jarang berjumpa.
Sampai di depan pintu, seorang satpam tergopoh-gopoh membukakan gerbang lalu Bian segera melajukan sang Corona hitam ke bagasi. Setelah kendaraannya terparkir dengan benar, Bian merogoh ponsel di saku celana. Dengan sekali tekan, ia telah tersambung ke seseorang.
“Halo? Napa, Bi?”
“Ini soal Corona gue.”
“Widih, cepet banget lo kasih ke gue. Duitnya gue transfer secepatnya, ya.”
“Sorry, Rick. Gue enggak jadi jual, tuh, Corona.”
“What?!”
“Duitnya buat lo aja. Lumayan, kan, buat jajan.”
Kemudian, sambungan diputus sepihak oleh Bian karena dia tak mau mendengar kata-kata sampah temannya. Diperhatikan si mobil tua peninggalan sang ayah. Bian agaknya paham. Aksi mogok si Corona hitam bukan karena kutukan, tetapi memang gadis-gadis sebelumnya tak pantas duduk di mobil penuh kenangan sang ayah dan dirinya itu.
Bian kembali tersenyum mengingat Fatima. Ia lalu meninggalkan si mobil tua di bagasi sambil bersiul, mendendangkan sebuah lagu yang ia sendiri tak tahu liriknya. Mungkin mulai besok, laki-laki itu akan lebih sering mengajak Fatima menggunakan si Corona hitam.
Sekar Rahayu adalah nama pena penulis yang menyukai bunga. Saat ini sedang bersemangat belajar untuk membuat cerpen.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata