Black Bell 6
Oleh: Lily Rosella
Aku menunduk lebih dalam saat pistol itu ditodongkan ke kepalaku dan Anastasia bergantian, membuang senjata kami sesuai perintah, lantas berjalan mendekati orang-orang berseragam di sana dengan kedua tangan diangkat.
“Cepat ikat mereka,” titahnya.
Seseorang bertubuh agak gemuk mengikat tanganku ke belakang. “Bagaimana dengan gadis satu ini?” tanyanya setelah selesai.
Pria beralis tebal yang menodongkan pistol itu tak menjawab, dia hanya memberikan isyarat dengan meninggikan dagunya. Menyuruh seseorang bertubuh gemuk ini untuk membawaku bersama rombongan yang lain. Sedangkan Anastasia masih berdiri dengan posisi yang sama, begitu juga pria beralis tebal itu.
Mataku terbelalak, pun begitu tubuhku langsung merontak setelah menyadari kalau pria yang bersama Anastasia hendak menarik pelatuk pistolnya yang masih terarah sempurna ke kepala gadis berambut merah tersebut.
Hanya butuh waktu seperkian detik, suara dentuman keras terdengar memecah kesunyian di hutan ini. Kakiku yang baru saja hendak kugerakkan kini hanya bisa mematung. Melemas. Namun alangkah terkejutnya aku saat suara dentuman itu kembali terdengar bersamaan dengan terkaparnya pria tadi.
Anastasia membuka matanya, menatap sekitar sama seperti para prajurit yang ada di dekatku. Salah satu dari mereka juga sudah tumbang dengan bekas luka tembak. Itu cukup membuat yang lainnya bersiap dengan senjata mereka, berdiri memunggungiku sambil tetap berada di sekeliliku, sedangkan pria bertubuh gemuk ini masih saja sibuk memegang tanganku yang terikat dan menodongkan pistolnya padaku.
“Jika kalian berani maca-macam, maka gadis ini akan mati,” begitu katanya.
Entah siapa orang yang berada di balik semua ini dan apa motifnya, ia seperti tidak peduli dengan nyawaku dan melepas tembakan dari arah yang tak terduga, menumbangkan satu prajurit lagi. Pun begitu Anastasia telah berlari menuju semak-semak tadi, mengambil cross bow-nya dan membidik salah satu prajurit ini.
“Kalau kau bertemu mereka, kau tidak perlu cemas. Mereka tidak akan berani menyakitimu,” ucapnya beberapa menit lalu.
Anastasia menatapku, kemudian mengangguk mantap. Ia akan melepaskan tembakannya segera. Belum juga ia menarik pelatuk cross bow-nya, pria berbadan gemuk yang berdiri di sampingku sepertinya tidak main-main dengan ucapannya setelah satu dentuman keras kembali terdengar dan membuat salah seorang prajurit kembali terkapar. Ia sudah bersiap menembakku, membuat Anastasia mengurungkan niatnya.
“Aauuu …,” suara lolongan terdengar sebelum pelatuk sempurna ditariknya.
Sosok bertubuh tinggi dan bertaring tajam tiba-tiba melompat ke arah kami. Mengangkat salah satu prajurit yang mengelilingiku dan mencekiknya hingga terdengar suara tulang-tulang remuk. Lantas menjatuhkannya begitu saja.
Kakiku gemetar, semua prajurit telah bersiap dan menodongkan pistol kepada monster yang pernah aku lihat saat hendak datang ke negeri ini.
“Seperti apa para manusia serigala itu?” tanya Anastasia saat di anak sungai dulu.
Aku berpikir sejenak sambil menatap pepohonan juga air sungai yang beriak. “Mereka bertubuh besar. Terlihat seperti seekor serigala, tapi bisa berdiri dengan kedua kaki sama seperti manusia. Mereka juga memiliki cakar yang panjang dan tajam, sama seperti taring mereka.”
“Lalu?”
“Mata mereka seperti sebuah lampu yang bersinar terang dalam gelap, meski begitu warnanya tidak sama. Dari yang aku lihat, hampir semua makhluk tersebut bermata merah darah. Indra penciuman mereka juga tajam. Mereka bisa mengendus keberadaan kita meski dengan jarak beberapa ratus meter atau mungkin satu kilometer sekalipun,” jelasku.
Anastasia mengangguk. Dia pasti sedang membayangkannya ketika aku mengatakan tentang monster buas tersebut. Dan kini, tepat di sampingku—yang telah berlari saat para prajurit tersebut lengah karena harus berhadapan dengan monster itu, aku melihat tatapannya seolah tak terkejut sedikit pun saat menyaksikan langsung seperti apa makhluk yang selalu membuatnya penasaran setiap waktu.
Sementara para prajurit tengah menghadapi makhluk bertubuh besar di hadapan kami, Anastasia langsung menggenggam tanganku setelah menyerahkan busur dan anak panah yang sempat aku buang bersamanya. Mengajakku untuk pergi ke lokasi yang ingin kami tuju tadi.
***
“Coba ceritakan lagi padaku tentang dongeng yang pernah kau ceritakan dulu,” pintanya beberapa malam lalu.
Aku yang baru saja menggantung lentera di paku dekat pintu, menatapnya. Malam ini ia tidur bersamaku karena Nenek Rose ada pertemuan di pedepokan bersama Paman Robert juga para tetua lainnya. Entah apa yang sebenarnya terjadi, akhir-akhir ini mereka sangat sering melakukan pertemuan dan membahas sesuatu yang aku sendiri pun tak ingin mengetahuinya atau berbasa-basi untuk bertanya.
“Dongeng yang mana?” tanyaku setelah merebahkan diri di sampingnya.
“Tentang gadis berkerudung merah dan serigala.” Aku menghela napas pelan, kemudian mengangguk saru.
Ya, aku pernah menceritakan dongeng itu padanya. Sebuah dongeng yang kudapat dari salah satu buku yang dibawa Ayah sepulang dari kota. Buku berjudul Red Riding Hood.
Suatu hari, Red Riding Hood, seorang gadis yang mengenakan kerudung merah pergi ke rumah neneknya yang berada di hutan. Dia hendak menjenguk neneknya yang sakit. Di tangan kanannya, ia membawa keranjang rotan yang berisi beberapa potong roti, selai, juga buah. Ia melangkah dengan ringan sambil berdendang. Di sampingnya seekor anjing kecil juga ikut menyertai, terkadang anjing itu berhenti sesaat untuk menggaruk telinganya, lantas berjalan lagi bersama si gadis.
Mereka menelusuri jalan di hutan yang biasa dilewatinya ketika hendak berkunjung. Tapi di tengah perjalanan tiba-tiba seekor serigala muncul begitu saja, membuat anjing kecil yang bersamanya terus menggonggong dengan suaranya yang mungil.
“Apa yang terjadi setelahnya?” tanya Anastasia sambil menarik selimut agak tinggi.
Aku menatapnya untuk semenit. Memerhatikan kedua alisnya yang nampak bertautan. “Bukankah kau sudah pernah mendengar kisah ini?” aku balik bertanya.
Dia mengangguk. Mengatakan bahwa ia sedikit lupa dengan jalan ceritanya dan hanya mengingat bagian akhir saja. Itu pun tidak semuanya. Hanya beberapa, karena aku menceritakan dongeng itu sekitar dua tahun lalu.
Aku memperbaiki rambutku yang barusan tertiup angin, menyelipkannya di belakang daun telinga. Sedangkan Anastasia masih menatapku, menunggu kelanjutkan cerita.
Gadis itu tetap bersikap tenang. Bahkan kedua bola matanya yang berwarna cokelat gelap memandangi serigala tanpa berkedip.
“Apa yang kau bawa?” tanya serigala.
Gadis itu membuka kain penutup keranjangnya. Menunjukkan roti, selai, juga buah-buahan yang dibawanya sambil menyebutkan semua itu satu persatu.
Serigala besar mengangguk. Ia seperti sedang menyiapkan siasat sembari memandangi isi keranjang rotan yang di bawa oleh gadis berkerudung merah itu.
“Kau akan pergi ke mana?” tanyanya.
Tanpa menaruh curiga, gadis yang biasa bersahabat dengan hewan-hewan di sekitarnya menyebutkan ke mana tujuannya saat ini. Ia mengatakan hendak ke rumah Nenek, pun begitu ia juga menujukkan di mana letak rumah nenek berada.
“Kalau begitu kau harus melewati jalan ini,” ucap serigala sambil menunjukkan jalan satunya. Gadis itu menggeleng. Ia tidak boleh pergi dari jalur yang biasa dilewatinya.
“Tapi di sana banyak bunga-bunga yang indah. Kau bisa mengambil beberapa dan memberikannya kepada nenekmu,” bujuk serigala.
“Apa dia mendengarkan saran serigala?” tanya Anastasia yang masih antusias mendengarkanku bercerita.
Aku tersenyum, mengangguk, dan melanjutkan cerita.
Gadis itu terdiam sejenak. Matanya menatap sekilas kepada anjing kecil di sampingnya. Untuk kemudian ia setuju. Gadis berkerudung merah itu pernah melihat bunga-bunga yang indah saat melewati rute itu dalam perjalanan pulang. Mungkin ia bisa memetik beberapa bunga dan membawakannya kepada Nenek agar beliau cepat sembuh.
“Terima kasih serigala,” ucap gadis itu sembari melambaikan tangannya.
Di perjalanan di tengah hutan, kupu-kupa yang tengah terbang di atas hamparan bunga berwarna merah juga kuning tersebut kini menghampiri gadis berkerudung merah itu. Kupu–kupu itu hinggap tepat di hidungnya yang mancung. Membuat sebaris senyum yang indah mengembang cukup lama sambil kedua bola matanya menatap hewan cantik yang hinggap untuk beberapa detik saja pada bagian dirinya. Ia telah sampai pada tempat tujuannya.
Gadis berkerudung merah itu menghampiri hamparan bunga–bunga yang sedang bersemi, memetik beberapa, kemudian pergi sambil melambaikan tangan kepada kupu-kupu tadi juga kupu-kupu lainnya. Pikirnya, Nenek pasti akan sangat senang setelah melihat bunga–bunga yang digenggamnya.
Ia terus berjalan, dan akhirnya sampai di rumah Nenek. Mengetuk pintu, lalu masuk setelah dipersilakan. Anjing kecilnya terus menggonggong selama masuk ke dalam rumah. Gadis berkerudung merah menaruh keranjangnya di meja setelah menyapa Nenek, mengambil sebuah wadah yang akan digunakan sebagai vas untuk menaruh bunga itu, kemudian menghampiri Nenek dan duduk di kursi samping ranjang.
Aku melirik Anastasia. Dia tengah menyelimuti dirinya sampai separuh wajah sambil menatapku lamat-lamat.
“Ini hanya dongeng. Lagi pula usiamu sudah dua puluh satu tahun,” ucapku yang agak bingung.
Anastasia menurunkan selimutnya sedikit. Tersenyum lebar dan menunjukkan barisan giginya yang rapi, sambil sesekali matanya mengedip. “Lanjutkan,” pintanya.
Gadis itu merasa ada sesuatu yang aneh pada neneknya. Mengajukkan beberapa pertanyaan hingga akhirnya ia menyadari kalau yang ada di hadapannya saat itu bukanlah neneknya, melainkan serigala besar yang ia temui dalam perjalanan tadi.
“Ke mana Nenek?” tanyanya.
Serigala langsung menerkam gadis tersebut, mengabaikan anjing kecil gadis berkerudung merah itu yang berusaha menggigit ekor serigala. Mengatakan pada gadis kecil itu kalau ia akan menunjukkan di mana neneknya berada. Setelah mengatakan hal itu, serigala langsung memakan gadis berkerudung merah dan terlelap di ranjang besi yang tadi sempat ditempatinya.
Sementara serigala asyik terlelap, anjing kecil milik gadis itu berlari keluar, mencari seseorang untuk membantunya. Hingga akhirnya ia bertemu si penebang pohon. Mengantar sampai rumah Nenek. Dengan kapak yang diayunkan si penebang pohon itu, perut serigala dibelah.
“Gadis berkerudung merah dan neneknya keluar tanpa terluka sedikit pun. Setelah itu mereka mengisi perut serigala dengan batu-batu yang membuat serigala tersebut sulit bergerak dan mati. Selesai,” ucapku menutup cerita.
Bukannya bernapas lega, Anastasia malah menundukkan pandangannya, menatap kedua tangannya yang tengah memegang selimut.
“Ada apa?” tanyaku.
Anastasia menggeleng. “Itu adalah kisah yang menyedihkan,” ucapnya.
Aku mendelik. Bertanya mengapa ia bisa berpendapat demikian. Tapi bukannya menjawab, ia malah mengajakku untuk tidur.
“Baiklah, besok kita juga harus bangun pagi-pagi sekali,” sahutku.
(Bersambung)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Blurb cerbung: Black Bell
Makhluk mengerikan berwujud srigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.
Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.
Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita