Black Bell 8
Oleh: Lily Rosella
Aku memejamkan mata. Dulu, Albert pernah mengatakan kalau dia sedang membangun sebuah rumah di suatu tempat. Rumah yang kelak akan kami tinggali nanti—tentunya saat aku cukup dewasa. Tidak ada yang istimewa dengan semua itu, hanya saja beberapa hari belakangan ini aku mulai memikirkannya. Membaca ulang surat dari Albert dan menerka-nerka tempat seperti apa yang ingin ia tunjukkan padaku.
Mungkin, bisa jadi tempat itu adalah rumah yang telah selesai dibuatnya sekarang, atau mungkin masih tahap penyelesaian sehingga ia mengirimiku surat dan tidak menemuiku apalagi mengatakannya secara langsung. Itu hanya mungkin. Dalam waktu tiga tahun segalanya bisa saja terjadi, ada banyak kemungkinan yang entah itu benar atau tidak. Dan aku hanya bisa membaringkan tubuhku di ranjang, menatap langit-langit yang tak tertutup, membuat kayu-kayu yang diselimuti kabang-kabang terlihat jelas. Memikirkan banyak hal tentang semua kemungkinan di setiap malamnya.
Suara lolongan makhluk bermata merah darah itu memecah kesunyian di tengah hutan. Tubuh besarnya menghantam aku dan Anastasia hingga jatuh dan menghantam pohon di dekat kami. Aku memejamkan mata sejurus mendelik. Membuka kedua mata lebar-lebar dan tak melepas sedetik pun pandanganku darinya. Monster itu bukannya menerkam, ia malah melompat sekali lagi ke arah tempatnya tadi datang. Tubuhnya berdiri tegap dengan kedua kakinya memijak tanah, juga tangan kanannya mengangkat seseorang berambut pirang. Aku tahu dia! Orang itu adalah salah satu pasukan yang menangkapku tadi.
“Kau tidak apa-apa?” tanya seseorang yang muncul secara tiba-tiba.
Aku menatapnya. Mengangguk lantas kembali mengarahkan pandangan pada makhluk yang berdiri beberapa langkah dariku. Tadi … dia sempat menoleh sekilas padaku sambil tangannya tetap mencengkram orang berambut pirang tersebut. Mulutnya yang besar terbuka lebar sehingga taring-taringnya yang panjang juga runcing terlihat jelas. Ia mengerang di depan wajah orang itu. Aku bisa melihat kemarahan yang berkecamuk dalam dirinya.
“Pergilah!” serunya. Cengkramannya melemas. Perlahan tapi pasti ia menurunkan mangsanya dan melepas jari-jarinya yang mengepal sempurna leher orang itu.
Dengan langkah gontai, wajah pucat pasi, juga kakinya yang agak pincang, orang dengan penampilan berantakan itu langsung bergegas pergi. Sama sepertinya, aku juga terkejut mengetahui kalau ternyata manusia serigala yang sejak beberapa bulan lalu selalu meresahkan masyarakat, ternyata dapat berbicara. Suaranya besar dan bergema.
Entah sudah sejauh mana orang berambut pirang itu pergi, tak lama suara dentuman senapan terdengar kencang. Membuatku langsung berdiri, menatap dingin seorang pria yang berdiri di belakangku. Di punggungnya terdapat sebuah senapan, begitu juga orang-orang yang berdiri di dekatnya.
“Saya—”
“Apa yang kau lakukan padanya?” tanyaku memotong ucapannya yang baru dimulai.
“Bukankah dia ingin membunuh Anda? Jika kita membiarkannya hidup, mungkin dia akan menjadi senjata yang dapat membunuh kita.”
“Bukan! Bukan orang itu.” Aku menggeleng.
“Lalu?”
“Dia!” Aku menunjuk makhluk berbulu itu. “Apa yang kau lakukan padanya?!”
Pria itu mendelik. Memicingkan matanya sambil menatapku penuh selidik. Jari telunjuk tangan kirinya menjentik-jentik pahanya sendiri sambil matanya tak berkedip menatapku. Kepalanya ditelengkan sesaat untuk kemudian dia berdecak.
“Anda mengenalnya?” tanyanya.
Aku terdiam, menoleh pada makhluk tersebut yang tak beranjak sedikit pun dari tempatnya tadi. Tubuhnya yang berdiri tegap kini telah membungkuk, kedua telapak tangannya ditempelkan di tanah. Suara napasnya yang terengah-engah lebih mirip seperti hewan buas yang tengah mendengus. Membuat daun-daun kering di sekitarnya bergeser sedikit karena embusan napasnya yang agak kencang. Di sampingku, Anastasia yang juga telah berdiri tak lama setelahku menarik-narik pelan lenganku saat aku hendak menghampiri makhluk tersebut. Dia menggeleng, meminta untuk bergegas pergi.
“Aku ingin memastikan sesuatu,” bisikku.
“Jangan Alison,” cegahnya.
“Alison?” Pria bersuara serak yang kini berada di belakangku menatap penuh tanya. “Apakah gadis ini …?”
Anastasia melepaskan genggamannya dari lenganku. Mengangguk pada pria yang entah siapa. Ini adalah pertama kali aku melihat pria tersebut.
Ia menatapku. “Kau tidak mengingatku?” ucapannya yang formal kini sudah berubah menjadi lebih santai. Ia menunjukkan senyum miringnya.
Aku tak segera menjawab. Lebih memilih menatap Anastasia. Mungkin itu seperti aku sedang bertanya, siapa pria tersebut, apa kau mengenalnya, apa aku mengenalnya, atau pertanyaan lain yang serupa.
“Ah, sepertinya kau tidak mengingatku.” Aku menggeleng.
“Perapian.”
Aku menggeleng lagi.
“Natal?”
“Bagaimana dengan pesta ulang tahunmu yang ketujuh!” ucapnya sekali lagi.
Aku mengerutkan dahiku. Bibir pria itu yang sejak sedetik lalu masih menyunggingkan senyum kini tertutup rapat bahkan sampai-sampai hampir tidak terlihat. Dia nampak sedang memikirkan sesuatu.
“Rumah Nenek!” ucapnya penuh semangat.
“Nenek?”
Dia mengangguk. Melipat kedua tangannya di bawah dada. “Haruskah aku memperkenalkan diri?” tanyanya yang kembali tersenyum.
Tanpa menghiraukannya dan mengangkat kedua bahu, aku berbalik. Mataku menyapu sekitar, mencari sesuatu yang sangat ingin aku tahu. Makhluk itu sudah tidak ada di tempatnya tadi. Ia pasti pergi saat pria bersuara serak itu mengajakku berbicara. Berbual seolah-olah ia memang benar-benar mengenalku.
“Di mana dia?” tanyaku.
Pria itu memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana, mengangkat bahunya. Seolah sedang berkata, aku tidak tahu.
“Di mana dia?!” tanyaku lantang.
Pria itu tersenyum. Kedua alisnya terangkat dan matanya menatap salah satu pohon besar. Ia seperti sedang menunjukkan padaku bahwa aku bisa menemukan apa yang aku cari di sana. Di baliknya, makhluk mengerikan yang selama ini aku benci dan kutakuti bersembunyi. Dia … entah apa yang bisa kukatakan untuk menggambarkan apa yang aku pikirkan saat ini.
Kakiku yang tak begitu bertenaga melangkah pelan menuju tempat yang ditunjuk tadi. Tubuh besar makhluk itu tak nampak dari tempat aku berdiri, bahkan juga ketika aku sampai di depan pohon besar ini. Aku menghela napas, memejamkan mata sekejap, lalu kembali berjalan untuk memastikan bahwa mahkluk itu benar-benar ada di balik pohon ini.
“Kau …?” Mataku berkaca-kaca saat menatapnya yang menyandarkan punggung ke pohon. Tangan kanannya mendekap tangan kiri, pun begitu keduanya ditempelkan di dada.
Mulutnya yang sejak tadi berkomat-kamit tanpa suara langsung berhenti seketika. Kepalanya yang ditundukkan dalam-dalam kini terangkat. Ia menatapku. Bola mata berwarna cokelat almond yang selalu aku tatap lekat-lekat sejak aku berusia 14 tahun itu sudah kehilangan binarnya. Ada setumupuk ketakutan dan kekhawatiran di sana.
“Kau melihatnya?” tanyanya.
Aku mengangguk. Menarik lurus sudut bibirku hanya untuk menunjukkan sebaris senyum padanya. Tapi sayangnya aku tidak bisa. Mataku yang semula hanya berkaca-kaca kini telah basah dan membuat cairan bening di dalamnya menggumpal di sudut mata.
“Maafkan aku,” ucapnya lirih.
Aku menggeleng. Tak menjawab ucapannya. Napasku yang terasa sesak terus saja memaksaku untuk memeluk seseorang yang sangat aku rindukan selama tiga tahun belakangan ini. Di bawah cahaya bulan yang tak utuh dan bertambah tinggi, pria dengan bekas codet di wajahnya itu membalas pelukanku. Membuatku membenamkan wajah dalam dekapannya. Menangis sesenggukan.
“Maafkan aku,” ulangnya.
Dalam pelukannya, aku menggeleng sekali lagi. Tidak ada yang perlu dimaafkan apalagi dipersalahkan. Semua kebencian yang tertanam selama ini di dalam hatiku perlahan mulai memudar. Hitam yang melegam bak sungai yang terus menerus dialiri limbah dan tak dapat memantulkan cahaya bulan kini telah lenyap. Terhisap begitu saja.
Aku … telah menemukan sendiri jawabannya. Dan sama sepertinya. Mungkin kedua orang tuaku juga mengalami hal yang serupa. Mereka memiliki alasan yang belum dapat mereka jelaskan padaku saat itu. Dan memikirkan kedua orang tuaku membuatku melepas pelukannya. Mendongak dan menatap bola matanya yang berwarna cokelat almond.
“Bagaimana dengan orang tuaku?”
Albert menatap bulan. Kakinya melangkah mundur satu langkah. “Ayo!” serunya sambil memunggungiku. Lantas berjalan mendekat ke arah pria dengan senapan di punggungnya.
“Ke mana?”
“Ke mana?” ia balik bertanya. Aku mengangguk.
“Tentu saja pergi dari sini sebelum pasukan lain datang,” pria berbaju biru dongker itu yang menjawab.
“Bukankah kalian telah menghabisi seluruh pasukan rahasia?”
“Apa? Pasukan rahasia?” Dia tertawa sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Senyumnya yang miring kini kembali tersungging saat ia menatapku. “Itu hanya pasukan biasa,” jelasnya.
“Di sana, di desa yang kalian tinggali, ada lebih banyak pasukan. Bahkan mungkin juga di hutan ini.” Senyumnya memudar. “Entah apa nenekku masih hidup atau tidak saat ini.”
Pria itu, sejak ia berlagak sok mengenalku, ia selalu saja menyebut neneknya. Entah wanita tua mana yang ia maksud. Tapi dari wajahnya yang terkena sedikit berkas cahaya bulan, aku bisa melihat kalau dia benar-benar mengkhawatirkan sesuatu. Entah tentang apa atau siapa. Bisa jadi neneknya memang benar-benar ada di sana. Bisa jadi juga neneknya adalah salah satu di antara tetua yang biasa berkumpul saat malam di pedepokan. Membahas hal-hal yang cukup rumit dari malam ke malam.
“Nenekmu?”
Dia mengangguk. “Iya. Nenekku!”
“Siapa yang sedang kau maksud?”
Pria bersuara serak itu menatap sebal padaku. Tangan kanannya langsung merangkulku dan wajahnya di dekatkan pada wajahku. “Rupanya kau benar-benar tidak mengenalku, ya?”
Aku menggeleng untuk kesekian kali setelah mendapati pertanyaan yang sama.
Albert berjalan mendekat. Melepaskan tangannya yang melingkar di leherku.
“Baiklah,” sahut pria itu hanya dengan melihat tatapan Albert yang dingin. Ia mengangkat kedua tangannya. Mundur beberapa langkah dan berdiri di samping Anastasia.
Aku tersenyum sekilas pada Albert. Wajahnya yang dulu tampak ramah dan ceria kini berubah total. Jika tidak melihat kilasan itu, mungkin aku tidak dapat mengenalinya sama sekali. Rambutnya selalu tertata rapi kini sudah panjang melebihi bahu. Wajahnya juga tidak bersih. Ada kumis dan jenggot yang telah menyatu bersama cambangnya yang panjang. Mungkin lebih tepatnya itu disebut bewok. Di lehernya, baju yang dulu ia kenakan saat terakhir kali bersamaku terlingkar. Ia tidak dapat mengenakan baju itu lagi. Mungkin karena ukuran tubuhnya yang besar tadi sehingga baju itu rusak dan sudah tak dapat ia pakai.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” ucapku pelan.
Albert yang sudah berjalan beberapa langkah di depanku bersama yang lain menghentikan langkahnya.
“Bagaimana kabar mereka?” tanyaku lagi.
(Bersambung)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Blurb cerbung: Black Bell
Makhluk mengerikan berwujud srigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.
Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.
Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita