Black Bell (episode 7)

Black Bell (episode 7)

Black Bell 7

Oleh: Lily Rosella

Setelah berlari cukup jauh, aku dan Anastasia memutuskan untuk beristirahat di dekat pohon beringin. Anastasia duduk sambil menyandarkan punggungnya di pohon, tangan kirinya memegang bahu kanan, pun wajahnya menghadap belakang. Memerhatikan baju bagian punggungnya yang robek. Tadi, saat kami berlari, bajunya yang berwarna cokelat mocca terkoyak oleh ranting pohon dan kulitnya tergores sedikit.

Aku melepas bagian penutup kepala juga kancing mantelku. “Pakailah,” ujarku.

Dia menggeleng. Menyuruhku untuk mengenakan mantel itu kembali. “Kau tidak boleh melepasnya,” ujar Anastasia sambil melepas tangannya dari bahu.

“Kenapa?”

“Serigala mungkin buta warna saat malam hari, tapi pendengaran juga penciuman mereka menjadi jauh lebih tajam. Kau harus tetap mengenakan mantel ini agar bisa bersembunyi dengan aman.”

“Kenapa?”

Anastasia mendelik. “Apa yang kenapa?”

“Kenapa hanya aku yang harus bersembunyi? Dan kenapa mereka mencariku? Lalu … bagaimana dengamu? Apa kau tidak perlu bersembunyi?” tanyaku tak mengerti. Sejak awal aku hanya mendengar dan menurut saja. Mereka tidak pernah menjelaskan apa pun padaku. Memintaku untuk mengganti nama, menyembunyikan identitas asliku. Bahkan memintaku untuk bersembunyi, bersembunyi, dan bersembunyi tanpa aku sendiri tahu apa alasan atas pelarian ini.

“Kau memintaku bersembunyi di ruang rahasia itu, sedangkan yang lain … mereka melawan para pasukan rahasia seperti yang kau katakan, bukan?” tanyaku lagi. “Aku tidak mengerti jika tidak ada seseorang pun yang menjelaskannya padaku!”

Wanita sebayaku itu mengangguk. Bibirnya yang sempat terkatup kini menyunggingkan sebaris senyum. Belum juga ia menjawab pertanyaanku, tiba-tiba suara pohon tumbang terdengar jelas. Membuatku menoleh cepat ke kanan. Tak ada lagi pertanyaan tentang apa dan kenapa. Mata bulatku terbuka lebar, pun begitu tanganku dengan cepat meraih busur dan anak panah yang tergeletak tak jauh dari pohon beringin yang ada di hadapanku.

Aku menarik anak panah dan mulai membidik ke arah suara tumbangnya pohon yang berjarak tak jauh dari tempatku berdiri. Di sampingku, Anastasia tidak bersiap dengan cross bow atau pistol yang dibawanya dari ruang bawah tanah. Dibanding mengeluarkan senjata, ia malah memilih menarik tanganku dan mengajakku untuk kembali berlari lebih jauh. Mungkin ia sudah memperkirakan kalau kami tidak akan mampu melawan makhluk mengerikan itu. Jika monster itu saja sudah mengejar kami sampai ke sini, maka para prajurit tadi pasti sudah mati terbunuh semua.

“Kita tidak akan bisa melawannya!” tegas Anastasia.

Aku mengendurkan kembali tali busurku. Berlari bersama Anastasia dengan tetap menggenggam erat busur dan anak panah. Berjaga-jaga kalau tiba-tiba saja makhluk tersebut berhasil menyusul kami.

Bruk!

Sebatang pohon besar kembali tumbang. Pun begitu suara lolongan terdengar jelas setelahnya. Kakiku mematung. Berhenti saat menyadari kalau makhluk tersebut sudah berada di hadapan kami. Matanya yang berwarna merah darah menatap tajam, membuat jantungku terus berdegup kencang saking takutnya.

Busur telah terbentang. Aku balik menatap tajam padanya, bersiap untuk melepas anak panah yang telah kuarahkan tepat ke jantung makhluk berbulu lebat dan bertubuh besar itu. Tidak ada salahnya membuat pilihan meski akhirnya meleset, lagi pula pada akhirnya ia tetap akan menyerang walau dalam keadaan sekarat setelah tertembak anak panah. Di sini, di tengah hutan yang tak pernah kupijak sebelumnya. Hidupku akan berakhir!

Wush! Aku melepas anak panah, membiarkannya melesat tepat saat makhluk mengerikan tersebut melompat ke arah kami.

***

“Kau akan jadi apa nanti?” Albert memegang pensil yang ujungnya sangat runcing. Memain-mainkan benda tersebut.

Aku tersenyum. Melompat pada bebatuan kecil yang ada di halaman belakang rumah. Di sana pohon-pohon terpangkas rapi. Di sebelah kiri terdapat sekumpulan bunga-bunga mawar yang baru mekar. Ada sebuah sangkar juga yang isinya telah terlepas secara tidak sengaja ketika aku hendak mengambil makanan di meja dan lupa menutup pintu sangkar yang telah aku buka.

“Jawablah!” seru Albert tak sabaran. Lelaki yang mengenakan kaos bergaris-garis warna biru dan kuning itu menghentikan gerak tangannya yang sedang menggambar sesuatu.

“Bagaimana jika aku tak menjawabnya?”

Dia menatapku lekat-lekat, melipat kedua tangannya di dada. “Aku tidak akan menyelesaikan gambar ini.”

Aku mengerucutkan bibir. Baru dua jam ia mulai melukisku yang tadinya sedang duduk manis memerhatikan sangkar putih dengan ukiran di bawahnya, sekarang ia malah mengancam untuk berhenti hanya karena sebuah pertanyaan hendak jadi apa aku kelak.

“Kau hanya perlu menjawabnya, maka aku akan melanjutkan gambar ini. Bagaimana?”

Tanganku yang mengenakan sehelai gelang terangkat. Membenarkan posisi bando merah jambu dan poni yang hampir saja menusuk-nusuk mataku karena sudah agak panjang. Kini aku berdiri di hadapannya, berkecak pinggang lalu mengambil kertas di atas meja. Ia telah menggambar sebuah kepala tanpa wajah—belum ada gambar mata, hidung, mulut—juga rambut yang terurai dan beberapa helainya terlihat seperti sedang ditiup angin, menari sedikit.

“Kau baru menyelesaikan diriku saja? Itu pun tidak ada wajahnya sehingga tidak akan ada yang tahu jika itu aku,” keluhku.

Dia tertawa kecil. Alisnya yang agak tebal terangkat ketika ia tersenyum miring sembari menatapku. Punggungnya direbahkan pada sandaran kursi kayu yang tengah ia duduki.

“Katakan saja, ingin jadi apa kau nanti?”

Aku menarik bangku di hadapannya. Duduk dan melipat rapi kedua tanganku di atas meja. Mengangguk sekilas dan memandangi setiap lekuk wajahnya yang setiap saat selalu terlihat cerah. Dia, sepertinya selalu dipenuhi kebahagiaan sehingga bisa tersenyum setiap waktu. Mungkin.

“Aku?” Albert mengangguk.

“Aku ingin menjadi seperti orangtuaku,” jawabku tanpa berbasa-basi sama sekali.

Mata berwarna cokelat almond itu terbelalak. Tangannya yang terlipat kini merenggang. “Benarkah?” tanyanya.

Aku mengangguk mantap. Tentu saja! Jika bukan menjadi seorang ilmuwan layaknya kedua orangtuaku, maka aku harus menjadi apa. Aku tidak mengenal dunia yang kutempati ini dengan baik. Sejak kecil, bahkan setelah aku berusia 14 tahun, aku selalu di rumah, memerhatikan Ayah dan Ibu dengan berbagai macam eksperimen mereka di ruang bawah tanah. Entah itu seperti melakukan pembedahan pada hewan yang baru diburu Ayah agar tahu struktur tubuh mereka, atau penelitian lain yang lebih hebat.

“Selain itu?” tanyanya lagi.

Aku menggeleng. Tidak ada yang kutahu tentang akan jadi apa aku kelak. Aku tidak memiliki banyak bakat seperti pemuda berusia 17 tahun di hadapanku ini. Ia bisa menggambar, pun begitu juga pandai berburu. Bahkan mengendarai mobil jeep milik almarhum suami Nenek Rose ketika ia belum genap sepuluh tahun pun, ia sudah bisa. Banyak hal yang bisa dilakukannya sehingga ia bebas memilih.

“Kalau kau?” aku balik bertanya.

Albert menghela napas. Wajahnya tertunduk dalam-dalam. Pipinya yang berwarna putih kini memerah. Membuatku langsung bangkit dan menghampirinya. Memegang kening sahabat baikku ini.

“Kau demam?” tanyaku panik. Aku menggeleng, berpikir sedikit. Keningnya tidak panas, hanya pipinya saja yang memerah.

Pemuda berambut lurus itu tak menjawab. Menepak pelan tanganku yang masih menempel di keningku.

“Kau marah padaku?” tanyaku tak mengerti. “Memang apa salahnya menjadi seorang ilmuwan? Kau pasti kesal sehingga wajahmu menjadi merah seperti itu!”

Albert menggeleng cepat. Menyangkal pernyataanku kalau ia marah. “Aku tidak marah!” ucapnya lantang.

“Lalu kenapa wajahmu memerah? Kau juga menepak tanganku saat sedang memeriksa apa kau demam atau tidak?!”

Dia bangkit dari kursinya. Tubuhnya yang sejengkal lebih tinggi dariku membuat kepalanya sengaja menunduk. Pun begitu pandangannya dialihkan pada kupu-kupu biru yang tengah terbang di atas bunga-bunga mawar.

“Aku …,” dia menghentikan ucapannya yang baru saja dimulai. Terlihat jelas kalau raut wajah yang selalu nampak berseri-seri tersebut kini sedang berpikir keras. Mungkin seperti itu. Atau mungkin tidak.

“Kenapa?”

“Kembalilah ke dalam,” titahnya.

Aku menggeleng. Ia belum menjawab pertanyaanku.

“Pertanyaan yang mana?”

“Banyak!”

“Banyak?” Aku mengangguk. Mengiyakan.

“Pertanyaan apa?”

Aku tersenyum sinis. Dia pikir dengan mengajukkan pertanyaan seperti itu aku telah lupa apa saja yang sudah kutanyakan padanya. Tentu saja tidak!

“Pertama, apa kau marah padaku?”

“Bukankah sudah kukatakan kalau aku tidak marah!” serunya kesal.

“Baiklah.” Aku mengangguk. “Kedua, ingin jadi apa kau kelak?”

Albert menghela napas. Berdiri tegap sambil kedua tangannya memegang bahuku. Memintaku untuk mendengarkannya dengan seksama tanpa menyelak sedikit pun atau berkomentar yang aneh-aneh.

“Katakanlah!” sahutku bersemangat.

Pemuda itu tidak tersenyum seperti biasanya saat menatapku lamat-lamat. Wajahnya kini terlihat sangat serius sehingga aku tidak dapat melihat giginya taring kanannya yang bergingsul.

“Aku … ingin menjadi suamimu kelak. Jadi, ketika kau dewasa, maka jangan melirik pria lain. Menikahlah denganku!”

Deg!

Aku membelalakkan mata. Mengalihkan tatapanku padanya setelah tiba-tiba saja cegukan. Meminum segelas air yang ada di meja bundar samping kertas yang digunakan Albert untuk menggambar diriku. Sayangnya cegukan ini tak juga mereda. Sepertinya aku harus segera ke dalam. Ada sesuatu yang salah dengan jantungku setelah mendengar kata-katanya tadi.

“Kau marah padaku?” tanyanya yang menghentikan langkahku saat menginjak bebatuan.

Aku membalikkan tubuhku. Menggeleng pelan sambil tetap cegukan sesekali.

“Sepertinya aku harus masuk sekarang. Aku lupa jika ada pekerjaan yang belum aku selesaikan,” pamitku yang sedikit berbohong.

Albert tertunduk lesu. Menatap tanganku yang masih digenggamnya. Melepaskannya perlahan sambil ia menarik lurus sudut bibirnya, berusaha tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya. Kemudian berlari cepat ke dalam dan segera masuk ke kamar juga mengunci pintu. Membiarkannya sendiri di halaman belakang dengan kertas gambar juga pensil runcingnya yang masih tergeletak di meja.

***

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lantas melepas anak panah tanpa berpikir dua kali.

Wush!

“Aku … ingin menjadi suamimu kelak. Jadi, ketika kau dewasa, maka jangan melirik pria lain. Menikahlah denganku!” kalimat itu kembali terngiang di telingaku saat makhluk bertaring tajam itu melompat ke arah kami. Berhasil menghindari anak panah yang baru saja kubiarkan melesat agar dapat mengenai jantungnya.

“Aku, sepertinya tidak bisa menemuimu di tempat itu,” batinku.

 

(Bersambung)

Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.

FB: Aila Calestyn / Lily Rosella

Email: Lyaakina@gmail.com

Blurb cerbung: Black Bell

Makhluk mengerikan berwujud srigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.

Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.

Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita