Black Bell 4
Oleh: Lily Rosella
“Apa kau akan terus bersembunyi di sini?”
Makhluk bermata besar itu menatap tajam sambil mendengus. Ia terus saja memegangi tangan kanannya yang terluka, lantas menyobek bagian bawah bajunya.
“Biar aku bantu.”
Ia mendengus sekali lagi. Tubuhnya yang terkapar lemah hanya bisa direbahkan di pohon beringin. Pun gigi-giginya yang menyembul terkadang disembunyikan di balik bibir. Kepalanya mendongak sekilas, menatap cahaya bulan separuh yang bersinar keperakan.
Baru saja pria berambut pirang di hadapannya mengambil kain sobekan dari tangannya, tubuhnya yang besar langsung bergeser sedikit. Tangannya yang lebar dan berbulu lebat lantas merebut kembali kain sobekan tersebut.
“Kenapa kau membantuku?” tanyanya dengan suara sedikit bergema.
Pria itu tersenyum miring, pun matanya yang agak sipit menatap penuh selidik.
“Itu karena aku tidak bisa memercayaimu.”
“Apa?”
“Kau pikir kenapa aku di sini?” Dia merampas kain yang masih tergenggam erat tersebut, lalu mengikatkannya pada bagian lengan makhluk berbulu itu yang masih mengucurkan darah segar.
“Aku di sini untuk mengawasimu. Maka, jika sesuatu yang buruk terjadi, aku bersumpah kalau akulah yang akan membunuhmu dengan pedang ini,” lanjutnya sembari menunjukkan sedikit logam tajam yang semula tersarung.
Makhluk tersebut menghela napas, membuat daun-daun gugur di dekatnya bergeser sedikit. Bukannya menerkam Walton, pria berambut pirang di hadapannya, ia malah menyetujui dan membuat kesepakatan tentang nyawanya. Tentu saja hal itu disambut dengan senang hati oleh Walton, bahkan pria itu mengulurkan tangannya sebagai tanda kalau ia setuju.
***
Aku baru saja mengenakan mantel merah dan membenarkan penutup kepalanya, bersiap untuk latihan memanah dengan Anastasia dan Paman Robert, sudah seminggu pria berambut putih itu pulih dan mulai mengajari kami memanah lagi. Namun belum juga aku melangkahkan kaki melewati pintu, suara dentuman keras terdengar, pun lantai yang kupijak juga bergetar hebat.
Tanpa banyak berpikir aku langsung mengambil busur dan anak panah, lantas berlari keluar kamar. Di luar, suara jeritan seketika terdengar, saling bersahut-sahutan. Pun begitu suara desing pedang dan letupan dari senjata api terdengar nyaring di telingaku.
“Jangan!”
“Apa maksudmu?”
Dengan sigap Anastasia memegang pergelangan tanganku, memintaku untuk pergi melalui pintu lain.
“Sudah cepat,” serunya setengah berbisik.
Aku membelalakan mata, menarik tanganku dari genggamannya. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Kita harus segera pergi dari sini.”
“Ta—tapi bagaimana dengan Nenek Rose dan yang lain?”
Wanita bermata biru itu mengangkat kedua bahunya. “Aku hanya diminta untuk membawamu pergi dari sini.”
“Aku tidak mau!”
Aku berjalan melewati Anastasia yang semula berdiri tepat di depanku, wanita itu bergeming untuk sesaat, kemudian suaranya terdengar dingin, “Kau hanya akan memperumit keadaan jika keluar. Kau tahu karena siapa ini terjadi?”
Mataku bulatku melebar, melirik wanita berbaju cokelat mocca yang kini ada di belakangku.
“A—apa yang kau—” kata-kataku terpotong saat suara dobrakan pintu terdengar.
Tanpa menunggu lama Anastasia langsung menarik tanganku, mengajakku untuk bergegas ke kamar. Dia menutup pintu rapat-rapat, menguncinya dengan kayu besar yang berguna sebagai penyanggah, kemudian membuka jendela. Kupikir kami akan lewat sana, ternyata tidak.
Anastasia masuk ke kolong kasur yang agak sempit, mengangkat salah satu kayunya yang ternyata terdapat jalan rahasia, lantas menyuruhku untuk masuk lebih dulu.
“Cepat,” serunya saat pintu depan berhasil diringsek.
Aku langsung masuk, disusul Anastasia yang terlebih dahulu menggeser sesuatu sebelum menutupnya kembali.
Dalam perjalanan menuruni anak tangga di tempat gelap ini, Anastasia yang sejak tadi memegang cross bow memberikan benda itu padaku, lantas mengeluarkan pemantik api dan menyalakannya. Di ujung sana, tepat di anak tangga paling bawah terdapat sebuah lilin yang tak menyala, juga ruangan yang mungkin berukuran sama dengan kamar yang kutempati bersama Nenek Rose.
“Apa kita akan bersembunyi di sini?”
Anastasia menggeleng. “Jalur ini akan membawa kita untuk sampai ke hutan, Alison.”
“Hutan?” Dia mengangguk, kemudian menyalakan lilin setibanya kami di anak tangga paling bawah.
Aku menyapu pandangan ke sekitar. Tidak ada apa pun di sini selain sebuah sofa panjang yang mungkin sudah berdebu tebal, meja kecil, dan empat buah lilin di setiap sudut ruangan, termasuk lilin yang kami nyalakan tadi.
“Mereka datang mencarimu.” Anastasia mengikat sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celana panjangnya untuk menutupi sebagian wajah. “Maksudku pasukan itu,” lanjutnya sebelum menepuk-nepuk sofa yang memang sangat berdebu.
Glek!
Aku menatapnya dari kejauhan, terbatuk-batuk sambil menutup hidung dan mulutku dengan tangan.
“Kenapa?”
Anastasia menatapku sekilas, melepas sapu tangannya. “Kita akan tinggal di sini sampai malam tiba,” ucapnya sambil merebahkan diri di sofa.
Aku mengangguk, tak berkomentar apa pun.
***
Anastasia membangunkanku yang sempat tertidur sambil menyandarkan punggung di tembok. Menatap arlogi yang dikalungkannya dan mendongak sedikit ke arah pintu. Ruangan ini tak ada bedanya waktu pagi atau malam, sama-sama gelap.
Rambut berwarna merah yang biasa dikepang itu dikibaskan. Ia menggulung lengan baju, kemudian mendorong sofa yang tadi ditidurinya. Kakinya yang jenjang dientak-entakkan ke lantai kayu dengan tubuh sedikit membungkuk. Lantas sebuah senyum tersungging dari bibirnya yang agak tebal.
“Kita akan pergi setelah ini,” serunya.
Aku mengucek-ucek kedua mataku, munutup mulut dengan punggung tangan saat menguap. Sama seperti pagi tadi, Anastasia rupanya mengangkat salah satu kayu pada lantai. Dengan kuda-kuda yang sudah mantap, tangannya mengangkat dan mengeluarkan sesuatu dari lubang tersebut. Sebuah peti besi berukuran 70 x 35 sentimeter yang berdebu tebal dan tergembok.
Ia memeriksa setiap saku di celananya, menghela napas dan memerhatikan ke sekitar sampai mata biru itu menghentikan pandangannya pada cross bow yang tergeletak di atas meja kecil. Mengambil benda itu dan memukulnya keras-keras pada gembok berkarat.
“Benda apa itu?” tanyaku.
Anastasia tidak menanggapiku, ia masih sibuk memukul-mukul gembok tersebut sambil sesekali membenarkan poni yang menjuntai sedikit, menutupi pandangannya.
Krek! Tak lama gembok itu berhasil dihancurkan.
Ia melepas gembok tersebut, membuka tutup peti sedikit dan melirik padaku. “Kita akan pergi sekarang.”
***
Benar kata Anastasia, kamar yang biasa aku tempati ternyata memiliki ruang penghubung langsung dengan wilayah hutan perbatasan. Aku tak lagi melihat tembok besar yang membentang seperti saat aku menginjakan kaki bersama Albert tiga tahun lalu. Memang, aku melintasi langsung pos antar negeri yang entah sejak kapan terbagi ini, bukan hutan yang tak bersekat.
Tempat tadi, ternyata di dalam sana bukan hanya ruang kosong untuk beristirahat atau ruang penghubung. Di bawah sofa panjang yang digeser Anastasia tadi, tidak hanya satu buah peti yang tersembunyi di dalam lantai kayunya, melainkan ada tiga. Semua peti-peti itu berisi senjata api dengan beberapa amunisi yang terbuat dari kuningan dan ada sepuluh yang terbuat dari perak.
Anastasia mengambil dua pistol yang memasukkannya di holster. Ia juga mengambil tiga puluh peluru tembaga juga seluruh peluru perak. Meski begitu ia masih tetap menatap awas ke seluruh bagian hutan di sekitar kami dengan tangan yang terus sigap memegang cross bow.
“Kita akan ke mana?”
“Apa yang dikatakan Albert?”
Aku mendelik. “Kau bisa membaca?”
Dia mengangkat bahu, memintaku untuk mengambil instruksi tentang ke arah mana kami harus pergi. Membuatku mengingat-ingat pesan yang Albert berikan, lantas menganguk. Sekarang aku paham apa maksud surat itu.
Aku mendongak, menatap langit dengan bulan yang hampir penuh juga hamparan bintang.
“Ke sana,” ucapku.
“Kau yakin?”
Aku mengangguk. Di surat itu Albert mengatakan untuk mengambil lurus lima puluh kilometer buntut scorpio, dan itu berarti kami harus masuk lebih dalam ke hutan yang sangat asing bagiku, menjauh dari negeriku sendiri.
Dalam perjalanan Anastasia menceritakan tentang kedatangan para pasukan dari negeri bagian barat yang begitu tiba-tiba. Paman Robert bilang itu adalah pasukan yang dibentuk Jendral Baldric setelah penangkapan monster di wilayah perbatasan. Entah kenapa mereka datang jauh-jauh mencariku, yang aku tahu, gadis berbaju cokelat mocca ini menyuruhku untuk menghindar dan bersembunyi jika saja pasukan rahasia itu tiba-tiba muncul di hutan ini.
“Kenapa?”
“Jika kau tertangkap, bukan hanya negerimu saja yang kacau, tapi juga negeriku. Kita semua berada dalam bahaya.”
Aku menghela napas, tidak mengerti maksud jawaban Anastasia tadi. Kakiku yang beralas sepatu menendang-nendang daun kering di tanah, pun begitu tanganku masih menggenggam erat busur.
Srek!
Kami tersungkur dengan posisi Anastasia mendekap tubuhku. Mata tajamnya menatap awas. Tadi, sebuah peluru melesat begitu saja dan mengenai pohon besar setelah Anastasia berhasil menarikku.
Aku yang dalam keadaan tiarap mengambil salah satu anak panah, bersiap dengan busur yang tadi sempat terlepas dari genggamanku. Pun begitu Anastasia juga sudah bersiap dengan cross bow-nya. Sedangkan dari arah pepohonan yang hanya berjarak tidak sampai dua puluh meter dari kami, beberapa orang dengan pakaian serupa tengan berdiri dan memegang pistol. Menodongnya ke arah semak-semak tempat kami berada sekarang.
“Keluarlah!” seru salah satu dari mereka.
Anastasia memegang tanganku, menggeleng dan kembali menatap orang-orang tersebut. Mereka … bisa jadi pasukan rahasia yang dibicarakan oleh Anastasia tadi. Baru saja salah satu dari mereka melangkah mendekat, Anastasia dengan sigap menembak mereka, melesatkan salah satu anak panah yang mengenai paha orang berkumis itu.
“Tembakan yang bagus,” pujiku.
Gadis berkulit putih itu menggeleng. “Aku mengincar jantungnya tadi.”
Aku meliriknya cepat, kemudian menatap busur juga anak panah yang kupegang. Bagaimana denganku jika Anastasia yang sudah mahir saja bisa salah sasaran.
“Bangunlah,” seru seseorang yang sudah berdiri di belakang kami sambil menodongkan pistol tepat ke kepalaku.
(Bersambung)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Blurb cerbung: Black Bell
Makhluk mengerikan berwujud serigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.
Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.
Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita