Black Bell 14
Oleh: Lily Rosella
“Pergilah!” teriak Walton.
Albert menghela napas berat, wujudnya masih sama seperti saat ia melawan prajurit di hutan perbatasan. Aku hanya bisa terbaring setengah sadar, menatapnya dengan pandangan yang kabur saat ia mengelus rambut panjangku.
“Jangan pergi,” pintaku dengan suara yang hampir tak terdengar.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku akan baik-baik saja. Percayalah!” Aku menggenggam tangannya yang besar, mengangguk pelan.
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang kutahu hanya saat aku membuka mata, Walton tengah memukuli dada Albert sambil mengusirnya. Mungkin dia terlalu takut sehingga bersikap demikian. Tadi, tak lama setelah aku keluar bersama Anastasia dari gubuk di hutan perbatasan, kami tidak langsung melarikan diri. Anastasi ikut melakukan perlawanan, pun begitu memberikan pistol juga amunisi pada Walton dan pemburu lainnya. Beruntung Erich dan regunya tiba dari arah timur, sehingga bisa bergabung dengan kami.
“Kau jangan ke mana-mana sampai aku memberikan sinyal,” seru Walton saat Anastasia mengisi amunisi.
Gadis bermata biru itu mengangguk. Kini tangannya telah siap untuk membidik. Tak banyak polisi dan pasukan angkatan darat yang tersisa ataupun memegang senjata, Albert telah menyerang mereka guna menjatuhkan senjata sehingga Walton dan yang lainnya bisa lebih mudah untuk melakukan penyerangan. Sahabat baikku yang tak lagi berwujud manusia itu rupanya bertugas mengacau sebelum akhirnya menyerang dengan sangat ganas.
Aku menyaksikan semuanya sambil tetap berdiri di belakang Anastasia. Berkomat-kamit dalam hati agar tidak ada satu pun di antara kami yang mati hari ini. Aku ingin pulang, juga mengembalikkan negeriku menjadi seperti sedia kala.
Dor!
Anastasia bergerak lebih cepat sebelum peluru yang ditembakkan salah satu prajurit mengenaiku, tubuhnya refleks mendorongku dan membuatku tersungkur.
Aku membelalakkan mata, terkejut juga takut. Aku tidak menyadari kalau salah satu prajurit mengendap-endap dari arah belakang sambil menggenggam pistol.
“Jangan bergerak!” titah salah satu prajurit berhasil menangkapku sambil menodongkan pistolnya tepat di kepalaku. Sepertinya dugaan Anastasia tidak tepat. Buktinya aku bisa saja terbunuh kapan pun dan oleh siapa pun, sama sepertinya atau yang lain.
Walton yang hendak menghampiriku menghentikan langkahnya saat pria bermata besar ini menggeretak. Ia memerintahkan agar Walton, Anastasia, juga para pemburu lainnya membuang senjata mereka, lantas mulai berjalan mundur sambil membawaku serta sebagai sanderanya.
“Arghhh …!!!”
Suara itu memenuhi hutan ini, membuat burung-burung yang baru bertengger di salah satu ranting kembali berterbangan, pun begitu membuat pria bermata lebar yang masih menodongkan pistolnya ke arahku berjalan sedikit gemetar.
Selagi Anastasia, Walton, juga para pemburu terdiam, mengangkat tangan mereka dengan senjata yang sudah tergeletak di tanah, para prajurit telah mengacungkan pistol-pistol yang telah mereka pungut, mengarahkannya kawan-kawanku—termasuk Albert. Mereka telah bersiaga untuk melakukan penyerangan. Namun belum juga hal tersebut berhasil terlaksana, Albert telah lebih dulu melompat. Mengamuk tak keruan ketika aku masuk ke dalam mobil jeep berwarna hitam.
Mobil melaju cepat, sedangkan Albert mengejar tanpa memedulikan kawan-kawanku yang mungkin kembali bertarung melawan orang-orang suruhan Jendral Baldric.
Brak!
Tubuhnya yang tinggi-besar melompat, mendarat tepat di atas mobil sehingga terlihat jelas penyok jika ditengok dari dalam.
Tak banyak yang aku ingat setelah itu. Hanya saja aku bisa melihat kalau Walton dan Anastasi telah berlari menyusul kami, juga mobil yang terhenti dengan Albert yang berdiri di depannya, menghentakkan tangannya yang besar sehingga mobil tidak dapat melaju sekuat apa pun pria bermata besar di sampingku menginjak rem.
Pria itu bergegas keluar sambil menyeretku ikut dengannya ketika Albert mulai mengangkat sedikit mobil yang aku tumpangi. Sama seperti tadi, ia masih menodongkan pistol ke kepalaku. Mengancam kalau ia akan menarik pelatuk jika saja Albert, Walton, atau Anastasia bersikap gegabah.
“Lakukan saja dan kita lihat seberapa berani Anda melakukannya,” seru Walton yang terkesan menantang.
“Kau benar-benar ingin melihatnya mati?”
“Aku rasa Anda tidak dapat melakukannya.”
Pria di sampingku mendengus, bibirnya menyunggingkan senyum kecut. “Apa katamu?”
“Apa aku perlu membantumu untuk membunuhnya?” Walton mengokang senapannya. Mengarahkannya kepadaku.
“Kau—”
Belum juga pria bermata lebar ini melanjutkan kalimatnya, Albert telah lebih dahulu mengaum, matanya berubah lebih menyeramkan dari sebelumnya, pun begitu suara napasnya menjadi lebih berat. Aku bahkan dapat mendengar suara dengusannya dari jarak sepuluh meter. Ia berlari, semakin dekat ke arah kami dan menubrukku juga pria bermata besar itu.
“Kau …?”
Bibirnya sedikit tersungging seolah-olah ia hendak menunjukkan gigi taringnya yang sangat tajam. Ia berada tepat di atas tubuhku. Matanya terpejam sekejap dan terbuka lebar, begitu yang dilakukannya beberapa kali. Sementara tak jauh dariku, Walton dan Anastasia mulai bersiap dengan senjata mereka, menyerang Albert agar ia menjauh dariku.
Dan … tak ada yang kuingat setelah itu. Aku bahkan tidak tahu siapa yang berusaha untuk menyerangku. Apakah itu benar-benar Albert, atau monster yang perlahan mulai menguasai dirinya.
***
Malam itu, tak lama setelah Albert sadar, mata cokelat almondnya hanya bisa menatap sekitar. Ia mendapati Emma yang tengah berbaring di sofa dengan bercak darah di baju putihnya, juga ibunya yang terkapar tak bernyawa di lantai, tepat di sampingnya.
“Jangan!” cegah Profesor Shin saat sosok menyeramkan itu hendak menerkam Albert.
Profesor Lorenzo yang berwujud monster itu mengerang, menggeleng-gelengkan kepalanya dan memejamkan mata berkali-kali. Ia hampir kehilangan konsentrasi. Matanya yang berwarna merah darah menyapu sekitar untuk kemudian menatap lamat-lamat mata bulat istrinya.
“Jangan,” Profesor Shin mengulang ucapannya sekali lagi.
Dan dari arah belakang, Tuan Eduard keluar dari persembunyiannya, menarik-narik baju Profesor Lorenzo. Menimpuki dengan beberapa benda sampai makhluk itu menatap tajam padanya, mengerang, lantas melompat dan menerkam pria berusia 40 tahun itu.
“Biarkan dia hidup,” pintanya.
Albert yang masih terpaku menatap Nyonya Lauren—ibunya—sedikit limbung. Ia menghampiri tubuh kurus yang sudah tak bernyawa itu, memerhatikan beberapa luka cabik yang menghiasi tangan, leher, juga tubuh ibunya.
“Maafkan aku,” ucap Profesor Shin tiba-tiba. Sontak Tuan Eduard menatapnya. Di otaknya yang tak lagi memiliki ruang untuk memikirkan berbagai kemungkinan, ia membuat pertanyaan tentang untuk apa permintaan maaf itu dilontarkan sahabat istrinya.
“Aku tidak tahu cara yang tepat untuk mengakhiri semua ini.”
“Mengakhiri apa?”
“Kekacauan yang akan terjadi di masa depan akibat serum itu. Serum yang telah tertanam di tubuhmu juga keluargamu dan beberapa orang lainnya.”
“Apa yang terjadi?”
“Aku telah membuat kesalahan besar yang tak bisa aku atasi.”
Tuan Eduard tak lagi bertanya. Ia terdiam dan menatap Albert sekejap. Baginya, hal-hal di dunia ini tak harus memerlukan jawaban. Ada hal-hal tertentu yang hanya perlu ia percayai tanpa perlu tahu kenapa dan bagaimana segalanya terjadi.
“Selamatkan Albert,” pinta Tuan Eduard sambil mencengkeram kerah Profesor Lorenzo.
Mata Profesor Lorenzo yang nampak seperti menyala-nyala terus menatap tajam Tuan Eduard. Pun gigi taringnya yang menyembul telah berwarna merah. Ia melirik Albert.
“Selamatkan putraku.” Itulah kalimat terakhir yang Albert dengar dari mulut ayahnya. Tak ada yang bisa ia lakukan, terlebih saat Profesor Shin melarangnya untuk bergerak. Ia hanya bisa menatap ayahnya kehilangan nyawa sambil tetap menopang tubuh ibunya.
“Hentikan, kita harus bergegas ke suatu tempat.”
Albert menunduk dalam-dalam dengan tangan yang terkepal, matanya dipejamkan kuat-kuat agar air matanya tak mengalir dan mengenai tubuh Nyonya Lauren.
“Aku akan bicara dengannya sebentar,” ucap Profesor Shin sebelum melintasi pintu, membiarkan Profesor Lorenzo menunggu di luar.
Kini, saat bulan purnama perlahan mengintip dari awan yang sempat menutupinya, Profesor Shin menghampiri Albert, memegang pundaknya sembari ia berjongkok. Mata bulatnya menatap Albert lekat-lekat. Ia tahu kalau ini adalah sesuatu yang salah, tapi … tidak ada yang bisa dia lakukan. Jika saja ia biasa, mungkin ia ingin menghindar, membawa kabur serta Charol, Albert, juga keluarganya. Lari sejauh mungkin dan bersembunyi seumur hidup.
“Maafkan aku,” ucapnya lirih.
“Kenapa?” Albert mengangkat sedikit kepalanya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Memelas saja ayahnya tetap mati, lalu apa lagi yang bisa ia lakukan. Apa pun yang ia minta, tentu tidak akan membuat keluarganya kembali hidup. “Kenapa Bibi membiarkanku hidup?” tanyanya lagi.
Profesor Shin menundukkan kepalanya. “Aku telah melihat sesuatu yang istimewa padamu. Berbeda dari yang lain, darah yang mengalir di tubuhmu secara tidak langsung tengah menolak perkembangan virus yang terdapat dalam serum itu. Virus-virus itu tidak beregenerasi dalam tubuhmu, setidaknya untuk saat ini.”
“Apa yang sebenarnya sedang Bibi katakan?”
“Monster itu, sosok mengerikan yang tengah menungguku di luar. Dia adalah suamiku, ayah Charol.”
Albert terbelalak. “Ba—bagaimana mungkin?”
“Serum yang disuntikkan oleh para polisi setempat ke dalam tubuhmu, adalah serum yang sama dengan yang pernah disuntikkan padanya setengah tahun lalu. Serum itu mampu membuat seseorang berubah menjadi monster, dan akan sangat berbahaya lagi jika bulan purnama telah muncul. Itu sebabnya aku terpaksa melakukan semua ini.”
“Apa Paman Lorenzo selalu semenyeramkan itu saat kalian ditahan?”
“Aku rasa tidak. Dari yang kudengar, setelah kekacauan yang pernah terjadi ketika ia di bawa ke hutan, para peneliti juga orang-orang yang berwenang mengurungnya di ruang isolasi, tempat di mana aku membebaskannya.”
Setelah mengucapkan satu-dua patah kata, Profesor Shin berpamitan pada Albert. Ia tidak punya banyak waktu lagi untuk berbincang atau menjelaskan segala sesuatu kepada pemuda 21 tahun tersebut. bulan purnama sudah muncul.
“Lindungi Charol dan bawa dia ke suatu tempat di desa bagian timur. Saat ini dia sedang menungguku di lemari kecil di ruang bawah tanah. Aku tak bisa menjemputnya, ada sesuatu yang harus kulakukan, jadi aku mohon padamu untuk membawanya keluar dari sana sebelum para polisi datang. Kau mengerti?”
Albert mengangguk, menghela napasnya yang terasa sangat berat sejak tadi.
“Dan ingatlah ini!” Profesor Shin memegang bahu Albert dan menatapnya. Wajahnya mendadak berubah lebih serius ketimbang tadi.
“Jika suatu hari kau kalah melawan virus yang bersarang di tubuhmu, maka akan lebih baik jika kau bunuh diri sebelum membahayakan semuanya. Karena jika serum itu tertanam pada tubuh yang cocok, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
“Baiklah,” jawabnya mantap.
(Bersambung)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Blurb cerbung: Black Bell
Makhluk mengerikan berwujud serigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.
Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.
Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita