Black Bell (episode 13)

Black Bell (episode 13)

Black Bell 13

Oleh: Lily Rosella

Langit sudah mulai gelap. Sambil tetap memegang erat tangan makhluk bertubuh besar dan bertaring tajam di sampingnya, Profesor Shin terus berlari menaiki satu per satu anak tangga, lantas keluar dan mendapati dirinya berada di sebuah gubuk kecil yang agak berantakan. Banyak botol-botol bir dan remah-remah roti juga kulit kacang berserakan di lantai, sedangkan tak jauh dari pintu yang diangkatnya tadi, dua-tiga orang berseragam serupa terbaring dengan dada yang berlubang bekas tembakan.

Profesor Shin menatap kedua bola mata makhluk itu yang masih tetap berwarna hitam. Mengangguk sekilas dan mengajaknya untuk segera pergi. Ia sudah membuat janji dengan Letjen Robert kalau mereka akan bertemu di dekat toko bunga yang berjarak satu kilometer dari rumah ini.

Baru saja kakinya melangkah keluar dari rumah kecil yang temboknya retak-retak tersebut, tubuhnya langsung mematung. Sama seperti yang ia lihat saat memegang salah satu—dari dua—tabung serum di laboratorium setengah tahun lalu. Keadaan desa berubah menjadi kacau. Suara jeritan dari para wanita juga anak-anak pun para pria dewasa seolah memenuhi langit-langit negeri ini. Kepulan asap tebal terlihat dari salah satu rumah warga.

Ia melangkah maju, genggamannya pada suaminya yang menjelma sebagai manusia serigala perlahan merenggang saat melihat beberapa warga yang terbaring di tanah, merintih sambil memegang dada mereka dan menggeliat bak cacing kepanasan.

Wanita berambut cokelat kemerahan itu menghampiri salah satu warga yang terus menatapnya penuh iba. Berjongkok guna memeriksa keadaan pria tua itu. Tidak ada hal ganjil seperti perubahan secara fisik yang dialami olehnya. Warna dan pergerakan matanya normal, begitu juga suhu tubuhnya. Bedanya hanya ia merintih seolah-olah ada sesuatu yang mencekik lehernya atau membakarnya dari dalam.

Tanpa berkata atau bertanya apa-apa Profesor Shin kembali berdiri. Ia harus bergegas bertemu dengan Letjen Robert dan pulang agar bisa menyelamatkan putrinya yang masih berada di sana. Jika tidak, mungkin pengepungan itu—seperti penglihatannya setengah tahun lalu—akan benar-benar terjadi.

Selagi Profesor Shin berlari sambil menggandeng manusia serigala yang dibawanya kabur dari laboratorium, Letjen Robert sudah menyebarluaskan pasukannya untuk memberi imbauan kepada masyarakat yang belum terinfeksi untuk mengungsi sejauh-jauhnya, pergi bersama rombongannya ke negeri bagian timur, beradu waktu dengan para polisi-polisi setempat yang tengah sibuk menyuntikkan serum-serum yang sudah berhasil dikembangkan dan diperbanyak oleh profesor lain di bawah titah Jendral Baldric.

“Apa dia …?”

Profesor Shin mengangguk. Menyerahkan makhluk itu dalam pengawasan Letjen Robert setelah berpamitan dan mengelus lembut kepalanya. Ia harus bergegas menemui Charol dan menyembunyikan putrinya sebelum para pasukan berhasil menyanderanya.

“Aku percayakan Lorenzo padamu,” ujarnya sebelum berlari pulang.

Dengan langkah yang sengaja dipercepat, ia menatap sekitar, menyaksikan pintu-pintu rumah yang rusak juga mendengar suara jerit minta tolong serta kesakitan. Saat itu yang terlintas dalam pikirannya bukan lagi soal pegepungan, melainkan bagaimana jika Charol juga menjadi korban dari mutasi gen tersebut. Bagaimana jika para polisi-polisi telah sampai di desanya. Tidak! Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

“Ayo masuk,” seru Profesor Shin saat melihat Charol sedang duduk santai di beranda rumah bersama Nyonya Rose, seorang wanita tua yang tinggal di sebelah rumahnya sambil menikmati secangkir teh.

Matanya menyapu sekitar satu kilometer sebelum sampai di rumah. Desa yang ia tinggal tampaknya masih aman sehingga ia bisa berlari lebih cepat dan sampai sebelum para polisi-polisi itu tiba. Mungkin para polisi setempat belum datang dan masih sibuk di desa lain. Hanya saja perlahan mereka atau mungkin berita tentang penyuntikan paksa akan segera tersebar dalam waktu beberapa menit lagi.

“A—ada apa?” tanya Charol yang kebingungan mendapati ibunya nampak gelisah setelah setengah tahun tidak pulang.

“Cepatlah!”

Gadis berusia 18 tahun itu menuruti perkataan Profesor Shin, bergegas masuk setelah mengembalikan cangkir bermotif bunga krisan pada Nyonya Rose.

Dengan langkah yang cepat sembari menarik tangan Charol, Profesor Shin mengajaknya ke ruang bawah tanah. Memintanya menunggu sebentar, pergi ke kamar dan mengambil sebuah mantel berwarna merah yang sengaja dibuatnya dulu, saat Charol sangat suka menemani Albert dan Tuan Eduard berburu di hutan. Mantel itu didesain khusus agar dapat menyamarkan bau tubuhnya saat melakukan pengintaian.

“Masuklah,” serunya setiba di depan lemari kecil di sudut ruangan—di samping tumpukan kayu.

“Ta—tapi ….”

“Masuklah dan jangan keluar sampai Ibu menyuruhmu untuk keluar. Mengerti?”

Charol mengangguk, masuk ke dalam lemari dengan kedua kakinya dilipat. Profesor Shin tak punya banyak waktu untuk memberi penjelasan sehingga ia hanya bisa meminta Charol bersembunyi sampai dia bisa menjemputnya.

“Tetaplah di sini sampai Ibu datang.” Charol mengangguk sebelum pintu lemari ditutup rapat.

***

Sementara Charol bersembunyi, Profesor Shin kembali pergi dan berlari untuk menemui Letjen Robert. Ia akan menyelesaikan sisanya dan meminta kawan baiknya itu untuk bergegas membawa warga untuk mengungsi.

“Di mana Lorenzo?” tanyanya setelah menemukan Letjen Robert berada di kedai daging babi.

Letjen Robert tak mengatakan apa-apa, hanya menunjuk salah satu rumah warga di mana Profesor Lorenzo sedang memangsa beberapa orang yang bahkan tak terinfeksi sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang hendak ikut Letjen Robert untuk melakukan perjalanan ke negeri bagian timur.

“Aku tidak bisa mengendalikannya,” serunya saat Profesor Shin menatapnya penuh tanya.  “Aku tidak bisa melukainya apalagi membunuhnya, itu sebabnya aku bersembunyi di sini.”

Profesor Shin menghela napas. “Pergilah, aku akan menyelesaikan ini setelah menemui Tuan Eduard dan keluarganya.”

Pria tua dengan baju yang terkoyak, juga tato bulu elang yang nampak di bagian punggungnya kini berdiri tegap. Ia memegang bahu Profesor Shin dan berjanji akan segera kembali seteah memastikan kalau warna negeri bagian barat dalam keadaan aman.

“Kau yakin akan baik-baik saja?”

“Tenang saja.”

Setelah Letjen Robert pergi, Profesor Shin melangkah pelan menghampiri rumah tersebut. Dalam hatinya saat ini, jujur saja ia takut kalau Profesor Lorenzo tidak lagi bisa mengenalinya atau mengendalikan dirinya sendiri. Sesampainya di depan pintu rumah yang ditunjuk Letjen Robert, Profesor Shin membelalakkan mata, menyaksikan betapa menakutkan dan mengerikan suaminya sampai-sampai ia hampir saja jatuh saat mundur selangkah. Kakinya lemas seketika.

Pun bukan melanjutkan menyantap mangsanya setelah mengerang pada Profesor Shin, makhluk berbulu lebat yang bola matanya berwarna merah darah itu menghampiri wanita berkulit putih yang masih berdiri di dekat pintu. Ia langsung melompat ke arah Profesor Shin setelah melolong kencang, membuat Profesor Shin jatuh terjengkang. Matanya yang telah terpejam sempurna perlahan terbuka setelah menyadari tidak adanya pergerakan dari Profesor Lorenzo. Ternyata bukan ia yang hendak diterkam makhluk itu, melainkan seorang polisi yang hampir saja menyuntikkannya serum gen serigala.

“Kau baik-baik saja?” tanya makhluk itu setelah mencekik mati polisi di dekat Profesor Shin.

Wanita bermata bulat itu mengangguk pelan. “Ba—bagaimana kau bisa …?” tanyanya sambil menatap orang-orang yang berada di dalam rumah.

“Mereka telah terinfeksi dan akan berubah dalam waktu dekat.”

“Apa?”

“Kenapa kau tidak pergi bersama Robert?”

“Tidak.” Profesor Shin menggeleng. “Kita harus menemui Tuan Eduard terlebih dahulu dan menyelesaikan kekacauan di sini.”

“Eduard?”

Profesor Shin mengangguk mantap. Dalam penglihatannya saat dikurung di ruang bawah tanah, Tuan Eduard memiliki kunci jawaban untuk memecahkan hal ini, entah apa itu, tapi selama ini penglihatannya hampir tidak pernah meleset.

Profesor Lorenzo membungkukkan tubuhnya, merekatkan kedua tangannya di jalan beraspal. “Naiklah,” serunya dengan suara yang bergema.

“Apa?”

“Naiklah agar kita bisa cepat sampai.”

Sambil mengusap-usap tengkuknya, juga kepala yang ditelengkan, Profesor Shin akhirnya naik juga ke punggung Profesor Lorenzo yang sekarang jauh lebih lebar dari yang ia tahu.

***

Kini keduanya mematung sesampai di rumah Tuan Eduard. Profesor Lorenzo mengendus dan melangkah masuk ke dalam rumah yang pintunya tidak tertutup, matanya yang selama perjalanan telah berwarna hitam kini kembali menjadi merah darah. Ia mengerang sambil menatap Profesor Shin yang baru saja masuk.

“Mereka semua telah terinfeksi.”

“Bagaimana kau bisa membuat dugaan semacam itu?”

“Bau mereka berbeda denganmu.”

Sementara keduanya membuat dugaan juga pertimbangan-pertimbangan, di luar langit sudah cukup gelap, bulan purnama perlahan hampir muncul dari balik awan yang menutupinya, sedangkan satu demi satu suara lolongan mulai terdengar, saling bersahut-sahutan, pun suara dentum pistol dan senapan seolah tak mau kalah memehuni langit-langit negeri bagian barat malam ini. Itu adalah pasukan Letjen Robert yang masih tetap di sini dan berusaha untuk memusnahkan seluruh orang-orang ynag telah terinfeksi, karena untuk sementara ini belum ada cara lain selain memusnahkan semuanya.

“Kita harus bergegas!” seru Profesor Lorenzo yang sudah melangkah mendekati Emma yang masih terbaring di sofa dan menangis kencang.

Profesor Shin memalingkan wajahnya. Mungkin masa depan bisa saja berubah tanpa harus mengikuti clueclue yang ada dalam penglihatannya. Menjadi lebih baik atau lebih buruk, ia sendiri tidak tahu. Hanya saja untuk setiap perubahan dan satu langkah yang diambilnya saat ini, maka pergerakan takdir akan bergeser secara perlahan tanpa disadari oleh siapa pun.

Suara tangis Emma yang bertambah kencang dan hilang begitu saja juga suara jerit Nyonya Lauren membuat langkah Profesor Shin berhenti di dekat pintu bercat kuning tua. Ia memejamkan matanya, berusaha tidak menghiraukan suara-suara tersebut. Suara jeritan Nyonya Lauren yang kini tengah meminta tolong padanya untuk diselamatkan.

Kini air matanya mengalir tanpa bisa dicegah, Profesor Shin yang baru saja membalikkan badannya, bergegas menghampiri sahabat kecilnya yang tidak mengetahui apa pun atas kebodohan yang telah ia lakukan, hanya bisa duduk lemas di lantai. Suaminya telah membunuh wanita beralis tebal itu tepat beberapa langkah sebelum ia berhasil menghampirinya dan meminta maaf.

“Kumohon hentikan,” pintanya parau.

Profesor Shin berusaha berdiri, menopang tubuh Nyonya Lauren yang kini merembas darah, sedangkan di sampingnya, Albert masih terbaring dan belum sadarkan diri, juga tak jauh darinya, Tuan Eduard menempelkan punggungnya pada tembok berwarna hijau lumut di samping bingkai pintu.

“Maafkan aku,” ucap Profesor Shin sesenggukan. Punggung tangannya menyeka pipinya yang basah, pun begitu saat ia hendak meletakkan kembali tubuh Nyonya Lauren di lantai, tangan kanannya tak sengaja menyentuh Albert sebelum Profesor Lorenzo hendak memangsanya, berburu dengan waktu yang sudah semakin sedikit.

“Jangan!” cegahnya.

Profesor Lorenzo mengerang, menggeleng-gelengkan kepalanya dan memejamkan mata berkali-kali. Ia hampir kehilangan konsentrasi. Matanya yang berwarna merah darah menyapu sekitar untuk kemudian menatap lamat-lamat mata bulan istrinya.

“Jangan,” Profesor Shin mengulang ucapannya sekali lagi.

Dan dari arah belakang, Tuan Eduard keluar dari persembunyiannya, menarik-narik baju—yang begitu ketat juga robek di beberapa bagian—makhluk mengerikan yang berada di rumahnya dan hendak memangsa putra sulungnya. Menimpuki dengan beberapa benda sampai makhluk itu menatap tajam padanya, mengerang, lantas melompat dan menerkam pria berusia 40 tahun itu.

“Biarkan dia hidup,” pintanya.

 

(Bersambung)

Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.

FB: Aila Calestyn Lily Rosella

Email: Lyaakina@gmail.com

Blurb cerbung: Black Bell

Makhluk mengerikan berwujud serigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.

Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.

Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita