Black Bell 12
Oleh: Lily Rosella
Seperti dugaanku, perjalanan ini menjadi jauh lebih lama dari yang diperkiraan. Ada beberapa pasukan yang sengaja diperintahkan oleh Jendral Baldric untuk berjaga pada titik-titik tertentu, sehingga kami harus memutar dan mangambil jalur lain. Pun begitu kami hampir sampai di perbatasan antara dua negeri yang entah sejak kapan terbagi dua.
“Sejauh ini perjalanan kita masih berjalan mulus, tapi kalian harus tetap waspada.” Walton menghentikan langkahnya sebentar, menatapku. “Dan setelah kita berada di negeri bagian barat semuanya akan berbeda. Kau yakin?” tanyanya.
Tangannya terus bersiap dengan senapan yang tak lagi berada di balik tubuhnya. Kini ia memegang pistol berukuran panjang tersebut. Anastasia mengangguk saat pria itu menatapnya sekilas. Sama seperti Walton, ia juga sudah bersiap dengan cross bow-nya dan berdiri di belakangku. Matanya awas menyapu sekitar.
“Aku telah bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi nanti setelah meninggalkan rumah tua itu,” sahutku.
Walton tersenyum miring padaku. Lantas memberi aba-aba pada yang lain hanya dengan mengangkat tangan kirinya, membagi regu menjadi dua. Satu regu dipimpin oleh Erich dengan diikuti tiga pemburu. Mereka berjalan lebih dahulu. Satu regu lagi terdiri dari aku, Anastasia, juga Walton dan satu pemburu lainnya. Sedangkan Albert mempunyai bagiannya sendiri. Ia yang bertugas mengintai, memastikan kalau jalur yang kami lalui benar-benar aman.
Kami mengendap-endap, menyibak ranting-ranting yang menghalangi jalan juga menyingkirkan akar atau tanaman yang merambat di sekitar kaki. Tetap awas dan memastikan kalau tidak ada pergerakan dari pasukan Jendral Baldric.
“Kita istirahat dulu 5 menit,” titah Walton.
Pria itu melepas ranselnya, mengeluarkan botol minum yang telah diisinya dengan air sumur di tempat persinggahan kami tadi. Baru juga ia meneguk air di dalamnya, suara dentuman terdengar nyaring, membuatnya langsung menutup kembali botol minum tersebut dan memasukkannya ke dalam ransel. Ia mengangguk kepada Anastasia dan Dick, salah satu pemburu yang berada di regu kami.
“Kau benar-benar bisa memanah?” tanyanya sambil melirik busur yang kupegang.
“Bisa.”
“Benarkah? Jika tidak lebih baik kau diam saja agar tidak mengacaukan apa pun.”
Aku menghela napas, menggeretakkan gigiku sambil memecengkeram busur kuat-kuat. Sejak berada di hutan perbatasan tanganku terus gemetar, bahkan suara-suara dari dahan bergerak yang tertiup angin, atau semak-semak yang dilewati oleh hewan-hewan liar di hutan ini membuatku langsung melirik cepat.
Dor!
Kali ini suara dentuman terdengar disusul dengan asap merah yang mengepul di udara. Itu adalah sinyal tanda bahaya sehingga kami harus berbelok ke kiri guna menghindari pasukan yang mungkin telah bersiap di sekitar sana. Sedangkan dari depan Albert yang tak lagi menyerupai manusia menatap tajam Walton, ia tak berhenti melainkan melompat cepat di antara pohon-pohon besar seolah sedang menuntun kami melintasi jalur lain. berbelok semakin jauh dari arah kepulan asap tadi muncul.
***
Nahas memang, ternyata para polisi dan prajurit negeri bagian barat telah dikerahkan untuk berjaga di setiap beberapa kilometer daerah perbatasan. Rasanya lari dan menghindar sejauh apa pun tetap percuma.
“Tidak masalah, kita akan menghadapi mereka,” ujar Walton.
Ia mengokang senapannya, pun begitu beberapa pistol yang ada di holster-nya telah diisi amunisi saat perjalanan kemarin malam.
“Apa yang kau katakan di perjalanan tadi benar?” tanyanya pada Anastasia sebelum kami benar-benar bersiap untuk melanjutkan perjalanan.
Anastasia mengangguk mantap.
“Baiklah, jika begitu, maka ini lokasi yang tepat untuk menerobos para prajurit sialan tersebut.”
Dengan percaya diri Walton melintasi tempat yang menurutku sudah tidak asing lagi. Meski di hutan pemandangannya selalu serupa, hanya ada tanah, pohon-pohon besar, semak-semak, juga bebatuan dan daun-daun gugur, tapi aku bisa mengenali tempat ini.
Benar saja seperti apa yang dikatakan Albert beberapa menit lalu, tidak ada jalur yang aman untuk bisa melintasi hutan perbatasan ini. Kami terpaksa harus bersiap dengan senjata masing-masing begitu melihat para pasukan yang tengah berjaga. Beberapa ada yang berdiri dan siap sedia dengan senjata di tangannya, dan beberapa lainnya duduk santai sambil bermain kartu juga minum-minum.
“Ingat, jika kau tidak yakin dengan dirimu, diam saja,” serunya.
Aku menghela napas berat, pria menyebalkan itu lagi-lagi mengucapkan kalimat yang sama seperti tadi. Dia juga memintaku untuk berjalan tak jauh dari Anastasia, katanya biar Anastasia bisa melindungiku.
“Semua ini jadi lebih sulit karena kau meminta yang tidak-tidak. Harusnya kita sudah pergi ke tempat yang seharusnya dituju. Jika bukan membawa serta dirimu, melawan mereka semua seorang diri pun aku sudah pasti akan menyelesaikannya dari tadi, bahkan tidak butuh waktu sepuluh menit semuanya sudah beres,” gerutunya.
Sambil berjalan di samping Anastasia dengan tangan yang bersiap siaga memegang busur juga anak panah, aku tidak menggubris apa yang dikatakan Walton. Sudah sejak dulu dia memang begitu. Sungguh menyebalkan.
“Kalian bersembunyilan di sini,” titahnya menghentikan langkahku dan Anastasia tiga puluh meter dari tempat prajurit itu berjaga.
“Kenapa?”
“Ini bukan tugas wanita,” jawabnya singkat.
“Jika ini bukan tugas wanita, lalu kenapa sejak tadi kau sangat cerewet?” keluhku.
Anastasia memegang lenganku. Ia mengangguk sekilas pada Walton dan Albert, sejurus kemudian memintaku bersembunyi di balik semak-semak bersamanya. “Kalian pergilah, aku akan menjaga Alison,” ujarnya.
Sementara itu Albert telah lebih dahulu menghampiri para prajurit, menikam salah satunya, sedangkan saat yang lain bersiap untuk menyerang Albert, maka Walton dan Dick telah lebih dahulu menarik pelatuk. Itu pertarungan yang cukup cepat mengingat mereka bertiga harus melawan beberapa puluh prajurit. Bahkan beberapa prajurit lainnya berdatangan dari arah lain, sepertinya mereka juga sudah bergegas setelah melihat kepulan asap itu.
Belum juga aku menoleh, Anastasia sudah menarik pelatuk cross bow-nya dan tak jauh dari kami seorang prajurit tak lama terkapar dengan jantung yang tertancap anak panah. Wanita bermata biru itu lantas menarik tanganku dan mengajak untuk segera melarikan diri.
“Ke mana?”
“Ke sana.”
“Bukankah itu …?”
“Iya.”
Aku mulai mengerti sekarang. Rupanya Albert, Walton, juga Dick tidak hanya bertarung, mereka juga menggiring para prajurit dan beberapa polisi tadi untuk sedikit menjauh dari gubuk yang sempat kami tinggalkan kemarin malam. Membuatku dan Anastasia dengan mudah menyelinap masuk ke ruang bawah tanah saat tidak ada yang menyadari keberadaan kami. Pun begitu aku juga melihat Albert telah menghadang beberapa orang yang telah terlanjur menangkap basah kami membuka pintu rahasia di dalam gubuk ini.
“Bagaimana dengan mereka?”
Anastasia tidak menjawab, dia berjalan cepat menuruni anak tangga. Sesampainya di depan sofa setelah menyalakan salah satu lilin, gadis bertubuh ramping itu langsung menggesernya, mengangkat papan-papan kayu yang menutupi tempat peti-peti berisi pistol serta amunisinya tersimpan.
“Kita membutuhkan semua ini untuk melanjutkan perjalanan.”
Aku mendelik, memerhatikan semua peti yang sudah diangkatnya.
“Aku akan ke luar, jadi tunggulah di sini serta keluarkan semua yang ada di dalam peti-peti tersebut.”
“A—apa?”
“Persediaan mereka sudah tidak banyak,” sahutnya.
Belum juga aku berjalan menyejajari langkahnya, di anak tangga kelima langkahnya terhenti. “Jangan keluar sebelum aku yang memintamu,” ucapnya yang kemudian berlari.
Aku mematung, memerhatikan peti-peti yang telah berjajar di atas lantai kayu. Kata-kata itu … aku masih mengingatnya. Itu terdengar sama persis seperti yang Ibu katakan di ruang bawah tanah tepat sebelum bulan purnama ketiga.
“Masuklah dan jangan ke luar sampai Ibu menyuruhmu untuk keluar. Mengerti?” itulah yang Ibu katakan.
Aku meremas mantel merahku, menunduk dalam-dalam dengan mata yang telah basah. Dulu, aku kehilangan Ibu dan Ayah setelah menuruti perkataan Ibu untuk tetap bersembunyi, namun kali ini … apa semuanya akan kembali terulang. Mereka semua, orang-orang yang tengah berjuang untuk menjagaku seperti orangtuaku dulu, apa mereka semua juga akan bernasib sama.
Sambil menahan kakiku yang seolah memberontak, menyuruhku untuk segera menyusul Anastasia, aku menyeka air mata yang baru saja menetes. Memilih untuk mengemas seluruh senjata beserta seluruh amunisinya agar para pasukan pemburu tidak kekurangan bekal saat kami berada di negeri bagian barat nanti. Tapi tiba-tiba saja suara langkah terdengar dari arah berlawanan, membuatku terpaksa mengambil salah satu pistol dan menodongkannya.
“Si—siapa di sana?”
Dari balik cahaya lilin yang tak jauh dari tempatku berdiri, dapatku lihat seorang pria berkaca mata hitam berjalan menghampiriku. Sebaris senyum tersungging dari bibirnya.
“Kau Charol, bukan?” tanyanya.
Tanganku yang gemetar terus mengacungkan pistol ke arahnya. Aku tidak menarik pelatuk atau melakukan pergerakan karena seseorang yang kini berada di hadapanku hanya diam sambil kedua tangannya di benamkan ke dalam saku mantelnya.
“Aku tidak akan menyakitimu jika kau bersedia ikut denganku.”
“Apa maumu?”
“Aku membutuhkanmu, begitu juga sebaliknya.”
“Aku tidak mengenalmu, jadi aku tidak membutuhkan apa pun darimu.”
“Kau yakin?”
Aku diam. Mataku menelisik ke segala arah.
“Bagaimana dengan teman-temanmu yang berada di luar?” tanyanya.
Tak lama kemudian pintu terbuka, membuatku segera mengalihkan pandangan. Jantungku berdegup kencang. Harap-harap cemas kalau terjadi sesuatu yang buruk dengan mereka, terutama Albert dan Anastasia.
“Ayo bergegas, sepertinya kita tidak akan bisa pergi dari sini jika mengharapkan para pasukan itu musnah!” seru Anastasia sambil menuruni anak tangga.
Aku menghela napas, sejurus kemudian kembali menatap pria berkacamata tadi. Mustahil, dia telah menghilang!
“Kenapa kau memegang pistol?” tanya Anastasia yang sudah berdiri di dekatku.
Aku menggeleng. Membantunya mengemas seluruh senjata yang telah kukeluarkan dari dalam peti sambil mataku menyapu sekitar. Memastikan di mana pria tadi bersembunyi. Ia tidak mungkin ke luar dalam waktu secepat itu.
***
Seseorang berpakaian serba hitam dan memakai topi berjalan menelusuri terowongan. Berhenti di depan ruangan yang pintunya tak tertutup. Di sana, seseorang tengah duduk sambil tangan kanannya memegang cerutu. Melirik orang berpakaian serba hitam yang kini melepas topinya sebagai tanda salam penghormatan.
“Bagaimana?” tanyanya.
Orang itu memasang kembali topinya. Melangkah menghampiri pria berambut keriting yang masih duduk tenang dengan kaki kirinya diangkat dan ditumpukan di atas kaki kanan. Lantas kembali melepas topinya, sedikit membungkuk untuk sekadar berbisik.
“Sepertinya dugaan kita benar,” ucapnya.
“Kau yakin?” tanyanya lagi.
Pria berpakaian hitam itu mengangguk yakin. “Saya sudah melihat sendiri dengan mata kepala saya kalau gadis itu benar-benar bisa mengendalikan manusia serigala seperti yang Nyonya Shin lakukan.”
“Baiklah. Kalau begitu terus awasi mereka dan bawa gadis itu kemari. Kita tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi,” titahnya.
“Siap!” seru pria itu sambil memasang topi dan berlalu meninggalkan ruang bercat putih yang menyerupai kubus.
(Bersambung)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Blurb cerbung: Black Bell
Makhluk mengerikan berwujud serigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.
Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.
Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita