Black Bell 11
Oleh: Lily Rosella
“Kau benar-benar ingin kembali?” tanya Albert sambil memegang bahuku.
Aku mengangguk mantap. Menatap Anastasia, Walton, juga yang lainnya. “Aku harus kembali.”
“Kenapa?” tanya Walton menyela.
“Aku tidak bisa menghabiskan seumur hidupku untuk bersembunyi. Lagi pula kenapa aku harus bersembunyi?”
Albert menatapku lekat-lekat. Kedua telapak tangannya yang masih menyentuh pundakku perlahan diturunkannya. Di belakangnya, Anastasia tak berkomentar apa pun. Wanita berbaju cokelat mocca itu memang selalu begitu. Ia hanya tahu tugas dan tugas, sama seperti yang ia katakan terakhir kali sebelum kami menaiki anak tangga dan keluar dari ruang bawah tanah yang menembus ke hutan, tugasnya adalah menjagaku agar tetap aman. Maka dapat kusimpulkan kalau ia hanya akan memastikan kalau aku dalam keadaan aman tak peduli di mana pun aku berada.
“Apa kau tidak memiliki hal yang ingin kau lakukan?” tanyaku saat itu. Dia menggeleng.
“Kau sungguh-sungguh tak memiliki tujuan hidup?” tanyaku lagi sekadar memastikan.
Anastasia menatapku. Bibirnya yang agak tebal menyunggingkan sebaris senyum. Pun begitu tangannya yang ramping kembali mengangkat peti dan menaruhnya ke tempat semula, lantas menutupinya dengan papan kayu, kemudian menggeser sofa.
“Kau bukan robot,” tuturku.
Ia tak merespons sama sekali. Tangannya sibuk memasukkan kedua pistol yang diambilnya dari peti ke dalam holster.
“Ayo,” serunya.
Aku menghentikan Anastasia, berdiri di depannya sambil merentangkan kedua tangan. Bagaimanapun aku memikirkannya, rasanya mustahil jika seorang wanita yang sempurna sepertinya tidak memiliki tujuan hidup sama sekali. Itu bodoh.
“Kau … ayo kita lakukan sesuatu seperti yang kau inginkan.”
“Seperti yang aku inginkan?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Ya, seperti yang kau inginkan,” jawabku.
Anastasia mengangguk mantap. Ia merentangkan kedua tangannya ke depan dan menautkan jari-jarinya yang lentik seolah sedang melakukan perenggangan. Menelengkan kepalanya ke kiri dan kanan, kemudian mengembuskan napas dan tersenyum lebar padaku.
“Ayo!” ajaknya.
Mataku yang bulat terbelalak. Senyumku ikut mengembang melihatnya begitu bersemangat untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya. “Jadi, apa yang ingin kau lakukan?”
“Melindungimu,” jawabnya singkat.
“Apa? Me—lindungiku?”
Wanita bermata biru itu tersenyum. Mengangguk sekali lagi lalu menaiki anak tangga sambil menyangga cross bow-nya di pundak. Katanya, itulah yang sangat ingin ia lakukan.
“Kau benar-benar akan hidup seperti ini?” tanyaku dengan napas berat. Anastasia mengayunkan tangan kanannya, menyuruhku untuk bergegas.
“Bukankah aku sudah mengatakannya padamu, Charol?”
Aku terdiam. Ada sesuatu yang aneh dalam hatiku. Meskipun ini sudah kesekian kalinya Albert menyebut nama Charol, tapi untuk pertama kalinya setelah kurun waktu tiga tahun, seseorang, bahkan orang yang sangat aku cintai memanggilku dengan nama itu, bukan Alison atau nama lainnya. Kemarin-kemarin ia hanya menggunakan nama itu untuk meminta Walton agar tidak menggodaku. Tidak lebih.
“Kita sudah berada cukup jauh dari hutan perbatasan. Kau hanya perlu melanjutkan perjalanan, maka kami akan mengurus sisanya,” sahut Walton yang berdiri di samping Albert.
Memang benar aku sudah mengetahui alasan kenapa aku harus bersembunyi. Itu adalah karena Jendral Baldric yang hendak menangkapku seperti yang sudah disiarkan pada berita-berita di radio. Berdalih bahwa aku adalah anak seorang pembunuh. Padahal di balik semua itu ia hanya ingin masyarakat berasumsi demikian, lantas mendapatkanku tanpa harus bersusah payah. Memanfaatkanku untuk mengendalikan para monster yang telah diciptakannya tanpa bisa ia kendalikan.
Aku bisa saja mengikuti saran Albert dan Walton, tapi apa gunanya saat aku harus hidup dengan nyaman seorang diri. Menjalani sisa hidupku dalam persembunyian dan berpura-pura menjadi orang lain seperti yang telah aku lakukan selama tiga tahun ini.
“Jika makhluk-makhluk yang aku temui dalam perjalanan menuju negeri bagian timur adalah hasil percobaan paksa, maka percuma saja bersembunyi dan menghindar. Tidak akan ada yang berubah,” akhirnya aku membuka suara.
“Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku untuk bersembunyi, dan kalian? Kalian juga tidak mungkin menghabiskan seluruh hidup kalian hanya dengan memburu manusia-manusia serigala yang tidak akan pernah habis jika tidak diberantas dari akarnya,” lanjutku.
Albert memegang bahuku. Matanya yang berwarna cokelat almond menatapku lekat-lekat seolah sedang bernegosisasi, meminta agar aku menuruti perkataannya untuk kali ini. Hanya saja aku menggeleng. Keputusanku telah bulat.
“Aku tetap akan pergi ke Kota Lorg,” ucapku penuh keyakinan.
Albert mengalihkan pandangannya sesaat dariku, menatap Walton dan yang lainnya. Mungkin ini akan menjadi perjalanan yang lebih sulit dari apa yang telah mereka rencanakan sebelumnya, itu sebabnya ia handak meminta persetujuan dari Walton juga anak buahnya.
Walton menghela napas, menarik kursi dan mengangkat kedua kakinya ke meja sambil tangannya dilipat ke dada. “Baiklah. Aku rasa gadis itu tidak akan pernah berubah pikiran. Bukankah kau juga sudah mengenalnya sejak kecil?” sahutnya.
“Kau yakin?” Albert kembali menatapku.
Aku mengangguk. Setidaknya dengan kembali ke sana aku bisa mengetahui bagaimana kabar orangtuaku yang sebenarnya.
“Baiklah,” jawab Albert. “Kita akan pergi sore nanti setelah aku memastikan rute yang aman untuk kita lewati.”
“Kau?”
Albert mengangguk. Bergegas pergi dan melepas baju merah maroon-nya yang agak compang-camping. Tak lama setelah ia keluar dari rumah ini, suara lolongan terdengar kencang dan menjauh. Aku masih belum tahu cara kerjanya, tapi aku rasa Albert berbeda dengan manusia-manusia serigala lainnya. Ia bisa mengendalikan kekuatan yang entah memang harus kusebut kekuatan atau kesialan.
***
Setelah tadi bercerita tentang kedua orangtuaku, Walton memutuskan agar kami beristirahat selama sepuluh menit untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Mungkin perjalanan yang akan kami tempuh untuk bisa kembali ke negeri bagian barat akan jauh lebih lama dan panjang dari sebelum kami meninggalkan hutan perbatasan. Albert bilang ada banyak pasukan yang berjaga di sana, pun di desa tempat aku mengungsi dulu.
Sambil menunggu daging kelinci yang sedang dibakar Erich di api unggun, aku berdiri. Berjalan-jalan sambil melihat sekitar dan mencari udara segar. Memegang beberapa pepohonan yang mungkin dapat membantuku melihat sesuatu yang berguna di sini. Entah tentang apa yang pernah terjadi sebelumnya, atau hal lain.
Terkadang pepohonan juga tumbuhan lainnya saling berbicara satu sama lain, memberi kabar tentang sesuatu yang terjadi di tempat nan jauh. Bercerita banyak hal tanpa bisa didengar oleh manusia.
“Kau mengenalinya?” tanya Albert yang sudah berdiri di belakangku.
“Siapa?”
“Walton.”
Aku mengangguk. Aku telah mengingat pria yang usianya sepuluh tahun lebih tua dariku. Tepatnya ketika mengambil ia salah satu anak panahku dan memainkannya seolah itu tongkat sihir.
“Kau sering melakukan ini, bukan?” tanyanya di tengah perjalanan sebelum kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di sini.
Aku tidak menghiraukannya. Memang benar, dulu, untuk pertama kalinya saat aku dapat melihat sesuatu yang tak dapat dilihat oleh orang lain. Gambaran-gambaran tentang apa yang pernah terjadi sebelumnya. Mata bulatku berbinar-binar. Takut juga takjub di waktu yang bersamaan.
“Dulu kau selalu mengira bahwa Keluarga Shin pasti keturunan penyihir karena ibumu juga memiliki kekuatan supranatural sepertimu. Kalian memiliki penglihatan istimewa dibanding orang-orang pada umumnya, dan kau mulai berpikir bahwa kau memiliki kemampuan sihir seperti cerita-cerita di buku-buku dongeng yang sering kau baca. Seorang nenek tua yang dapat melihat tentang masa lalu atau masa depan dari bola kristal,” tuturnya.
“Kau mengambil setangkai bunga krisan di depan rumah nenekku setiap minggunya, mengayunkannya seolah-olah itu adalah tongkat sihir dan mengucapkan hal-hal aneh yang tak dapat aku mengerti,” lanjutnya yang berbicara setengah berbisik. Tangan kanannya yang masih memegang anak panah kembali diayunkan di depan wajahku.
Tanpa aku menyahutinya dengan sepatah kata pun sepertinya pria bersuara serak itu juga akan berbicara atau bercerita banyak hal. Dan semua yang dikatakannya barusan … adalah benar. Aku memang pernah berpikir dan melakukan hal-hal tersebut.
“Kau ingat? Saat pertama kali kita bertemu, kau sedang mencabut salah satu bunga krisan kuning milik nenekku. Aku keluar dari dalam rumah, memarahimu karena menyangka kau adalah pencuri atau anak nakal yang suka merusak tanaman.” Walton berhenti. Tangan kirinya menutup mulut sesaat sambil bibirnya menyunggingkan senyum.
“Saat itu kau sangat cengeng. Kau langsung menangis ketika aku marahi dan bersembunyi di balik tubuh nenekku yang kebetulan pulang dari membeli roti,” lanjutnya sambil tertawa lepas.
“Kau bilang kau tidak mencurinya atau berniat merusak bunga krisan tersebut. Kau hanya berniat menghirup aroma segar dari bunga-bunga yang kebetulan mekar. Dan tepat saat itu, mereka seolah-olah tengah menunjukkan sesuatu padamu. Memperlihatkan tentang desa kita yang pernah merayakan natal besar-besaran dengan iring-iringan musik juga tarian yang indah.”
“Sejak kapan?” tanya Albert lagi.
“Tadi, saat di perjalanan.”
“Apa yang kau ingat tentangnya?”
Aku tersenyum. Mulai bercerita tentang seorang pemuda yang keluar dari rumah Nenek Rose, memarahiku dan menuduh kalau aku telah merusak tanamannya, bahkan melepas salah satu sepatu kulitnya dan memipukku terlebih dahulu sebelum menunjukkan batang hidungnya. Jelas saja, bagaimana aku tidak menangis jika ketika aku sedang berjongkok dan menyaksikan pertunjukan yang amat menakjubkan, sebuah sepatu mendarat tepat di kepalaku.
Beruntung saat itu Nenek Rose datang sehingga aku bisa bersembunyi di belakangnya. Menarik-narik pelan bajunya dan bertanya siapa pemuda yang muncul begitu saja dari dalam rumahnya. Tak lama menceritakan tentang kejadian luar biasa yang baru saja aku alami.
Nenek Rose mangangguk, memercayai ucapanku, tapi tidak dengan pemuda yang mengenakan kemeja putih dan celana sedengkul di sampingnya. Ia masih memicingkan matanya dan menatapku tajam. Namun hanya menunggu beberapa waktu, akhirnya kami menjadi kawan baik sampai akhirnya ia pergi ke luar kota bersama kedua orangtuanya. Sejak saat itulah aku tidak pernah melihatnya lagi. Tidak sampai pertemuan kami di hutan kemarin malam.
Albert mengangguk. “Sepertinya aku bisa tenang sekarang,” serunya.
Tak lama setelah ia mengucapkan kalimat itu, Erich berteriak, memanggil kami untuk bergabung makan bersama yang lain setelah memastikan kalau kelinci hasil buruan telah matang merata. Membuatku hanya bisa bungkam tanpa bisa bertanya apa maksud dari kata-katanya barusan. Kami harus melanjutkan perjalanan setelah ini.
(Bersambung)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Blurb cerbung: Black Bell
Makhluk mengerikan berwujud srigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.
Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua profesor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.
Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita