Black Bell (Episode 1)

Black Bell (Episode 1)

Black Bell 1

Oleh: Lily Rosella

“Cepat tangkap dia!”

Para perajurit angkatan darat masih mengerahkan seluruh tenaga di hutan perbatasan sejak siang tadi. Melawan sosok aneh yang ada di hadapan mereka. Berusaha menangkap makhluk tersebut sebelum diketahui oleh penduduk negeri bagian barat ataupun timur.

Pertarungan cukup sengit masih berlangsung. Beberapa prajurit sudah hampir kehabisan tenaga karena mahkluk tersebut rupanya sangat kuat. Dengan tubuh yang tinggi besar juga cakar yang tajam, ditambah lagi gerakannya yang cepat membuat para prajurit harus tetap awas. Mereka tidak bisa menyerang sembarangan karena mendapat perintah untuk menangkap makhluk tersebut hidup-hidup.

Wush! Sosok bertaring tajam itu akhirnya tersungkur perlahan.

“Cepat lepaskan sekarang!”

Jala yang terbuat dari tambang dengan batu penyanggah yang diikat di setiap ujungnya jatuh begitu saja saat tubuh makhluk aneh tersebut diam sejenak. Pun begitu ia masih merontak dan berusaha melepaskan diri.

***

Aku berjalan pelan sambil sesekali menatap atap bangunan tua yang tingginya tiga lantai. Di atas sana berjajar burung-burung gagak yang seolah memerhatikan gerak-gerikku. Entah apa mereka benar-benar memerhatikanku atau mengintai daging kelinci bakar yang tak habis dimakan tadi malam dan ada dalam buntalan yang kubawa.

“Cepat, Charol,” seru pemuda itu sekali lagi.

Tanpa membantah sedikit pun, aku bergegas menyejajarkan langkahnya yang pincang. Kakinya yang berlumur darah tak dihiraukannya. Baginya, asal bisa melewati tempat ini, maka itu sudah lebih dari cukup.

“Masuklah,” ucapnya saat kami tiba di perbatasan.

Aku mendongak, menatap tembok yang menjulang tinggi dan panjangnya mungkin berpuluh-puluh atau beratus-ratus meter jauhnya. Menjadi penyekat antara negeri bagian timur dan barat.

“Masuklah,” ucapnya lagi.

“Lalu bagaimana denganmu?”

Ia menatapku tajam. “Aku akan kembali lagi nanti.”

Wajahnya yang nampak sangar juga codet yang membentang dari pelipis hingga melewati alis tak membuatku takut. Aku kenal baik pemuda berbaju merah maroon itu. Dia adalah seseorang yang paling hangat menurutku.

“Tunggulah di sini,” ucapnya begitu aku menarik pelan bagian bawah bajunya. Aku tak ingin dia pergi.

Albert melepas tanganku, lantas membungkuk sedikit. Pemuda berusia 21 tahun itu pasti sedang memikirkan banyak hal sehingga wajahnya selalu terlihat murung. Aku tak lagi melihat senyum manisnya sejak beberapa hari lalu.

“Jangan pergi.” Aku menggeleng pelan.

“Jangan seperti ini. Aku harus menyelamatkan orang tuamu.”

Aku menggeleng sekali lagi. Bagiku cukup dengan dia di sisiku, maka aku tidak butuh apa dan siapa pun, termasuk kedua orang tuaku. Lagi pula apa baiknya mereka diselamatkan. Merekalah yang telah membunuh para penduduk seisi desa di bagian barat sana.

“Kau belum mengerti apa-apa, Charol,” jelasnya sembari mengusap lembut kepalaku.

Rupanya dia tidak mengerti apa yang tengah kupikirkan. Albert tetap pergi meski sudah tahu bahwa kedua orang tuaku yang membantai keluarganya pada malam bulan purnama ketiga.

“Bukankah lebih baik jika mereka mati!” pekikku.

Dia menghentikan langkahnya, menghela napas, lantas berbalik menatapku. Senyumnya yang samar kini tersungging. Ia tidak berkomentar apa pun, hanya berbalik dan kembali ke tempat yang baru saja kami tinggalkan.

***

Sore itu, beberapa jam sebelum bulan purnama ketiga muncul, aku tengah duduk di beranda sambil meminum teh buatan Nenek Rose, seorang wanita tua yang tinggal di sebelah rumah. Katanya, teh tersebut baik untuk kesehatan jantungku yang semakin hari kian melemah.

“Ayo masuk,” seru Ibu sepulangnya dari jalan besar yang berjarak tiga puluh kilometer dari rumah. Ibu bekerja di sana, di sebuah laboratorium dengan berbagai penelitian yang entah apa itu. Sudah hampir setengah tahun lamanya mereka tidak pulang. Membiarkanku tinggal sendirian dengan Nenek Rose yang sesekali menengok keadaanku.

“A—ada apa?”

“Cepatlah!”

Aku menuruti perkataannya, bergegas masuk setelah mengembalikan cangkir bermotif bunga krisan pada wanita tua yang biasa dikonde tersebut. Entah apa yang sedang terjadi, tapi Ibu kembali dengan wajah penuh kecemasan.

Dengan langkah yang cepat sembari menarik tanganku, Ibu mengajak ke ruang bawah tanah. Memintaku bersembunyi di dalam lemari kecil di sudut ruangan, tepat di samping tumpukan kayu.

“Masuklah,” serunya.

“Ta—tapi ….”

“Masuklah dan jangan keluar sampai Ibu menyuruhmu untuk keluar. Mengerti?”

Aku mengangguk, masuk ke dalam lemari tersebut dengan kaki dilipat.

“Tetaplah di sini.”

***

Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana. Tapi dari celah-celah besar jeruji besi yang dekat sekali dengan tanah di luar, pantulan cahaya bulan purnama menyeruak hingga pancarannya melewati celah pintu lemari yang tak tertutup rapat. Pun di luar, anjing-anjing menyalak kencang. Membuatku hanya bisa menundukkan kepala dan memeluk kedua lutut kuat-kuat.

Bruk! Bruk! Bruk!

Kali ini degup jantungku berdetak kencang, lantas melemah seketika. Tangan kananku yang kecil mengusap pelipis sembari mengatur napas. Aku tahu itu bukan Ibu atau Ayah yang datang. Seseorang tengah berusaha mendobrak pintu ruang bawah tanah ini.

Brak!

Mataku terbelalak. Mungkin kali ini aku takkan selamat, tertangkap oleh sesuatu atau seseorang yang bahkan tidak pernah aku tahu siapa.

“Cepat keluar!” serunya setelah membuka pintu lemari.

Aku terperanjat saat melihat pemuda yang sangat aku kenali kini bersimbah darah. Tubuhnya banyak luka gores, bajunya compang-camping, pun wajahnya yang hampir separuh tertutup oleh darah segar yang masih saja mengalir dari sobekan di pelipisnya. Ia mengulurkan tangan padaku, mengajak untuk bergegas lari meninggalkan rumah ini.

“Tapi, Ibu tidak—”

“Ini darurat, Charol.”

Dengan sedikit ragu aku menerima uluran tangannya. Beranjak meninggalkan ruang bawah tahan lewat jeruji besi yang berhasil dilepas Albert. Katanya akan lebih aman jika kami pergi lewat jalan ini, sebab di luar, pintu utama juga pintu-pintu lain telah dikepung oleh polisi-polisi setempat.

Melalui gerobak-gerobak juga tumpukan gandum, kami menyelinap keluar dari gedung bercat putih ini. Lantas berlari cepat melewati gang-gang kecil agar bisa sampai di rumah pemuda bermata cokelat almond tersebut.

***

Albert masih mengemas pakaian, kemudian memasukkan beberapa persediaan makanan yang ada di rumahnya. Matanya sesekali menatap ke arahku yang sedang duduk di kursi dekat meja makan. Aku menjentik-jentikan jari, menatap perapian yang sengaja tak dinyalakan.

Sret!

Mataku langsung melirik cepat ke kanan. Tadi … sebuah bayangan hitam melesat cepat melewati ruangan ini, pun masuk ke dalam kamar berukuran 3×2 meter persegi bercat hijau lumut.

“Mau ke mana?”

Aku meletakkan jari telunjukku dekat bibir. “Sssttt ….”

Aku tahu ruangan tersebut. Ini adalah kamar orang tua Albert. Ada sesuatu yang aneh di dalamnya. Aura hitam bercampur merah berpadu sangat kuat. Pun bayangan tadi. Pasti ada sesuatu yang salah di sini.

“Ja—” suara Albert terhenti saat aku membuka pintu kamar ini.

Deg!

Jantungku langsung melemah seketika, membuat sekujur tubuhku lemas dan terperenyak ke lantai.

“Bukankah sudah kukatakan untuk tidak membukanya?” ucapnya.

Ia berjalan pelan mendekatiku, mengusap kedua bahu dan membantuku berdiri. Sungguh, aku tidak tahu jika di kamar ini berisi seluruh keluarga Albert yang telah terbujur kaku dan bersimbah darah, membuat bau anyir yang tak terendus sebelumnya menyeruak ke seluruh ruangan.

“Kenapa kau menyelamatkanku?” tanyaku sambil menyeka ujung mata.

Pemuda itu terdiam. Darah yang menutupi sebagian wajahnya sudah ia bersihkan setibanya di sini, membuatku dapat melihat jelas guratan-guratan di bagian wajahnya yang lain.

“Ini bukan seperti yang kau lihat, Charol.”

“Lalu apa?”

Hening. Suara lolongan kembali terdengar. Albert dengan sigap meraih tanganku dan membawa buntalan yang berisi pakaian juga makanan sebagai bekal pelarian kami.

“Cepat.”

Aku menepis tangannya. Meminta pemuda itu untuk meninggalkanku dan pergi sendiri. Buat apa juga aku melarikan diri dan merepotkannya. Dan dari siapa pula aku harus lari. Bukankah wajar jika para polisi mengepung rumahku. Kedua orang tuaku memang harus mempertanggungjawabkannya. Aku sudah melihat kilasan yang terjadi tentang kejadian setengah jam lalu di rumah ini. Kedua orang tuaku datang dengan Ayah yang entah bagaimana bisa berwujud demikian, menerkam seluruh keluarga Albert, lantas melolong kencang dan berubah ke wujud aslinya sekejap. Meninggalkan Albert yang beruntung tidak ikut terbunuh.

“Kita harus bergegas, Charol!”

“Kenapa kau harus bersusah payah menyelamatkan anak seorang pembunuh!”

“Aku bisa menjelaskannya nanti, tapi, sekarang kita harus pergi terlebih dahulu meninggalkan desa ini.”

Tanpa berkata apa pun Albert kembali meraih tanganku, menggenggamnya sangat erat sembari berlari lewat pintu belakang. Membawaku ke suatu tempat yang tak pernah kutahu.

***

Aku menatap bulan yang tak utuh lagi dari balik jendela, menghela napas dan mengalihkan pandangan ke arah lampu minyak yang tergantung dekat pintu. Bayangan tentang malam itu kembali menyelinap meski aku tak berada di sana saat kejadian tersebut berlangsung. Aku terlanjur melihat jelas setiap gerak-gerik juga mendengar suara jeritan yang tertahan.

“Kau masih terlalu muda untuk tahu, Charol,” suara Nenek Rose membuyarkan lamunanku. Tanpa aku sadari wanita tua itu sudah duduk di sampingku.

“Ibumu telah mengatakan padaku sebelum bulan purnama ketiga muncul. Ia memintaku untuk pergi meninggalkan desa tersebut dan bersembunyi sejauh mungkin. Dia telah memperkirakan semuanya seperti biasa dan menyelamatkan banyak nyawa,” lanjutnya.

Mata bulatku menatap Nenek Rose dengan seksama. Aku sedang berusaha mencerna setiap kata yang ia ucapkan.

“Hiduplah layaknya gadis biasa dan lupakan semua yang sudah terjadi. Bahkan saat kau melihat sesuatu, berpura-puralah kalau kau tidak pernah melihatnya.”

“A—apa maksudmu?”

“Kau tidak bisa menyelamatkan siapa pun meski berada di sana. Itu sebabnya ibumu menyembunyikanmu sore itu. Dia bahkan tidak bisa mencegah apa pun meski mengetahuinya lebih awal dari siapa pun. Yang seharusnya terjadi akan tetap terjadi.”

Aku mengerjap sekilas. Menatap Nenek Rose dengan penuh tanya. Pun masih tidak mengerti maksud ucapann-ucapannya barusan.

“Kau akan memahaminya setelah cukup dewasa,” serunya yang kemudian merebahkan diri dan memejamkan mata. Lantas mengucapkan selamat tidur padaku.

 

(Bersambung)

Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.

FB: Aila Calestyn / Lily Rosella

Email: Lyaakina@gmail.com

Blurb cerbung: Black Bell

Makhluk mengerikan berwujud srigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.

Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.

Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita