Bisikan-Bisikan di Kepalaku
Oleh : Siti Nuraliah
Aku terbangun sambil menutup telinga kuat-kuat, suara-suara seperti rintihan dan perintah untuk mencekik lelaki itu sampai mati kembali bergema dan bersahut-sahutan di seisi kepala. Semakin lama semakin terdengar berulang-ulang. Aku meronta, menjerit, melempar semua yang bisa kujangkau dengan tangan. Gelas berisi susu cokelat yang baru saja diletakkan oleh seseorang berbaju biru muda—kulihat ia menutup pintu ruangan—dekat tempatku berbaring ini terserak di lantai, tinggal pecahan. Aku menyadari tubuhku tak bisa dikendalikan. Seperti ada kekuatan lain yang mendorongku untuk mengamuk, setelahnya aku selalu menangis sesenggukan.
***
“Mau ke mana?” tanya suamiku. Rupanya dia sudah selesai menyebar makanan untuk ikan-ikan di kolam belakang, mendapatiku yang sedang mematut diri di depan cermin, merapikan kerudung.
“Mau ke rumah Ibu, Bang. Hari ini, kata Kak Lilis lagi mau kumpul keluarga. Ibu kangen sama anak-anaknya, mau makan bersama katanya. Kita ke sana yuk, Bang!”
Suamiku tidak menjawab, dia malah memalingkan wajah. Matanya mengeluarkan pisau-pisau yang tembus ke hatiku. Bila sudah begitu, aku hanya manut bila tak ingin tangannya menyisakan memar di bagian tubuhku.
“Rumah kita dekat sama Ibu, Bang. Masih satu kampung, tapi satu bulan sekali pun aku tidak diberi izin untuk sekadar menjenguk dan melepas kangen.” Mataku mulai memanas, ada sesuatu yang menyeruak ingin keluar.
“Kalau suamimu tidak memberi izin, mau itu ke rumah orangtuamu sekalipun tetap tidak boleh. Kamu tahu hukum agama, kan?” Dia mulai memelototiku. “Di rumah saja, urus anak, urus suami. Lagi pula enggak penting-penting banget cuma makan-makan doang.” Dia pun berlalu keluar, membanting pintu kamar.
Nay, anakku yang duduk di tepi ranjang dengan pakaian rapi memelukku erat, juga mengusap pipiku yang basah. Padahal tadi dia girang sekali waktu kuberi tahu mau ke rumah Ibu, sehingga meminta mandi dan memakai baju kesayangannya lebih pagi. Gadis manis usia lima tahun ini sering memergoki tangan ayahnya mendarat di bagian tubuh mamanya.
Aku jadi mengingat waktu-waktu yang lalu, ada banyak kejadian serupa yang suamiku lakukan padaku. Aku hampir tidak boleh salah sedikit pun. Aku pikir, setiap perempuan pasti merasakan hal yang sama, hatinya selalu rapuh saat dibentak, dan dimarahi dengan cara kasar. Tugas istri memang harus taat pada suami, tapi haruskah perintah suami yang melarang istri untuk bertemu orangtuanya ditaati juga? Aku memang pernah mendengar kisah seorang suami yang berpesan kepada istrinya agar jangan keluar rumah sampai suaminya pulang. Sehingga saat seseorang menjemput untuk menemui orangtuanya yang sakit, dia tidak datang karena takut tidak mendapat rida suaminya. Sampai orangtuanya meninggal, perempuan itu tidak datang, namun dia mendapati imbalan surga untuknya dan orangtuanya, sebab taat pada suaminya. Aku setuju, dengan hikayat itu, sebab pada zaman itu tidak ada alat komunikasi untuk meminta izin pada suami. Tapi sekarang zamannya beda.
Aku ingin sekali mengadu kepada Ibu dan Abah, pernikahanku yang sudah berjalan sepuluh tahun ini adalah pernikahan neraka. Pernikahan hasil perjodohan. Kata Abah, dia adalah lelaki yang baik agamanya. Aku yang saat itu baru saja lulus madrasah aliyah harus lapang dada menerima. Terkadang aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku ini terlalu penurut? Sehingga banyak hal yang mesti kupendam sendiri. Mengapa aku tidak menjadi anak yang membangkang saja? Seperti Ani, misalnya. Anak tetanggaku yang menolak dijodohkan oleh ibunya. Dia kabur dan mengancam akan bunuh diri. Aku tidak seberani itu.
Aku selalu menangis diam-diam, lama-lama kepalaku menjadi sangat pusing, menjadi berat, kemudian tubuhku seperti melayang dan aku seperti berada di angkasa yang menyaksikan tubuhku sendiri berguncang hebat karena tangisan. Beberapa saat kemudian, aku bisa memerintahkan tubuhku sendiri untuk mengucapkan apa-apa yang selama ini diendapkan di hati.
“Kamu selalu saja melarang-melarangku, aku juga butuh kebebasan. Aku stres dikurung terus.” Aku berteriak-teriak mengucapkan kalimat-kalimat yang pada saat sadar aku tidak berani mengucapkan.
Satu kejadian yang mengantarkanku pada tempat di mana sekarang tubuhku terbaring, adalah saat Abah mengetahui semuanya. Saat itu pukul sembilan malam, aku sedang memutar selawat di handphone dan memakai earphone, suara ketukan pintu kamar tidak kudengar. Suamiku marah, mendobrak pintu itu sampai rusak. Dia menyambar handphone yang kupegang dan membantingnya ke lantai. Dadaku terasa seperti dihantam ratusan palu, kepalaku kembali terasa pusing. Aku takut kesadaranku kembali hilang.
Satu tamparan mendarat di pipiku, dia menarik leherku dan mencekiknya sampai napasku hampir habis. Jeritan anakku tidak membuatnya berhenti bertindak. Aku lunglai dan pingsan.
Esoknya, selepas salat Subuh, saat suamiku masih di musala, dengan mata masih sembap dan bengkak, aku mengendap-endap keluar lewat pintu belakang. Menuju rumah Ibu.
Abah wajahnya merah padam, tangannya mengepal saat mulai kuceritakan.
“Bah, ternyata yang berilmu dan paham agama pun bila akhlaknya rusak tetap tak berarti apa-apa.” Tatapanku menyapu entah ke mana.
“Tapi kenapa kamu baru cerita sekarang, Rohimah? Pantas saja kamu sering pingsan dan kesurupan. Dari dulu juga keluarga kita tidak pernah ada yang begitu.” Abah mengusap wajahnya, berdiri membetulkan sarung, lalu duduk kembali mengempaskan tubuhnya. Ibu mengusap-usap punggungku tanpa banyak bicara.
“Aku tidak menyangka Wahyu sekasar itu.” Abah menggelengkan kepala.
“Suamimu sudah membawamu berobat?”
“Sudah, Bah. Kata Dokter enggak ada penyakit apa-apa. Tapi dadaku sering sesak dan kepalaku sering pusing.”
Abah memijit keningnya yang mulai keriput. “Begini saja, besok ikut Abah ke tempat Dokter Farhan, dia dokter sekaligus ustaz.”
***
Mendengar tangisanku, suamiku masuk ke ruangan, Abah menyusul dari belakang, kemudian Ibu dan Nay. Melihat wajah suamiku, kepalaku semakin pusing. Rasa sakit di dadaku semakin menjadi-jadi. Aku menjerit lagi, Abah memanggil Dokter Farhan. Tak lama dokter itu masuk ke ruanganku, menarik tangan kiriku dan memijit satu per satu jariku. Matanya memejam, mulutnya seperti melafalkan doa-doa.
Wajah Dokter Farhan berseri, dia tersenyum kepadaku, kepada Abah dan Ibu. “Ibu Rohimah akan sembuh, kalau hatinya bahagia.” Dokter Farhan berucap sambil menepuk pundak suamiku.
Suamiku menunduk, wajahnya merah padam. Entah malu atau menahan emosi karena diancam Abah agar aku dilepaskan menjadi istrinya.
Banjarsari, 01 September 2020
Siti Nuraliah adalah Alya El-hamdanie Siddiq. Perempuan sederhana, kadang suka menulis, kadang suka membaca.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata